Skip to main content

[Cerpen]: "Bidadari yang Mencari Seekor Anjing untuk Dijadikan Suami" karya Ken Hanggara

Bidadari yang Mencari Seekor Anjing untuk Dijadikan Suami
Ilustrasi cerpen "Bidadari yang Mencari Seekor Anjing untuk Dijadikan Suami" karya Ken Hanggara
 (Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 19 Juni 2016) 
 Ada bidadari turun dari nirwana dan bertanya di mana letak seekor anjing bernama Mudakir. Anjing itu dulunya seorang penjual soto, namun karena satu dan lain hal yang tak bisa disebutkan, penjual soto itu terpaksa disulap menjadi seekor anjing.    "Apa karena ia melanggar sebuah peraturan?"
    "Atau dosanya tak terampunkan, sehingga ketimbang dibakar di neraka selamanya, lebih baik ia memilih menjadi seekor anjing yang pada hari perhitungan segera menjadi debu?"
    Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering kali terdengar setengah bercanda setengah serius. Tidak ada yang tahu asal-usul lelaki bernama Mudakir yang katanya sudah jadi seekor anjing ini, dan sedang dicari-cari para bidadari dari nirwana. Tetapi tukang cukur dekat pasar bersaksi pernah mendengar Mudakir cerita tentang ibunya yang diusir dari kampung halaman.
    Bidadari itu datang pada tukang cukur dan bertanya, "Bisakah Anda jelaskan soal obrolan kalian waktu itu?"
    Tentu saja, karena sang bidadari amat cantik dan bergelora, tukang cukur bersedia bercerita seribu tahun lamanya, sekalipun tanpa dibayar tanpa diberi apa-apa, kecuali bisa dekat dengan bidadari selama yang bisa ia usahakan. Aroma parfum bidadari bisa membuat setengah akalmu lumpuh, bahkan mati sampai dua puluh empat jam full.
    Si tukang cukur, dengan wajah melongo, takjub akan kecantikan bidadari itu, mulai bercerita. Bahwa hari itu datang seorang lelaki gondrong dengan jenggot teramat lebat seperti jenggot Osama bin Laden, tapi ia tahu itu bukan Osama bin Laden, sehingga ia mengira mungkin pelanggannya kali itu adalah orang yang cari sensasi.
    Beginilah dialog antara Mudakir dan tukang cukur waktu itu:
    Mudakir berkata, "Rapikan rambut dan janggut saya. Ubah saya jadi Brad Pitt."
    Si tukang cukur menjawab, "Beres! Selama Anda bayar, mau jadi siapa pun bisa!"
    Terdengar agak aneh, tapi memang itu yang dibincangkan. Si tukang cukur mulai menggarap rambut gondrong lebat tak keruan itu. Ia bersaksi melihat seribu kutu di sana, di kepala Mudakir.
    "Itulah kenapa saya hafal namanya. Mudakir. Nama yang jarang dipakai di wilayah sini. Lalu saya tanya siapa nama lengkapnya. Dan saya tanya dari mana asal usulnya."
    Mudakir pun berkisah tentang ibunya yang diusir dari kampung halaman. Dahulu, berpuluh tahun lalu, ibunya masih sangat muda dan belum pernah tidur dengan lelaki mana pun. Dengan kata lain, sang ibu belum ketemu bapak kandung Mudakir. Ia diusir dari kampung gara-gara dituduh memakai ilmu sihir untuk memikat semua suami yang sah di kampung tersebut.
    "Banyak yang bilang ibu saya lonte," kata Mudakir, "tapi begitulah manusia. Yang suci dituding kotor, dan yang najis dipuja-puja. Waktu itu Ibu sampai menangis dan mau mati, tetapi ia dicegah oleh seorang lelaki tua berjubah putih. Barangkali itu malaikat, yang diutus Tuhan untuk menolong perawan suci seperti ibu saya yang difitnah dengan keji."
    Mudakir melanjutkan cerita ke bagian ketika ibunya dibawa ke sebuah sungai oleh si lelaki berjubah. Di sana ibunya disuruh melepas seluruh pakaiannya, dan si lelaki itu memandikan ibunya dengan mesra. Tetapi, Mudakir berkata, lelaki itu tak menodai sang ibu, sebab ia kemungkinan adalah malaikat. Waktu itu ibunya Mudakir segera terlelap dan bangun esok harinya di sebuah tempat tidur dalam satu kastil berbau wangi.
    "Di sanalah asal muasal ayah saya. Kastil misterius di puncak tebing karang dekat laut yang dirahasiakan. Mohon maaf, saya tidak bisa cerita banyak soal Ayah. Intinya, ketika akhirnya ibu dan ayah saya bercerai—pada waktu itu umur saya tujuh belas—di sini, di dada saya, tumbuh semacam dendam. Saya tak mengerti. Barangkali ini warisan Ayah, sebab orang-orang di sekitar tebing itu yakin ia memiliki darah siluman serigala. Ayah tak pernah menjadi siluman serigala, tetapi setiap malam ibu selalu ketakutan tiap hendak masuk kamar."
    "Jadi, saat itu Anda tahu Anda mewarisi bakat siluman?" tanya tukang cukur.
    "Separuh yakin, separuh tidak. Sebab saya sendiri bahkan tidak tahu apakah yang muncul di dada saya itu hanyalah sebuah dendam yang manusiawi. Ayah mengusir saya dan ibu keluar, tanpa memberi bekal apa pun, tanpa memberikan hak kami. Mungkin itu membuat saya menyimpan dendam, tetapi mungkin juga membangkitkan darah siluman yang ada pada diri saya—jika memang Ayah benar siluman serigala."
    Mudakir lantas membawa ibunya ke sebuah desa tempat para bidadari berkumpul. Di sana, Ibu berdiam diri dalam rumah berbentuk rumah keong setiap hari, yang punya pintu di atapnya. Tidak ada pintu di depan, samping, apalagi belakang. Semua rumah di desa itu didesain untuk para bidadari, sehingga pintunya ada di atas. Sebab itulah Ibu Mudakir tidak bisa keluar ke mana-mana, kecuali menonton serial di TV dan membaca buku, majalah, koran, atau menelurusi gosip dari para tetangga dengan sebuah alat yang mirip radio, yang Mudakir dapat dari salah satu bidadari. Semua dilakukan dalam rumah berbentuk rumah keong.
    "Bidadari yang satu itu baik kepada kami. Namanya Indy. Ia kaya raya dan punya banyak peralatan ciptaan Amerika Serikat dan Jepang. Ia bersuami lelaki sakit-sakitan, dan pernah bilang kepada saya begini, 'Kalau kamu mau dan sanggup, bisa jadi suamiku dan nanti kita hidup bahagia selamanya. Tapi, kamu harus buang ibumu jauh-jauh.' Jujur saja, saya senang dengan tubuh seksi dan mulus bidadari itu. Lagi pula dia juga sangat cantik. Saya tergiur dan pada suatu malam bertekad menghabisi ibu dengan segelas obat nyamuk cair yang saya beli di apotek. Untungnya saya sadar bahwa itu mungkin dosa. Saya pun batal menikah dengan bidadari dan membuang obat nyamuk itu ke belakang rumah. Besoknya Ibu menemukan obat nyamuk itu dan bertanya kepada saya apakah saya yang membeli obat nyamuk itu. Saya pun berkata saya tidak tahu apa-apa."
    Tukang cukur itu berhenti bercerita. Bidadari yang mencari seekor anjing bernama Mudakir pun bertanya kelanjutan ceritanya. Tetapi si tukang cukur bilang, mendadak ia hilang ingatan. Ia bisa mengingat kelanjutannya jika bidadari itu mau mencium pipinya. Ia mengerang-ngerang dan meminta maaf karena tidak tahan lagi dengan aroma wangi dari sekujur badan sang bidadari.
    Merasa dilecehkan, bidadari itu menampar sang tukang cukur, yang mati seketika dengan kondisi wajah setengah meleleh. Seisi pasar gempar, tetapi tidak ada polisi yang berani menangkap bidadari cantik ini.
    Bidadari ini pun melenggang pergi dengan santai dan kembali bertanya ke semua orang yang ia temui, "Di manakah anjing yang dulunya pernah jadi penjual soto?"
    Semua orang menggeleng tidak tahu. Seorang lelaki yang cukup pemberani datang pada bidadari itu dan berkata bahwa di kota ini ada begitu banyak anjing dan mereka tak bisa membedakan mana anjing yang dulunya tukang soto dan mana anjing yang dulunya pernah jadi calon bupati.
    Bidadari itu bilang, anjing yang bernama Mudakir ini berbulu abu-abu dan apabila kencing ia tidak seperti anjing biasa. Posisi kencing anjing yang dulunya penjual soto ini adalah berdiri sebagaimana manusia umumnya. Lalu lelaki pemberani berkata kira- kira empat bulan lalu ia pernah melihat anjing seperti itu.
    "Waktu itu saya kira dia hantu, jadi saya kabur saja. Coba kalau tahu dia dicari-cari bidadari cantik sepertimu, pasti saya tangkap dan saya ikat di kandang babi. Lalu saya pun menunggumu datang untuk mengambilnya."
    Karena putus asa, bidadari bernama Indy itu pun kembali ke nirwana, tempat asal- muasalnya, sebab di desa yang dulu ia tempati saja Mudakir tidak kelihatan, walau sang ibu sangat butuh pertolongan. Ibu Mudakir sudah sangat renta dan dari jauh orang sudah bisa mencium bau kematian. Itu benar-benar bau yang sangat memualkan. Si bidadari pernah melihat kondisi kaki dan pantatnya yang membusuk dirubung banyak belatung, tapi si empunya daging tak sadar. Ibu Mudakir malah tertawa geli mengira si bidadari sedang menggodanya dengan ilmu sulap.
    Mudakir kabur setelah meniduri bidadari itu suatu malam, sebab ia berjanji tak akan jadi manusia benar setelah diusir sang ayah. Bidadari yang tidak perawan tidak diterima di nirwana, maka Indy memutuskan menjadi manusia saja dan menikah dengan Mudakir. Tapi Mudakir tak mau dan itulah yang membuatnya disulap menjadi anjing.
    Sekarang di nirwana Indy tidak dianggap dan hanya disebut-sebut sebagai bidadari yang patut diusir. Ia hanya diterima dengan tangan terbuka setelah kawin. Ia memang bakal jadi manusia, tetapi itu lebih terhormat ketimbang hanya menjadi bidadari yang separuh pesonanya hilang setelah tidur dengan manusia. Menjadi bidadari tak perawan adalah bencana dan mimpi buruk bagi setiap bidadari yang ada di jagat raya. [ ]

    Gempol, 14 Juni 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri