Skip to main content

Kisah yang Boleh Kau Sebut Nyata, Juga Boleh Kau Sebut Fiktif


 (Part 1)

Aku mencermati waktu yang paling tepat, ketika gadis itu mulai keluar dari rumah dan melakukan rutinitas paginya: menyapu. Sudah seminggu lebih kuperkirakan itu. Dulu pertama aku melihatnya langsung terkesima, bagaimana mungkin perempuan secantik itu ada di tempat ini?

Dan, di kali kedua, kira-kira seminggu yang lalu itu, pertanyaanku tak perlu jawaban. Aku tak sengaja melihatnya lagi dan seolah dunia adalah mimpi.

"Kau tahu, mimpi indah itu kadang tak perlu dicari, tapi ia akan dengan sendirinya menyambangimu?"

Maka, kutegakkan kepalaku, berusaha tenang, mengusir gundah dan debar tak karuan jantungku. Ya Tuhan, dia benar-benar di sini, memegang sapunya, membersihkan halaman depan sebuah warung yang sejak beberapa bulan kuabaikan. Bodohnya. Apa karena memang aku tak tahu ada bidadari di dalamnya?

Pada detik itu aku langsung punya rencana kembali keesokan harinya. Kucatat waktu di arlojiku; aku harus tak boleh lewat dari pukul 05.23! Sayangnya, aku terlambat. Dari jauh tak ada dia. Yang ada cuma setumpuk sampah hasil pekerjaannya.

"Perempuan yang rajin, baik," batinku tanpa sadar, "andai punya istri dia suatu saat nanti."

Kubiarkan diriku berharap. Biarlah tak apa. Yang namanya harapan sama dengan doa. Kalau Tuhan kabulkan, senanglah hatiku. Meski terlambat, rupanya aku masih bisa melihatnya menyapu bagian dalam warung. Oh, cuma sekilas saja aku menangkap, lalu kejap berikutnya ia hilang di balik dinding dapur.

Diam-diam, aku punya pikiran kalau suatu pagi mampir, beli makan atau apalah. Biasa, modus. Tapi aku bukan lelaki gombal, bingung bagaimana kalau yang melayaniku dia? Apa yang bakal kuomongin? Langsung bilang, aku suka kamu, kamu itu rajin, atau aku kagum padamu? Atau apa? Kalau dia sudah punya pacar, apa tidak marah orang yang beruntung itu? Atau, jangan-jangan dia sudah menikah? Ah!

Pagi berikutnya aku gagal melihatnya, karena memang aku sangat terlambat. Tapi pagi ini, tepat sebelum kalian membaca statusku, aku sengaja mengulur-ulur waktu, biar tepat sesampaiku di dekat warung itu jamku sudah sekitar pukul 05.23!

Tapi, Tuhan memang baik. Kurang tiga menit, kulihat siluet itu; wajah polos, tulus, jujur, dan entah dengan kata jenis apa lagi yang bisa mewakili wujud manusia jelmaan bidadari. Jika dulu ia memakai kaus hijau, kali ini pink.

Tapi, pentingkah soal warna? Kalau sudah cantik, ya cantik saja, apa pun pakaiannya. Bukan begitu? Lebih dari soal baju, ini soal perasaan suka yang diam-diam menyiksa. Aduh, aku gugup. Napasku tertahan. Langkah demi langkah, kian mendekat, kian menjelaskan bahwa aku tak terlambat dan bahwa: ada kemungkinan aku bisa menyapanya.

Sayangnya, seseorang yang hendak menghentikan kendaraan umum, berhenti tepat di antara kami. Mau kusapa gadis bersapu itu, tapi takut orang lain itu mengira yang tidak-tidak. Yah, kalian pahamlah apa kira-kira yang bakal terjadi kalau gadis cantik bertemu pemuda tampan.

Kuurungkan niatku meski sesak. Tak apa. Nanti saja, kalau sudah bertemu tujuh atau sepuluh kali, barulah aku benar-benar bisa menghampirinya, karena pertemuan sebanyak itu, yang--mungkin--baginya sebagai sebuah ketidaksengajaan adalah takdir untuk kami berdua.

-Pasuruan, 20 Juni 2014-
***

 (Part 2)

Pagi ini, aku kembali melihat gadis itu, menyapu halaman depan warungnya, dengan siluet yang hampir tak pernah berubah: jujur, tulus, polos, dan entah apa lagi kata yang paling tepat untuk mewakili perwujudan bidadari dalam raga manusia.

Kali ini ia memakai baju kuning. Sudah kubilang, kalau asli cantik, ya cantik saja, tak peduli apa pun pakaiannya. Tapi entah kenapa pagi ini ia terlihat lebih segar. Wajahnya lebih cerah meski ekspresinya tak pernah berubah sejak pertama aku mengamatinya.

Sempat terlambat, tapi karena kupacu langkah dengan cepat, maka semua teratasi. Aku senang karena tempo hari, tiga hari yang lalu, kukira dia tak akan menyapu lagi, tak akan membuat hatiku cemas lagi sebelum menginjak pukul 05.23. Nyatanya dia masih di sana, dengan aktivitas paginya, dengan sapu di tangannya. Aku jadi berpikir, "Mungkin sapu itu tak pernah rusak, karena ia betah berada dekat dengan perempuan cantik."

Masalahnya, aku belum juga berani memulai perkenalan itu. Entah cara apa yang terbaik. Ini pertemuan keempat, tapi aku selalu gugup bila dekat dengannya. Kau tahu, godaan di saat seperti ini bisa datang sewaktu-waktu? Buktinya tiga hari yang lalu aku melihat gadis lain di seberang jalan--kali ini di depan toko mebel--yang juga sedang menyapu, yang sama polosnya, yang sama cantiknya. Hanya beda orang saja.

Waktu itu aku kembali dari utara, pulang. Di seberang jalan raya itu, hanya berjarak sekitar dua ratus meter, dua gadis itu tinggal. Ya Tuhan, apa jangan-jangan bumi ini sudah diliputi berbagai spesies bidadari? Sampai-sampai mau jadi pacar seorang bidadari, yang lain cemburu dan berusaha datang dengan wujud yang sama: sapu dan segala tetek-bengeknya.

Tapi, tidak. Aku tetap pada yang pertama. Dialah yang mencuri hatiku. Aku harus mencari cara untuk membalasnya, paling tidak dengan tahu namanya terlebih dulu. Sekarang sedang kupikirkan strategi berikutnya, ketika kalian sedang tertawa atau mungkin tersenyum membaca status ini.

"Jangan-jangan aku memang tampan ...."

~Pasuruan, 24 Juni 2014
***

 (Part 3)

Tepat pukul 05.25. Telat dua menit! Seharusnya ini pertemuan kelimaku dengan gadis itu, gadis yang belakangan sering kudapati berdiri di depan sebuah warung. Dia selalu menyapu halaman depan tempat itu. Tahu apa yang membuatku senang membahasnya? Ah, masa harus kuulang lagi ceritaku dari awal?

Lepas dari itu, aku sedih. Kenapa ia tak nampak lagi? Apa karena aku terlambat? Atau jangan-jangan ia tak' kan menyapu tempat itu lagi? Tapi aku mencoba berpikir positif. Siapa tahu karena ini hari pertama puasa lalu warungnya tidak buka. Oke, anggap saja begitu. Anggap saja selama sebulan penuh ini ia tidak akan membuka warungnya di pagi hari, apalagi sesudah subuh. Buka puasa kan mesti maghrib?

Paling tidak, walau kami tak bertemu seperti biasa, aku tahu satu rahasia besar yang mungkin bakal membuat kalian terkejut. Sesuatu apa yang memberi jaminan ketenangan hatiku kalau bukan tahu namanya?

Ya, sekarang aku tahu namanya. Jangan tanyakan bagaimana aku tahu nama gadis itu. Cukup simpan saja dalam ingatan: Anisa, itulah namanya. Nama yang indah, seindah orangnya.

~Pasuruan, 29 Juni 2014
***

 (Part 4)
Satu setengah bulan. Tidakkah waktu sepanjang itu cukup lama bagi seorang bermuram durja akibat cinta, yang menunggu dan menunggu untuk dapat bertemu dengan pujaan hatinya?

Itulah yang kualami.

Cinta, oh cinta. Kalau dikejar, seringnya lari. Kalau tidak dikejar, datang sendiri. Kadang-kadang memang susah menjabarkan seperti apa isi hati kita jika sedang dilanda cinta.

Sekitar dua bulan yang lalu--entah kurang atau lebih dari itu--aku tahu keberadaan seorang gadis yang menyapu halaman depan rumahnya. Sebut saja Anisa. Aku tahu namanya dengan cara yang sama sekali tidak kalian duga. Ah, tapi itu tidak penting dibahas. Apalah arti nama kalau tidak tahu kemungkinan terbaik untuk berjumpa?

Maklum, satu setengah bulan yang lalu, tepat pukul 05.23, aku mulai merasa gundah. Pasalnya, dia yang biasa menyapu halaman depan rumahnya, dia yang biasa melukis siluet senyum ketika langkahku masih di kejauhan, tahu-tahu hilang tanpa jejak!

Sudah menjadi kebiasaan, bahwa pada waktu tidak lebih dan tidak kurang dari 05.23, aku jalan (atau lari?) pontang-panting akibat tidak mau terlambat. Sebuah warung berwarna cerah selalu menjadi perhatianku akhir-akhir itu. Betapa tidak? Tak lewat sehari pun Anisa membersihkan halaman depan bangunan itu (juga rumahnya) yang berdiri tak jauh dari jalan raya. Dan. setiap kedatanganku pas di waktu tersebut, dunia serasa milik kami berdua.

Tidak usah tertawa apalagi bertanya-tanya. Kalau asli baik, segala sesuatu dibalut warna apa pun tetaplah baik. Anisa, entah itu berpakaian apa pun, di mataku dia tetap perempuan tulus, jujur, dan cantik. Sayangnya, perjumpaan kami selama ini sebatas saling tatap muka saja. Aku tak tahu bagaimana membuat semua ini tampak normal, semisal jika aku bertanya: "Kamu sendiri?", dia tidak akan curiga atau malah berpikir di luar dugaanku: "Tidak, ada Ibu di dalam."

Ya Tuhan, benar juga kata pepatah. Orang jatuh cinta itu repot sendiri. Kalau tidak mikir ini, ya itu. Tapi kebanyakan selalu yang gundah gulana. Jangan salahkan aku kalau aku begitu. Sebab, satu setengah bulan yang lalu itulah hari terakhir pertemuan kami. Itu memasuki awal Ramadhan, yang mana tak mungkin sebuah warung dengan bidadari tersesat macam Anisa tega membukanya di siang hari.

Ya, Anisa pemilik warung itu. Banyak info tentangnya kukumpulkan diam-diam. Pertama, soal nama (maaf, aku masih malas menjelaskan soal ini). Kedua, soal kampung halamannya. Tahukah, kadang cinta juga seperti tukang bakso: ditunggu tidak datang, sedang tidak ditunggu malah nongol. Suatu pagi, saat tengah mengobrol dengan nenekku, beliau bilang bahwa warung itu sudah berdiri sejak dulu. Pemilik aslinya wanita tua sepantarannya.

"Orang mana?" tanyaku acuh tak acuh--padahal harap-harap cemas.

"Blitar," jawab Nenek.

Oh, sejak itu--tepatnya seminggu yang lalu--aku tahu Anisa mungkin kembali ke kampung halamannya di Blitar selama bulan Ramadhan. Sebab, selama itu pula aku melihat sampah-sampah berserakan di halaman rumah dan warung. Tidak ada yang menyapu.

Empat hari yang lalu adalah hari pertama perjumpaan kami setelah sebulan lebih. Sayangnya, aku terlambat. Ia sudah lebih dulu berada di warungnya, sudah menyapu. Adakah kemungkinan aku masuk ke sana? Tidak! Lho, 'kan bisa pura-pura beli makan? Tidak!

Kalian pastilah paham, kalau nanti aku masuk ke sana, aku takut tidak bisa mengucap apa-apa kecuali: "Aku suka kebiasaanmu menyapu." Atau malah lebih memalukan: "Aku suka sama kamu."

Ah!

Pagi ini, tepat pukul 05.23, aku masih jalan melintasi rute yang sama; berharap bisa menyapanya. tidak seperti yang sudah-sudah. Aku bahkan telah menyiapkan rencana. Tapi, Anisa tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Padahal aku tahu, neneknya--yang menurut nenekku pemilik awal warung itu--telah pula sibuk berkemas membuka warung mereka.

Apakah dia sakit? Atau, pergi? Aku bahkan tak berani memikirkan kemungkinan terakhir.

~Pasuruan, 12 Agustus 2014
***

(Part 5)
Kejutan! Setelah berhari-hari lamanya, atau mungkin berminggu-minggu, semenjak pertemuan terakhir kami, kukira selamanya aku tidak akan bertemu dia lagi. Tapi ternyata tidak. Anisa masih ada dan dia tetap sama!
 Pagi ini, ketika aku mulai pelan-pelan bisa melupakannya, aku berangkat lebih awal dari biasa. Jalanan pagi lebih sepi. Dan memang, kalau sudah tersangkut urusan cinta, semua begitu indah. Sayangnya kejelasan di mana Anisa berada akhir-akhir ini membuat semuanya tidak lagi indah.

Bayangkan, saat kau sudah yakin dan menyiapkan suatu rencana besar untuk perasaanmu, tiba-tiba saja orang yang kau tuju tidak ada, menghilang tanpa jejak! Oh, itu sulit, tapi mungkin aku bisa menyebut diriku berhasil walau jujur saja rasanya sangat menyiksa.

Dan, ternyata Tuhan masih menjaga pertemuan itu. Pagi ini, tepat saat arlojiku menunjuk angka 5.11, kulihat dia di sana lagi, memegang sapu, membersihkan halaman depan sebuah warung. Awalnya kupikir, "Ah, mungkin itu ibunya, seperti yang sudah-sudah." Karena memang biasanya pertemuan kami terjadi pukul 5.23. Tapi setelah jarak kami lebih dekat, semua menjadi jelas. Siluet itu, senyum itu, kecantikan itu, ketulusan itu... semuanya.

Kupikir hidup ini kembali menyala. Itulah cinta. Aku tak tahu, mungkin saja Anisa selama ini sakit. Ia terlihat lebih kurus. Tapi aku senang. Paling tidak, walau perjumpaan kami sebatas bisu, aku bisa merasakan bahwa akan ada kejutan baru di depan sana. Tunggu saja.

~Pasuruan, 25 Agustus 2014
***

(Part 6)
Dalam waktu hampir sebulan, aku jarang melihat bidadari itu lagi. Kau tahu, aku terlalu takut untuk membuka namanya lagi di depanmu. Sebab, kalau kusebut namanya, bisa saja bidadari itu marah dan tak mau lagi melihat atau kulihat.

Mungkin ini terdengar bagai omong kosong. Tapi aku pelan-pelan sadar. Betapa tidak? Semenjak kusebut namanya tempo hari, mendadak intensitas petemuan kami berkurang. Dan dari semua kejadian itu; berangkat tepat waktu pukul 05.23, melihat siluetnya, menunggunya membalas tatapanku, menikmati sensasi degup jantung tak karuan oleh cinta, dan kampung halamannya di suatu kota nun di barat daya sana, aku kira bidadari itu semakin misterius saja.

Sebulan sudah aku sering lewat jalanan itu. Dari hitungan waktu belasan hari lebih, hanya sekali saja aku melihatnya, itu pun ketika dia selesai menyapu halaman depan warungnya. Jadi aku tak sempat melihat wajah ayunya.

Sering kali seperti itu, membuatku sampai terbiasa walau tersiksa. Nyatanya, aku masih memendam tanya yang ingin segera kubongkar jawabnya: apakah dia masih sendiri? Apakah dia punya sayap? Serta dari langit mana dia datang?

Lalu, setelah rasa putus asa itu menggumpal di ujung kepala, bagaikan beban berat yang harus segera kau singkirkan agar kepalamu tidak putus dari lehernya, tahu-tahu pagi ini, pukul 5.10, dia ada di depan warungnya.

Tidak, aku tidak melihat siluet itu lagi, sebab posisi menyapu dia berbeda dari biasanya. Dan itu membuat wajahnya tampak lebih jelas. Apa perlu kubilang bahwa kalau memang sudah cantik, berbaju apa pun dia tetap terlihat cantik?

Ya Tuhan, jantungku berkejaran dengan langkah kaki yang malah secara refleks kucoba pelankan. Entah, aku begitu ingin melihatnya melihat balik padaku. Sekali, tidak ada gerakan, dia hanya menunduk. Dua kali, mash sama. Dan pada kali ketiga yang juga gagal, aku tahu, pertemuan berikutnya harus benar-benar berubah kalau aku memang tidak mau kehilangan bidadari itu.

~Pasuruan, 23 September 2014

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri