Skip to main content

[Cerpen]: "Biru" karya Ken Hanggara

 
ilustrasi cerpen "biru" karya Ken Hanggara
Ilustrasi cerpen "Biru" karya Ken Hanggara
 (Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 19 Juni 2016)

    Kira-kira dua bulan lalu seluruh permukaan kulitku menjadi biru. Aku tak berani keluar karena malu. Tetapi tubuhku butuh cahaya matahari, jadi ketika aku keluar, aku hanya bertelanjang dada di loteng. Di sana tak ada seorang pun melihat biru di sekujur tubuhku, karena tidak ada bangunan lebih tinggi dari rumahku. Tapi tetap aku cemas. Siapa tahu seseorang terbang membawa helikopter di atasku dan aku terlihat berjemur di loteng ini dalam keadaan biru?
    Biruku bukan biru sembarangan. Ia terlalu gelap sehingga sekalinya aku bercermin, seakan melihat siluman di sana. Kira-kira dua minggu setelah kulitku membiru dalam semalam, bola mataku turut membiru. Seminggu kemudian menyusul gigi geligiku. Dan pada minggu keempat, setelah kuyakin tak ada seorang pun dokter bisa menyembuhkan ini, seluruh rambut dan bulu di badanku juga berubah biru. Aku benar-benar manusia biru. Tak ada warna lain selain biru. Barangkali, seluruh organ tubuhku juga mengalami nasib yang sama.
    Aku tak tahu harus berobat dengan cara apa. Kutelepon seorang teman yang paling bisa dipercaya; ia bilang, mungkin aku hanya sedang sumpek. Mungkin pikiran-pikiran berat sedang menimpaku belakangan. Aku tarik mundur lewat ingatan; tak ada pikiran berat.

    "Barangkali kamu sedang jatuh cinta. Segala tentang cinta selalu biru. Itu sih kalau kau seorang yang sensitif," katanya suatu ketika.
    Jatuh cinta. Apa karena itu seluruh warnaku jadi biru? Aku jatuh cinta pada wanita yang sudah memiliki kekasih prajurit. Aku tidak tahu bagaimana perasaan ini datang. Suatu sore aku berpikir barangkali dia jodohku, dari yang sebelumnya sama sekali tak yakin. Doa-doa dalam rangka minta petunjuk terjawab hanya dalam waktu kurang dari semenit.
    Waktu itu aku memutar pikiran, "Perempuan ini jodohku." Demikianlah aku jatuh cinta dan lantas menjadi menderita karena ternyata perempuan itu sudah punya seorang kekasih yang siap melamarnya entah tahun depan-entah tahun ini. Pacarnya prajurit dan aku lelaki biasa yang tidak kenal apa itu senjata. Aku lelaki yang biasa duduk di depan laptop untuk mengejar deadline tulisan sebagai novelis dan pengelola website khusus pecinta film layar lebar.
    Aku berharap, setelah seluruh bagianku membiru, dan setelah mendengar pendapat temanku yang bisa dipercaya itu bahwa aku mungkin membiru karena jatuh cinta, agar perasaanku hilang saja.
    Ini tidak benar. Kau jatuh cinta pada pacar orang, yang tak jatuh cinta padamu. Kau seperti hantu yang datang tak diundang. Bukankah lucu? Aku manusia dan bukan hantu. Maka, kuucap terus menerus doa agar perasaan itu terbang jauh dari tubuhku dan nyasar ke Planet Mars barangkali. Atau bisa juga perasaanku itu hilang ditelan orang-orang di kafe tempat aku biasa menyendiri dengan alasan mencari makan, padahal semua itu tak cukup membuatku kenyang. Aku pergi ke situ untuk melihat ada begitu banyak manusia kesepian sepertiku yang menikmati kesendiriannya.
    Nyatanya doa-doaku tidak lagi ampuh. Maksudku, barangkali Tuhan memang tahu apa yang seharusnya terjadi dan yang seharusnya tidak terjadi. Tuhan tahu aku butuh tempat menumpahkan rasa peduli dan sayangku kepada seseorang yang memang butuh hal tersebut. Ia, seseorang itu, wanita yang mempunyai kekasih seorang prajurit. Lelaki yang ia harapkan entah di mana keberadaannya.
    "Apa ini tidak gila, Tuhanku? Aku jatuh cinta pada pacar orang, dan jika semua itu terwujud dalam kisah yang lebih nyata, misalnya aku menjadi suaminya, bukankah akan melukai hati prajurit itu jika kelak ia kembali dari tugasnya di tempat yang jauh?"
    Aku mulai menikmati bercermin seorang diri pada malam-malam yang sepi. Hujan yang biasanya kubiarkan membasuh kepala dan wajahku, tidak lagi kuhampiri. Aku tak lepas bercermin dan memandang biru di seluruh bagian tubuhku yang semakin memekat dari waktu ke waktu.
    Tubuh biru ini akhirnya kubawa keluar ke jalanan. Aku dandan secara wajar, sesuai gayaku sebagai penulis, lantas tidak memedulikan pendapat orang yang mungkin benci atau jijik pada warna biru. Beruntunglah tidak semua membenci biru. Beberapa bahkan mengagumiku dan mengira aku pergi ke salon khusus yang sedia jasa mengecat kulit manusia menjadi apa saja yang mereka mau. Lalu mereka bertanya-tanya bagaimana agar mereka bisa menjadi merah, hijau, kuning, cokelat, hitam, ungu, dan lain-lain.
    Aku tidak bisa menjawab itu, jadi aku meninggalkan mereka jauh-jauh. Aku terus berjalan dan sampai di sebuah stasiun. Waktu itu sepi. Aku beli satu tiket ke kota tempat tinggal wanita itu. Sejauh ini kami berkenalan di Facebook. Tak salah jika berharap bisa sekali saja menemuinya, sekalipun cintaku tak berbalas.
    "Itu bukan tak salah. Tapi kurang ajar, Bro," kata temanku seraya tertawa. Aku juga tertawa. Kukatakan bahwa di dunia ini semua cinta selalu kurang ajar. Cinta itu tiba-tiba dan tak kenal waktu. Tak terprediksi dan tak terhitung. Bayangkan jika suatu kali berada di posisi sedang bersama seseorang, lalu kau jatuh cinta pada orang lain? Itu hanya akan menambah rumit keadaan. Cinta memang kurang ajar. Itu faktanya.
    Aku tahu cintaku juga kurang ajar.
    Dalam gerbong tidak ada seorang pun. Aku duduk dengan tenang sambil membawa koper berisi nama yang akhir-akhir ini menempel di jidatku: nama wanita itu. Tak tahu berapa lama, kereta berhenti di satu stasiun. Aku ke toilet dan bercermin. Biruku makin pekat. Kereta melanjutkan laju dan kulihat di sisi kiri dan kanan ada badai besar. Hanya saja, kereta tak terganggu lajunya oleh itu.
    Seseorang yang baru saja naik dari stasiun terdekat, yang duduk tidak jauh dariku, berkata, "Langit mendung. Warna ungu. Anda lihat?" Aku melongok keluar jendela. Ia tersenyum. "Anda tahu kenapa kereta ini terus melaju, padahal alam sedang gila?"
    "Saya tidak tahu," kataku.
    "Semua ini karena cinta. Kereta ini kereta pencinta. Anda pasti jatuh cinta, bukan? Saya juga jatuh cinta." Lalu ia membuka lengan jaketnya. Kulitnya berwarna biru pekat. "Kita semua yang menumpang kereta ini sedang jatuh cinta. Para pejuang cinta yang tak tahu apakah cintanya berbalas atau tidak, tapi tetap nekat berjuang. Kita boleh bangga pada diri kita sendiri."
    Aku diam dan tak menanggapi ucapan lelaki lain, yang ternyata juga membiru. Tak tahu jatuh cinta pada perempuan macam apa dia. Tetapi yang jelas, kini aku merasa jauh lebih tenang. Ternyata, di dunia ini, kita tidak pernah benar-benar sendiri. [ ]

    Gempol, 8 Juni 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri