Skip to main content

Posts

Showing posts with the label cerita pendek

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Lubang Sumur" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi (KR Grup) edisi Jumat, 5 Agustus 2016)     1/     Maria tahu saya tidak pernah bercanda. Berani melanggar adalah berani melawan setrika panas dan seperempat gelas sabun cair. Saya tidak pernah hitung ada berapa luka bakar atau seberapa sering ia berkumur di kamar mandi kemudian, usai saya hukum dia dengan dua cara itu.     Awalnya saya tidak menghukum. Saya tahu, saya baik; paling tidak, itulah yang tetangga ketahui. Tapi pembantu seperti Maria harus diberi pelajaran, karena ia salah. Saya bayar, pembantu kerja. Saya beri uang, pembantu beri tenaga.     Simbiosis mutualisme mesti terjaga baik, tanpa kisah sampah yang dapat menyudutkan saya, betapapun saya benar.     Maria mulai dengan seuntai kalung. Istri saya panik suatu pagi. Kalungku, Pa, kalungku! Ia berteriak mirip orang gila. Dapat dibayangkan betapa malu saya sebagai suami, kalau suaranya sampai ke kuping tetangga baru. Orang belum tahu kalau istri saya suka minta macam-macam dan saya harus

[Cerpen]: "Bertamu ke Rumah Anya" karya Ken Hanggara

Lukisan karya Octavio Ocampo (Dimuat di Flores Sastra, Sabtu, 30 Juli 2016) Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis .

[Cerpen]: "Zikir Brondong Jagung" karya Ken Hanggara

Lukisan karya Rustamadji. (Dimuat di Nusantaranews.co, Sabtu, 30 Juli 2016)      Di depan toko brownies ada bapak tua. Rambutnya putih sempurna, mungkin enam puluhan atau tujuh puluhan. Duduk beralas tikar bolong, tak ada yang mengusir. Orang- orang di sekitar toko seakan tidak peduli atau membiarkannya begitu. Barangkali karena bapak ini tidak mengusik siapa pun. Ia duduk menghadap setumpuk brondong jagung yang dicetak kotak-kotak, dengan posisi orang doa sehabis salat.     Bapak tua ini, demikian kata penjual cendol di seberang jalan, sudah empat bulan duduk di situ dari jam sepuluh pagi hingga menjelang maghrib, dan manager toko tidak pernah menegurnya. Tidak ada satu larangan siapa pun duduk di teras toko, selama tidak menganggu ketentraman. Berbagai mobil keluar masuk parkiran, berbagai wajah datang dan pergi ke toko, berbagai rencana brownies seribu pilihan rasa, melintasi tubuh bapak tua itu, termasuk aroma tubuh satpam yang sesekali sengak, sesekali harum semerbak,

[Cerpen]: "Dosa Sani" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos, edisi Minggu, 24 Juli 2016)     Sani ingin pulang, tetapi ia tak tahu jalan. Ia juga tak tahu harus bertanya kepada siapa agar tidak tersesat. Seingat Sani, di jalan pulang ada sungai di sebelah kanan, dan tidak jauh dari sana ada toko mainan. Ia sering membayangkan Bunda menyuruh Pak Kusno, sopir pribadinya, menepi. Sekadar membeli sesuatu di toko itu. Sesuatu yang tentu saja membuat Sani bahagia.     Sani tidak punya mainan, kecuali seekor kura-kura yang ia beri nama Peter Parker. Ia berharap, kura-kura itu menjadi pahlawan sekuat dan selincah superhero Spiderman, namun juga berhati emas. Ia tidak boleh memelihara laba-laba, karena kata Oma, hewan yang satu itu berbahaya, dan bisa membuatmu sesak napas.     "Laba-laba itu punya jaring. Dan kalau kamu sudah kena jaringnya, wah... Jangan harap bisa pulang! Wajahmu yang jelek ini dikurung jaring dan kamu gak bisa bermapas selamanya dan akhirnya kamu pun mati. Berani mati, he? Orang mati biasanya masuk

[Cerpen]: "Tata Cara Menjaga Seorang Adik yang Kaubenci" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra edisi Jumat, 22 Juli 2016)   Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis .

[Cerpen]: "Jam Antik" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra edisi Sabtu, 9 Juli 2016)       Dua puluh empat jam sehari dikali beribu-ribu belum cukup lama untuk membuat saya menua. Saya tetap muda dengan gerakan jarum yang itu-itu saja; tik, tak, tik, tak, selalu rapi dan tak cela, kecuali barangkali pernah dua kali harus berhenti bekerja bagai orang mati, namun yang suri, sehingga saya bisa bangkit dan menjadi penanda waktu.     Oleh lelaki Belanda saya diajak menapaki desa dengan jalan yang belum diaspal. Dijual kepada pemilik tanah terluas di sana, diperlakukan bagai perawan cantik jelita, saya merasa hidup saya akan membosankan. Konon, ada yang bilang, tempat macam ini tidak akan memberi saya pemandangan pelangi. Maksudnya, yang penuh warna.     Perang meletus entah pada tanggal berapa. Bukan tugas saya memang kalau soal hitungan bulan dan tahun. Saya hanya bekerja pada skala yang lebih kecil dan sederhana. Detik, menit, jam terus berputar oleh saya; atau saya yang bekerja oleh mereka setiap hari. Saya ba

[Cerpen]: "Di Tempat Kejadian Perkara" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 3 Juli 2016)       Tidak ada makanan untuk kucingku. Jangankan makanan untuknya, aku saja yang manusia belum menelan apa-apa sejak kemarin sore. Perutku terasa amat lengket dan kubayangkan ada pabrik lem besi di ususku.     Sirene ambulans terdengar di luar sana dan kutatap jam. Pukul tujuh pagi. Hari terlalu dini untuk sebuah kecelakaan. Mungkin ada yang terluka parah, atau barangkali ada yang tewas?     Membuang kesuntukan karena kamar kost ini lama-lama terasa busuk, juga demi tak membatalkan janji bersama pacarku, karena aku tidak bisa menahan kantuk kalau harus menunggunya di sini, bersama si Imo, kucingku, aku pun menghambur ke depan, mengikuti barisan orang penghuni kost yang juga sama-sama menganggur dan ingin menonton TKP.     "Motor lawan truk, Bos!" kata seseorang. Asap rokok bergumpalan di udara dan aku, dengan Imo di pelukan, menerabas kepul asap dan belasan manusia hingga sampai di gang depan.     Begitu jalan

[Cerpen]: "Pembakar Kupu-Kupu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra, Jumat, 1 Juli 2016)    Di usia dua puluh, Sarmila yang sudah janda jadi incaran semua lelaki. Tidak heran, karena meskipun pernah kawin dan punya dua anak, dia tetap manis dan seksi. Di antara kaum Adam yang mengincar, termasuk Mudakir, tidak ada yang serius mau mengawini secara sah, paling tidak kawin siri, sebagaimana yang selalu Mudakir gaungkan. Incaran itu, apa lagi kalau bukan soal kasur?     Rumah Sarmila tidak jauh dari losmen kuno. Tempat yang tak absen dari dunia malam dari selepas maghrib hingga jelang subuh. Kebanyakan diisi pengangguran, atau raja jalanan tanpa motor yang membangun markas di sepanjang jalan dekat bantaran kali.     Gang-gang kecil, akses menuju kampung sepi peminat, setiap malam diblokir oleh meja dan bangku-bangku. Di atasnya, remi dan botol-botol minuman keras bertebaran. Puntung rokok jangan ditanya. Setiap pengunjung kawasan remang ini tidak pernah melewatkan itu, termasuk perempuan penghibur. Hidup di sini, memilik

[Cerpen] "Lingkaran" karya Ken Hanggara

Dimuat di Buletin Mantra edisi Juni 2016)     Maria harusnya pergi ke pesta dansa bersama suaminya malam ini. Tidak ke alam baka dan tersesat karena tidak punya pegangan. Dalam perjalanan ke pesta tersebut— yang diadakan salah satu kolega Martin, suami Maria—mereka meninggal. Mobil yang mereka tumpangi masuk jurang dan tidak ada yang tahu sampai empat bulan berikutnya kenapa sepasang pengantin baru ini tidak jadi datang ke pesta malam itu.     Maka, ketika jasad mereka ditemukan di dasar jurang, bersama bangkai mobil yang gosong di bulan keempat, yang ada hanya tulang belulang sepasang suami istri lengkap dengan tuxedo dan gaun yang dipesan khusus. Tentu saja, segala sandang tidak seindah dahulu, ketika mereka mengambilnya di tukang jahit langganan keluarga.     Dengan segera, kabar kematian keduanya menyebar ke keluarga dan para sahabat, serta semua yang kenal Maria dan Martin, sehingga mereka sangat sedih. Maksud dari 'semua' adalah tidak ada pengecualian. Benar-bena

[Cerpen]: "Pengantar Malaikat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 26 Juni 2016) Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis .

[Cerpen]: "Hikayat Pengecut" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Koran Madura edisi Jumat, 24 Juni 2016)   Aku memang pengecut. Tak berani menjalani risiko paling buruk dalam mahligai rumah tangga. Aku tak mau kelak melihat anak istriku mati lebih dulu. Aku berharap malaikat mencabut nyawaku lebih dulu, karena aku tak yakin masih waras setelah satu per satu orang yang kusayang tiada.     "Berarti kamu egois," tuding temanku.     "Tidak."     "Bayangkan kamu mati duluan. Istri merawat anakmu sendiri. Kaupikir gampang?"     "Rejeki sudah ada yang ngatur," jawabku pendek.     Temanku mendengus dan pergi. Ia tak mau lagi bicara soal kematian atau menebak siapa yang lebih dulu mati—aku atau istriku, dia atau istrinya, dan sebagainya—lebih- lebih berharap siapa yang menurutku berdampak baik bila mati duluan.     Suatu saat aku pasti akan mati. Dan tentu istri dan anakku kelak juga mati. Kami tidak tahu kapan, di mana, dan bagaimana kami mati, tapi kematian membuat kami terpisah. Di dunia

[Cerpen]: "Permintaan Nayla" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Harian Rakyat Sultra edisi Sabtu, 18 Juni 2016)   1/     Mamaku supersibuk. Setiap hari, kecuali akhir pekan, Mama selalu ngantor dan aku kesepian. Papa? Jangan ditanya. Malah lebih sibuk dari Mama. Kadang Papa ke luar negeri dan baru pulang setelah dua minggu. Di rumah tidak ada teman selain pembantu. Tetapi pembantuku pendiam. Aku lebih sering main dengan boneka-boneka.     Suatu malam, saat Mama pulang (beliau sering pulang larut malam, bahkan pernah subuh hari), aku bangun dari tidur dan menggigil ketakutan. Mama memelukku erat dan mengelus-elus rambutku. Ia bertanya lembut. Kujawab bahwa aku bermimpi buruk.     "Mimpi apa? Pasti kamu nggak berdoa, ya?" kata Mama.     Aku bilang aku berdoa, tetapi aku mimpi melihat semua anak di dunia ini memiliki teman, kecuali aku saja yang hidup sendiri. Lalu, kutambahkan bahwa dalam mimpi itu, setiap anak berbaris memasuki tempat wisata terbesar dan paling meriah, yang mana di sana terdapat berbagai wahana men

[Cerpen]: "Bidadari yang Mencari Seekor Anjing untuk Dijadikan Suami" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Bidadari yang Mencari Seekor Anjing untuk Dijadikan Suami" karya Ken Hanggara   (Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 19 Juni 2016)    Ada bidadari turun dari nirwana dan bertanya di mana letak seekor anjing bernama Mudakir. Anjing itu dulunya seorang penjual soto, namun karena satu dan lain hal yang tak bisa disebutkan, penjual soto itu terpaksa disulap menjadi seekor anjing.    "Apa karena ia melanggar sebuah peraturan?"     "Atau dosanya tak terampunkan, sehingga ketimbang dibakar di neraka selamanya, lebih baik ia memilih menjadi seekor anjing yang pada hari perhitungan segera menjadi debu?"     Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering kali terdengar setengah bercanda setengah serius. Tidak ada yang tahu asal-usul lelaki bernama Mudakir yang katanya sudah jadi seekor anjing ini, dan sedang dicari-cari para bidadari dari nirwana. Tetapi tukang cukur dekat pasar bersaksi pernah mendengar Mudakir cerita tentang ibunya yang dius

[Cerpen]: "Biru" karya Ken Hanggara

  Ilustrasi cerpen "Biru" karya Ken Hanggara   (Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 19 Juni 2016)     Kira-kira dua bulan lalu seluruh permukaan kulitku menjadi biru. Aku tak berani keluar karena malu. Tetapi tubuhku butuh cahaya matahari, jadi ketika aku keluar, aku hanya bertelanjang dada di loteng. Di sana tak ada seorang pun melihat biru di sekujur tubuhku, karena tidak ada bangunan lebih tinggi dari rumahku. Tapi tetap aku cemas. Siapa tahu seseorang terbang membawa helikopter di atasku dan aku terlihat berjemur di loteng ini dalam keadaan biru?     Biruku bukan biru sembarangan. Ia terlalu gelap sehingga sekalinya aku bercermin, seakan melihat siluman di sana. Kira-kira dua minggu setelah kulitku membiru dalam semalam, bola mataku turut membiru. Seminggu kemudian menyusul gigi geligiku. Dan pada minggu keempat, setelah kuyakin tak ada seorang pun dokter bisa menyembuhkan ini, seluruh rambut dan bulu di badanku juga berubah biru. Aku benar-benar manusia biru.

[Cerpen]: "Pesan Kiamat dari Pertapa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tanjungpinang Pos edisi Minggu, 19 Juni 2016)      Di seberang jalan mendadak penuh orang. Aku belum bisa memastikan ada apa di sana, karena penjual rokok masih mencari kembalian untukku. Selagi menunggu uang kembali kuterima, kupandangi seberang jalan; penuh sesak. Orang-orang membentuk lingkaran seakan sesuatu di tengah lingkaran itu, yang tidak bisa kulihat, adalah mayat seseorang tanpa identitas.     Penjaga kios rokok juga bertanya-tanya, apa yang mengundang perhatian orang. Kukira barusan ada kecelakaan dan korban meninggal seketika. Tabrak lari, barangkali. Beberapa orang mengambil ponsel dan merekam video, tapi tak seorang pun mengucap kata-kata ilahi.     "Biasanya, kalau ada orang mati, pasti ada yang menyebut-nyebut Tuhan," celetuk penjaga kios.     Ada benarnya pendapat ini. Aku sering menemui kecelakaan mengerikan di jalanan, di mana pun, dan tiap orang di sekitar TKP selalu membawa-bawa nama Tuhan. Bukan hal aneh. Justru akan sangat aneh ji

[Cerpen]: "Rahasia Perempuan Pemelihara Hantu" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Flores Sastra, Minggu, 19 Juni 2016) Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis .

[Cerpen]: "Imo Menari dan Mati di Kolam Minyak" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Riau Realita, Minggu, 19 Juni 2016)     1/ Jaring Nelayan     Imo terjerat di jaring nelayan. Sebagai ikan muda, ia tidak berpengalaman dengan hal-hal semacam ini; ia kira, jaring itu petualangan. Ia memang tidak mengerti, tetapi ia bukan ikan bodoh.     Imo berusaha kabur, tetapi tidak bisa. Di pikirannya, sudah melintas hal-hal jelek. Ada ayahnya yang pemarah, ibunya yang lembut, dan tentu saja teman-teman yang suka menyebalkan. Di sekolah para ikan, Imo sering diledek sebagai ikan besar bodoh dan tidak bisa berhitung.     "Biarpun tidak bisa berhitung, tetapi aku kuat!" kata Imo pada mereka. Tetapi kini, walau ia kuat dan besar menurut ukuran para ikan, kenapa ia tidak bisa membongkar jaring nelayan?     Setengah hidup, setengah mati, Imo merasa dirinya diambil dari jaring. Si nelayan baik hati, karena ia dimasukkan ke semacam kolam berdinding putih. Hanya putih, tidak ada lainnya. Imo tidak bisa melihat apa pun di luar kotak tersebut, selain

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Padang Bunga" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra edisi Senin, 13 Juni 2016)     Kalau dihitung, mungkin sudah empat belas kali Maria pergi ke padang bunga. Ia memang suka bunga-bungaan dan juga suka memetik lalu menyimpannya di kamar di dalam bagian tengah buku hariannya. Dua bulan sekali atau tiga hingga empat bulan sekali ia ke padang bunga itu. Tidak tentu. Itulah kenapa tak bisa dipastikan kapan ia pertama pergi ke padang bunga.     Padang itu indah. Konon ribuan atau mungkin jutaan malaikat sering berkumpul di sana, memetik bunga dan saling bercumbu, serta membuat tarian mistis yang hanya dipahami oleh anak-anak dan perawan suci. Malaikat-malaikat awalnya turun dari langit dan memijak beberapa petak tanah yang tak ditumbuhi bunga. Mereka lalu berpelukan dan sayap-sayap itu menguncup. Pada saat itulah, malaikat-malaikat menjelma serupa manusia.

[Cerpen]: "Peri Mugeni" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Sumut Pos edisi Minggu, 12 Juni 2016)   Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis .

[Cerpen]: "Lelaki di Halte yang Memberiku Hadiah" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 12 Juni 2016)     Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis .