(Dimuat di Harian Rakyat Sultra edisi Sabtu, 18 Juni 2016)
1/
1/
Mamaku supersibuk. Setiap hari, kecuali akhir pekan, Mama selalu ngantor dan aku kesepian. Papa? Jangan ditanya. Malah lebih sibuk dari Mama. Kadang Papa ke luar negeri dan baru pulang setelah dua minggu. Di rumah tidak ada teman selain pembantu. Tetapi pembantuku pendiam. Aku lebih sering main dengan boneka-boneka.
Suatu malam, saat Mama pulang (beliau sering pulang larut malam, bahkan pernah subuh hari), aku bangun dari tidur dan menggigil ketakutan. Mama memelukku erat dan mengelus-elus rambutku. Ia bertanya lembut. Kujawab bahwa aku bermimpi buruk.
"Mimpi apa? Pasti kamu nggak berdoa, ya?" kata Mama.
Aku bilang aku berdoa, tetapi aku mimpi melihat semua anak di dunia ini memiliki teman, kecuali aku saja yang hidup sendiri. Lalu, kutambahkan bahwa dalam mimpi itu, setiap anak berbaris memasuki tempat wisata terbesar dan paling meriah, yang mana di sana terdapat berbagai wahana mengasyikkan. Walau belum sekolah, aku bisa membaca beberapa huruf di pintu masuknya: gratis.
"Terus aku masuk saja," sambungku, "tapi om-om yang badannya gede melarangku masuk karena aku tidak bawa teman."
"Wah, kok jahat?"
"Iya, Ma. Dia jahat! Aku tidak tahu harus cari teman ke mana. Sementara semua anak, bersama teman masing-masing, masuk ke sana, tinggal aku sendiri duduk di jalan dan menangis. Orang-orang melemparku permen, tetapi aku benci permen, karena aku tidak punya teman. Lalu aku pergi, karena ada anjing yang besar terus melihatku. Aku takut!"
Mama sedih melihat aku bercerita soal mimpiku. Mama yang tidak ikut mengalami mimpi itu saja bisa sedih, apalagi aku, ya?
Mungkin mimpi itu gambaran kehidupan orang-orang. Dan aku punya gambaran sendiri, yakni anak yang tidak punya teman. Mama dan Papa pernah bilang, aku boleh mengajak main Mbak Yanti, pembantuku, bila kesepian. Tetapi Mbak Yanti tidak seru kalau diajak main dan lebih senang nonton TV atau menyetel lagu dangdut. Aku benci lagu itu, karena kadang-kadang Mbak Yanti mengajak teman pembantunya dari rumah sebelah untuk berjoget bersama.
"Jangan bilang-bilang mama atau papamu, ya? Nanti Mbak kasih permen. Enak banget. Ada yang jeruk, cokelat, dan strawberry. Kamu pilih, Anak manis. Oke?" begitu Mbak Yanti merayu. Aku tidak bisa membantahnya yang wajahnya selalu bening. Sorot matanya persis mata boneka-bonekaku di kamar, yang kebanyakan terbuat dari kancing baju dan menonjol dan berkilauan bila terkena sinar matahari.
Aku sedih kalau boneka-bonekaku kotor, misalnya saat tak sengaja ketumpahan teh atau kopi ketika aku bermain pesta-pestaan. Kalau sudah begitu, Mbak Yanti kupanggil dan dia mencuci semua boneka sampai bersih, lalu dijemur, dan selama seharian aku tidak punya teman bermain. Aku berdiri di halaman belakang, di bawah terik matahari, menunggui boneka-bonekaku kering sambil mengamati mata mereka. Mbak Yanti ke mana? Ah, aku malas mencari cara bagaimana agar dia mau bermain denganku.
Aku lebih sering mengeluh pada Mama. Aku tidak tahu bagaimana cara mengeluh pada Papa, sebab beliau sangat jarang di rumah. Kepada Mama. suatu sore kukatakan, "Ma, Nayla butuh teman bermain. Sebaiknya Mama jangan kerja saja, ya? Kita main setiap hari, ya?"
Sejujurnya aku mulai bosan dengan boneka. Ketika kuperhatikan berpasang mata yang terbuat dari kancing baju itu, aku berharap Tuhan mau memberikan nyawa untuk mereka, boneka-bonekaku, biar aku tidak kesepian. Tapi selama seharian menunggu di bawah terik matahari, sampai aku pingsan, boneka-bonekaku tidak juga hidup. Mereka tidak menolongku, menggotongku ke dalam. Yang menolongku justru Mbak Yanti.
Mama senang dengan tawaran yang kubilang setelah siuman. Kepalaku pusing dan aku melihat Mama menangis. Mama menciumiku dan bersyukur aku tidak kenapa-napa. Tetapi dia bilang, kalau tidak bekerja, tidak bisa membelikanku boneka lebih banyak lagi. "Lagian Mama tidak tiap hari ngantor, Nak. Akhir pekan kamu juga sering Mama ajak ke taman atau ke tempat-tempat bermain favoritmu, 'kan?"
Mama mencoba menghiburku. Mama mengelus-elus rambutku. Selalu begitu. Tapi aku tetap sedih, karena boneka bukanlah teman yang baik. Boneka itu benda mati dan tidak bernyawa. Tidak tersenyum jika kami bahagia, dan tidak menangis saat aku sedih. Boneka tak berperasaan. Saat tak sengaja gaun salah satu dari mereka—boneka terbaik milikku yang bergaun merah muda indah—tersangkut di meja dapur sehingga jahitan baju dan kulitnya jebol, di dalamnya tidak ada perasaan. Di sana cuma ada spons dan kapuk.
Bagaimana bentuk perasaan?
Aku sering menduga, perasaan dibuat dari air mata. Tanpa perasaan, kita tidak bisa hidup. Kalau benar boneka-bonekaku berperasaan, maka mereka sudah mati dari dulu, karena bukan sekali dua kali saja Mbak Yanti mencuci dan menjemur mereka di bawah terik matahari. Sudah berkali-kali. Mungkin karena aku sedih dan sering melamun saat bermain sehingga tumpah teh dan kopi yang kubawa. Aku selalu melamun, seandainya boneka bisa bicara.
Ah, kalau benar boneka-boneka punya perasaan, semua sudah terlambat. Air mata mereka, sumber kehidupan, sumber perasaan seperti yang aku miliki sebagai seorang anak kecil, telah menguap dan hilang ke angkasa. Aku berharap saja, semoga air mata yang kini di angkasa sana menjelma jadi bidadari-bidadari cantik sehingga mereka turun dan menjadikanku sahabat.
Di hari ulang tahunku kelima, Mama mengajak keluar. Lagi-lagi tanpa Papa. Kemarin dia pamit ke luar negeri, ada urusan bisnis. Aku sudah biasa dan tidak tanya lagi. Sepanjang jalan aku diam dan Mama jadi sedih. Katanya, ini hari ulang tahunku, seharusnya aku tersenyum manis. Kubilang, aku tidak akan tersenyum manis selama tidak ada teman bermain di rumah. Mama menghentikan mobil dan menangis lumayan lama.
Selesai Mama menangis, sebuah ide datang dan aku menganggap mungkin ini bisa dilakukan tanpa harus Mama berhenti bekerja. Lagi pula aku tidak tega dan merasa dosa bila membuat Mama menangis begitu.
"Ma, aku mau hadiah ulang tahunnya jangan boneka lagi, boleh?"
Mama, dengan sisa air matanya, menoleh padaku dan tersenyum, "Boleh kok, Nak. Boleh. Memangnya Nayla mau apa?"
"Nayla pengen adik, Ma. Biar kayak teman-teman di tempat bermain. Mereka punya adik dan bisa bermain setiap hari. Boleh, 'kan?"
Mama diam seketika.
"Boleh, 'kan, Ma?"
"Iya, Nak. Nanti Mama belikan, ya? Tapi, tokonya jauh dari sini. Nayla yang sabar saja."
Aku mengangguk bahagia. Ya Tuhan, ternyata urusan mencari teman tidak sesulit itu. Kenapa tidak dari dulu kepikiran meminta adik? Kini Mama janji membelikanku adik? Senangnya! Hari ini, aku juga akan berjanji merawat dan menyayangi adikku jika nanti ia sudah dibeli dan jadi milik kami—milikku tepatnya.
Aku tidak bertanya lebih jauh ke manakah Mama beli adik untukku, sehingga aku tidak tahu apakah aku bisa memilih warna kulit, jenis kelamin, atau bentuk rambut adik itu nanti; itu tidak penting. Lagi pula, aku tidak tahu toko yang menjual adik letaknya di mana dan apakah pegawainya memberi izin memilih atau tidak. Mungkin benar, toko itu sangat jauh dan hanya orang dewasa saja yang tahu tempatnya. Oleh karena itu aku tidak tahu. Aku tidak ambil pusing dan menunggu.
Kehadiran seorang adik saja, bagaimanapun rupanya, kusyukuri karena ia akan menjadi temanku. Ia akan menghiburku dan aku tidak lagi mimpi buruk diusir penjaga pintu masuk tempat wisata yang jahat. Aku juga tidak takut bila seekor anjing besar dan galak memandangiku, karena bersama adikku, kami saling melindungi.
2/
Kepada Nayla, saya berjanji memberinya kado itu. Tapi saya tidak tahu bagaimana caranya. Malamnya saya down dan nyaris gila. Untung Nayla tidur di kamarnya sendiri sehingga tidak tahu saya menangis semalaman.
Esoknya saya telepon seorang teman dan bikin janji. Kami ketemuan di sebuah mal usai jam pulang kerja. Sekalian menyewa kamar hotel untuk menyelesaikan problem ini. Nayla pasti tak berpanjang kata seandainya bertanya kenapa saya pulang esok paginya. Saya akan jawab, "Kemarin Mama ke toko yang menjual adik. Tempatnya jauh, Nak. Jadi harus nginap."
Yah, dia tidak akan curiga.
Mobil stop di pelataran parkir. Saya lihat seorang berwajah familier melambaikan tangan. Saya mengenalinya. Dia Niko, teman semasa kuliah dulu. Kami sempat pacaran sebelum akhirnya saya nikah dengan papanya Nayla, seorang yang aslinya tidak saya cintai. Selama beberapa tahun, sampai Nayla mulai mengerti keberadaan seorang teman lewat mimpi, juga membenci boneka yang ia sadari tidak akan pernah tulus, saya tahu perasaan saya masih tertinggal di masa lalu. Di hati Niko.
Untuk itulah, keputusan saya tidak salah. Sebuah peran saya dan suami jalani sejak tahun keempat pernikahan, demi tidak menodai jiwa Nayla yang suci dengan masalah rumah tangga. Bahwa kami cerai sejak itu, anak itu tidak tahu. Dan bahwa papanya punya keluarga baru, ia tidak tahu. Mantan suami saya selalu bilang, "Papa kerja dulu, ya. Di luar negeri." Padahal ia cuma pergi ke luar kota.
Malam itu, demi janji dan kado ulang tahun untuk anak yang saya cintai, saya kembali ke masa lalu. Tidak, saya tidak menyesal, karena toh Niko masihlah sama; dia tidak menikah dan tidak akan pernah, karena orangtua kami tak setuju. Itu karena kami saling mencintai. Tapi, tentu, ia tetap bisa memberikan adik untuk Nayla. [ ]
Gempol, 28 Maret 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media cetak lokal dan nasional.
Comments
Post a Comment