Skip to main content

[Cerpen]: "Zikir Brondong Jagung" karya Ken Hanggara

Lukisan karya Rustamadji.

(Dimuat di Nusantaranews.co, Sabtu, 30 Juli 2016)
 
   Di depan toko brownies ada bapak tua. Rambutnya putih sempurna, mungkin enam puluhan atau tujuh puluhan. Duduk beralas tikar bolong, tak ada yang mengusir. Orang- orang di sekitar toko seakan tidak peduli atau membiarkannya begitu. Barangkali karena bapak ini tidak mengusik siapa pun. Ia duduk menghadap setumpuk brondong jagung yang dicetak kotak-kotak, dengan posisi orang doa sehabis salat.
    Bapak tua ini, demikian kata penjual cendol di seberang jalan, sudah empat bulan duduk di situ dari jam sepuluh pagi hingga menjelang maghrib, dan manager toko tidak pernah menegurnya. Tidak ada satu larangan siapa pun duduk di teras toko, selama tidak menganggu ketentraman. Berbagai mobil keluar masuk parkiran, berbagai wajah datang dan pergi ke toko, berbagai rencana brownies seribu pilihan rasa, melintasi tubuh bapak tua itu, termasuk aroma tubuh satpam yang sesekali sengak, sesekali harum semerbak, tetapi tidak satu pun manusia berhenti menengok.
    "Saya tidak tahu bagaimana beliau makan," cetus si penjual cendol.
    Waktu itu, saya menunggu pacar beli brownies untuk hadiah Mami. Di atas motor, memandang bapak penjual brondong jagung, hati saya tersentuh dan bertanya kepada seseorang yang mungkin tahu kisahnya.
    "Anda hafal kebiasaan beliau?"
    "Tidak juga. Saya tidak menghafal segala-galanya. Saya cuma penjual cendol yang menghitung dalam sehari harus laku minimal berapa gelas, biar balik modal. Dan kalau itu balik, saya lumayan tenang. Kalau belum balik, saya bersyukur. Hanya saja, saya tidak paham cara berpikir bapak itu. Mau tidak mau saya memang selalu lihat dia dari tempat saya mangkal."

    Sebagaimana musim, yang tidak awet di belahan bumi, bapak tua itu pasti punya rumah dan tidak selamanya duduk di sana dalam posisi bersila. Barangkali rumahnya terlalu jauh dan ia lelah menjual brondong jagungnya, lalu memutuskan duduk di depan toko brownies dengan harapan pembeli brownies yang berpuluh-puluh kepala dalam sehari itu ada yang sedia membeli dagangannya.
    "Tidak ada yang beli," kata penjual cendol. "Tetapi kadang anak saya ke sana dan beli sebungkus. Itu saya suruh. Kalau tidak ada yang suruh, atau kalau tidak ada yang membelinya tanpa perlu berpikir itu makanan tidak dibutuhkan dalam kondisi senormal sekarang, jelas bapak tua itu pulang tanpa membawa apa-apa, kecuali brondong jagung yang penuh debu pada plastik pembungkus."
    Pacar saya belum keluar. Mungkin antre. Ada banyak mobil di tempat parkir toko brownies itu dan saya tahu barangkali tidak ada orang yang menengok si bapak penjual brondong jagung, apalagi membelinya. Maka saya menyeberang dan memarkir motor di depan toko brownies dan segera mendatangi si bapak.
    Bapak itu tidak merespons kehadiran saya, karena saya memang tidak menyapanya dan ia memejamkan mata. Bibirnya komat-kamit dan sebelah tangannya menunjukkan ia sedang berzikir.
    Untuk beberapa lama saya diam. Saya berdiri seperti patung dan orang-orang lalu lalang di kiri kanan, keluar masuk toko. Sebagian melolot karena saya di depan pintu dan menghalangi jalan.
    Saya menggeser tempat berpijak dan berada persis di depan bapak tua itu. Secara mendadak ia membuka mata dan berhenti berzikir, kemudian berkata, "Sebaiknya Anda segera masuk, kalau tidak ingin antre terlalu lama."
    Saya tahu maksudnya. Bapak tua ini mengira saya calon pembeli brownies.
    "Oh, pacar saya yang antre," kata saya, sambil menujuk dalam; memang ia sedang antre, tetapi si bapak tidak menoleh belakang dan hanya menatap saya tajam dari posisi duduk bersilanya.
    "Untuk mami saya. Hadiah ulang tahun. Brownies itu kesukaannya."
    "Yah," kata si bapak, yang kembali terpejam, tetapi bibir tidak komat-kamit.
    Saya duduk di sebelahnya dan seorang perempuan yang baru saja turun dari mobil sedannya menatap heran, tetapi saya tak peduli.
    "Jaman sekarang banyak sekali orang makan roti begitu. Saya tidak pernah, tetapi mencium baunya setiap hari," katanya.
    "Kalau Bapak mau, Bapak bisa beli."
    "Sebaiknya tidak."
    "Saya belikan."
    "Terima kasih. Sebaiknya tidak."
    Mungkin saya menyinggung perasaannya secara tidak langsung. Saya minta maaf dan si bapak mengangguk pendek. Ia tidak bicara dan kembali berzikir.
    Sementara penjual brondong kembali ke rutinitas anehnya, saya ambil brondong di tumpukan teratas. Brondong produksi rumahan, asli Pasuruan yang pernah jadi tempat tinggal masa kecil saya. Tidak tahu bagaimana bapak ini bisa membeli suatu produk dari kota yang begitu jauh dari kota ini.
    Kertas "identitas", kertas isi tulisan asal muasal brondong yang ditumpuk, mengelupas karena mungkin lem yang dipakai tak berkualitas dan saya kerepotan menempelkan merk brondong tersebut. Ketika akhirnya kertas itu berhasil direkatkan, saya pikir itu tidak perlu. Saya copot lagi dan saya genggam seperti menggenggam harapan. Si bapak masih khusyuk. Kepala saya penuh rencana-rencana.
    Menyadari saya mengambil brondongnya, ia membuka mata dan tersenyum. Saya bilang, saya mau beli brondongnya. Beli lima untuk keponakan saya, padahal saya satu- satunya anak Mami dan pacar saya belum saya nikahi. Tidak ada cucu di rumah, tidak ada keponakan, tidak juga ada saudara angkat.
    "Anda bohong. Letakkan brondong itu dan tunggulah pacar Anda yang tidak lama lagi keluar. Nikmati brownies itu bersama mami Anda tercinta di rumah nanti malam."
    "Kalaupun bohong, brondong ini tetap saya beli. Saya makan tidak cuma brownies saja, tetapi juga brondong. Mami saya pasti suka. Saya beli sepuluh!"
    "Letakkan saja."
    Saya tidak tahu bagaimana si bapak itu tampak tenang. Ia sodorkan isyarat melalui sebelah tangannya seakan saya melanggar batas teritorinya. Saya letakkan brondong itu. Ia kembali berzikir dan tidak ada seorang pun bicara selama satu menit.
    Pada saat itu, pacar saya hampir sampai barisan terdepan. Masih ada waktu. Saya bilang pada si bapak tua, saya tidak bermaksud menyinggungnya, dan hanya bermaksud membeli agar dagangannya laku hari itu. Bapak itu merespons dengan jawaban pendek, "Oh, setiap hari saya dapat untung."
    Setiap hari dapat untung. Saya tersenyum. Tapi, penjual cendol seperti orang bodoh yang tidak ahli membual. Bapak tua menjelaskan, mungkin agar saya tidak salah paham, dan mungkin ia tahu tadi saya mengobrol panjang dengan penjual cendol di seberang sana, bahwa ia tidak pernah rugi karena selalu ingat pada tuhannya.
    "Apa arti saya di dunia ini jika tanpa Tuhan? Melupakan Tuhan, sama dengan akhir yang lebih buruk dari tidak membawa pulang apa-apa, kecuali setumpuk brondong asli Pasuruan ini."
    Saya terdiam cukup lama. Lidah saya kaku dan tubuh saya mendadak lemas. Pada saat yang bersamaan, segerombolan anak muda dengan dandanan modis melintasi kami tanpa melirik sedikit pun. Aroma parfum salah seorang gadis menyengat saya dan saya segera sadar.
    Ketika akhirnya saya sanggup bicara, yang saya tanyakan justru lain, "Bagaimana Bapak bawa ini dari Pasuruan? Kota itu jauh, beda provinsi. Dari mana asal Bapak?"
    "Kalau soal asal, itu tidak penting. Saya lahir dari tanah yang diambil dari bumi ini, dan kelak mati dipendam di tanah asal-muasal saya. Semua kembali kepada asal. Anda pasti tahu konsep itu. Saya menumpang kereta dari Jawa Timur kemari."
    "Keluarga?"
    "Keluarga saya meninggal semua dalam sebuah kecelakaan."
    "Innalillahi..."
    Bapak tua itu menunduk dan kembali berzikir. Saya mendekatkan posisi duduk dan berkata dengan sungguh-sungguh, saya ingin membantu. Apa pun yang sekiranya bisa membuat beban si bapak ini ringan, saya akan bantu.
    Ia tersenyum dan menggeleng. Saya bilang betapa brondong itu makanan favorit saya sewaktu kecil dan memohon agar ia relakan sepuluh brondong untuk saya bawa, dan saya akan menukarnya dengan uang. Saya kira, beliau pasti belum makan dari pagi. Dengan uang itu beliau bisa menghangatkan perut.
    "Jangan khawatir. Anda tidak perlu takut saya meninggal di sini karena lapar. Saya sudah makan. Jika tidak puasa, tentu saya makan. Hari ini saya tidak puasa dan sudah makan."
    Lalu bapak itu membuka mata lebar-lebar dan menoleh kepada saya dan berkata ia tidak akan mati di sini; ia baru berpikir mati di sini karena mendengar omongan saya. Saya tidak bicara ia mungkin mati, tetapi kecemasan saya membuat ia berpikir mungkin saya takut ia mati. Jadi, ia pun berpikir ia bisa mati di sini, dan itu artinya ia tidak akan mati di sini.
    "Anda jangan bingung. Apa yang saya katakan barusan, itu konsep dalam agama yang saya anut."
    "Saya juga Islam, Pak."
    "Nah, berarti tidak sulit memahami. Kita tidak tahu kapan kiamat datang. Dan jika kita mengatakan kiamat itu empat jam setengah lagi, sudah pasti apa yang kita katakan meleset. Manusia tidak bisa membaca masa depan."
    Saya mengangguk-angguk dan hati saya menjadi resah. Pacar menghadap kasir dan ia akan selesai dengan urusan membeli brownies yang membunuh lebih banyak waktu ketimbang saat ia berdandan.
    Tanpa banyak pikir, saya lepas ransel dan meraih sepuluh kotak brondong jagung manis dan menaruhnya ke dalam tas. Bapak penjualnya memandangi saya tenang. Tidak melarang-larang seperti tadi. Pacar saya keluar dan tidak menyadari saya duduk di sini, di dekat pintu, sehingga saya juga bisa menghirup aroma tajam minyak wanginya.
    "Ini, Pak. Anggap kita bertemu karena takdir. Bapak memberi saya banyak hal dan mohon jangan tolak ini!" Kuserahkan selembar lima puluh ribuan padanya dan langsung lari menyusul pacar, yang kaget karena mengira saya masih menunggu di seberang jalan.
    Malam itu, Mami bertanya banyak kepada saya. Bukan tentang brownies yang ia sukai, tapi brondong jagung yang untuk membelinya saja bisa membunuh lebih banyak waktu ketimbang saat pacar saya berdandan. Tidak seperti saat membeli brownies, saya tidak pernah antre. Tapi obrolan dengan si penjual brondon jagung itu mengubah banyak hal dalam diri saya. [ ]

    Gempol, 24 Juli 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri