Skip to main content

Hidup Gak Perlu Ribet


    Pagi yang cerah. Secerah hatiku. Secerah mimpi semalam. Mimpi bisa membuatmu hidup, atau kadang mematikanmu. Mimpi seperti teman. Dia bisa datang dan pergi sesuai kemauanmu. Atau dia bisa datang dan pergi tidak seperti yang kau mau.
   
    Jalan kita berliku. Ada belokan di depan sana, yang jika dihitung mulai hari ini hingga setahun mendatang, bisa jadi jumlahnya ratusan, atau ribuan, atau jutaan. Tidak ada yang tahu. Semua itu rahasia yang kadang membuat jengkel. Jangan khawatir. Bukankah Tuhan pandai bermain-main?
   
    Itu baru belokan. Belum lain-lain seperti tanjakan yang cukup menguras tenaga jika kita mendakinya. Dan, jumlahnya juga bisa ratusan, bisa ribuan, bahkan jutaan. Di luar belokan dan tanjakan? Oh, ada. Namanya turunan. Yang ini agak mudah; kita tinggal meluncur saja, tanpa tenaga, tapi risikonya satu: bisa celaka kita jika tidak punya rem!

    Oh, betapa. Hal-hal manis dalam hidup ini tidak begitu saja diraih; tidak seperti bikin mie instan atau panjat pohon mangga untuk ambil buah yang matang. Tidak seperti itu, Sobat. Hidup yang manis butuh mendaki. Tanjakan! Itu yang kita daki. Daki dan daki terus. Daki dan daki sampai mampus... bila perlu. Bukankah kita selalu senang, atau bahkan merasa menang, jika manis terbaik berhasil didapat?
   
    Belokan, belokan, dan belokan... Semua serba berbelok dan tidak sesuai yang dimau. Apa hidup ini bukan milik kita, hingga semua yang ingin kita capai, justru berbelok menuju arah lain yang tidak ingin sama sekali kita capai?
   
    Ya, hidup bukan milik kita! Itulah kenyataannya! Hidup itu milik Tuhan dan Dialah yang berhak membelokkan jalan kita. Mungkin jika berbelok, ada hal-hal lain yang lebih baik, yang sulit dipahami hari ini, yang kelak pada saatnya bisa disadari atau tidak khasiatnya. Yang jelas intinya cuma satu: tujuan baru ini adalah yang terbaik. Bukan omong kosong. Apa yang terjadi jika hidup lurus terus menerus? Bukankah itu membosankan?
   
    Turunan, oh, turunan! Adakah hidup tanpa turunan? Hahaha! Ini yang omong kosong! Bukit atau bahkan gunung sekalipun saja punya turunan! Mana mungkin kamu minta hidup yang bertanjakan ini tidak harus memiliki turunan? Turunan itu, yang dimaksud di sini adalah, jalan menurun. Bagaimana mungkin? Tidak ada turunan, ya berarti tidak ada puncak dong. Kamu mau ada puncak tapi tidak ada turunan. Maka buat saja duniamu sendiri di dalam kepala gilamu. Itu tandanya kamu makhluk tak tahu diri, serakah, tamak, tidak bisa diatur, dan bodoh.
   
    Yah, seperti munafik saja kalau kubilang hidup dengan turunan itu enak. Walau tinggal meluncur doang, tapi efeknya lu bisa berada di bawah, dan di bawah itu gak enak banget, Sob! Hmm, ya jelas gak enaklah. Tapi itu sudah jadi ketentuan. Kita bahkan tidak sekadar bisa berada di bawah saja, melainkan juga bisa celaka kalau tidak punya rem. Siapa tahu di bawah ada batu besar yang menghalangi jalan, lantas kita "gedebuk!", dan mati gitu aja. Ckck. Mengenaskan.

     Bukit dan gunung yang berpuncak saja pasti punya turunan. Kalau tidak ada, entah bakal sampai di planet mana kita jika terus mendaki dan mendaki. Barangkali sampai ke surga dan neraka? Wuiiihhh.... Gak berani membayangkan deh! Itu sudah di luar jangkauan nalar kita. Maka dari itu, inilah fungsinya rem; biar kita tidak celaka dan terus berada di atas jalan. Rem adalah keimanan. Ya, kita iman, kita yakin, bahwa di depan nanti tujuan yang baik telah menunggu.
   
    Hidup ini sederhana, Sob. Ya, dunia itu singkat, 'kan? Kalau Tuhan memberimu banyak turunan mulai hari ini, ketimbang tanjakan dan puncak, mungkin belum saatnya kamu sampai di atas. Mungkin menunggu waktu. Atau mungkin tidak bakalan pernah dikasih waktu sampai kamu mati. Itu rahasia ilahi. Tidak adil? Ya, sah-sah saja penilaian itu. Tapi hidup ini milik Tuhan dan kita tinggal menjalani dengan penuh usaha. Tuhan pasti tahu kalau kita sudah siap berada di puncak. Maka dengan sendirinya tanjakan dan puncakmu akan ketemu.
   
    Kalau sudah ketemu hal yang susah-susah aja dikembalikan ke Tuhan! Huu...
   
    Yaa, terserah saja sih. Lha memang itu kenyataannya. Kita hidup di dunia seperti mampir saja. Jadi dunia dan akhirat juga harus seimbang. Selain berusaha untuk dunia, kita juga harus punya keyakinan untuk akhirat. Sebab sadarilah, barangkali secara tidak sadar kamu selama ini sudah hampir sampai di puncak yang lain walaupun hidupmu lempeng aja kayak jalan tol. Maksudku, barangkali kamu sudah dekat dengan kematian. Who knows, 'kan?
   
    Hidup gak perlu ribet. Ada mimpi, jalanilah. Ada harapan, yakinilah. Semua akan berada di jalur yang tepat selama kita memegang peta hidup.
   
    Pagi yang cerah secerah hatiku. Semalam aku dapat bunga tidur. Isinya bagus sekali. Ada harapan di sana, membuatku yakin bahwa setiap cita-cita akan selalu manis, walau turunan, belokan, dan tanjakan menanti silih berganti. Bisa ratusan, ribuan, atau jutaan....
   
    -15-3-2015-

Comments

  1. pesannya ketche. tapi isinya yang ribet.apa mungkin gara2 intelektualitasku yang kurang? kwkwkw tapi beneran berasa di kasih materi sama guru nih.

    semoga mas segera menemukan ramuan yg pas untuk tulisan seperti ini.

    aku soalnya juga barusan post tulisan motivasi dengan kemasan yang beda.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya jangan dibikin ribet, kan cuma tulisan santai :p

      Kalau bisa diserap, ya bagus. Tidak bisa diserap, ya tidak masalah. :D

      Delete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri