Skip to main content

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Padang Bunga" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra edisi Senin, 13 Juni 2016)

    Kalau dihitung, mungkin sudah empat belas kali Maria pergi ke padang bunga. Ia memang suka bunga-bungaan dan juga suka memetik lalu menyimpannya di kamar di dalam bagian tengah buku hariannya. Dua bulan sekali atau tiga hingga empat bulan sekali ia ke padang bunga itu. Tidak tentu. Itulah kenapa tak bisa dipastikan kapan ia pertama pergi ke padang bunga.
    Padang itu indah. Konon ribuan atau mungkin jutaan malaikat sering berkumpul di sana, memetik bunga dan saling bercumbu, serta membuat tarian mistis yang hanya dipahami oleh anak-anak dan perawan suci. Malaikat-malaikat awalnya turun dari langit dan memijak beberapa petak tanah yang tak ditumbuhi bunga. Mereka lalu berpelukan dan sayap-sayap itu menguncup. Pada saat itulah, malaikat-malaikat menjelma serupa manusia.

    "Mereka lalu bernafsu. Nafsu yang terkubur jutaan tahun selama memikul tugas berat sebagai makhluk berbahan dasar cahaya," kata-kata ini keluar dari bibir kering Maria. Kata-kata yang oleh sebagian besar orang dianggap tanpa dasar sehingga sang pengucap divonis sinting.
    Maria tujuh belas tahun dan ia ingin menikah. Dengan malaikat, tentu saja. Siapa tidak kira ia sinting? Malaikat tidak bernafsu, kata orang-orang. Tapi ia bilang bahwa itu mungkin kalau kalian melihatnya. Malaikat bisa bersetubuh dan menikmati lekuk-lekuk perawan sepertinya, mengisap seluruh aura kesucian dari tubuh moleknya. Orang masih tak percaya, kecuali mereka sendiri melihat. Adakah jenis kelamin pada malaikat?
    Maria tak acuh. Keinginan itu ia sampaikan pada Ibu. Ibu murka dan menamparnya berkali-kali sampai bibirnya bengkak berdarah.
    "Bicara apa kamu, Perawan? Bicara apa?!"
    "Saya ingin menikah dan saya ingin melahirkan anak malaikat."
    Ibu semakin marah dan mengurung Maria di kamar, berhari-hari.
    Dari dulu Maria sedikit bicara dan banyak bergumam. Dalam setahun, belum tentu ia bicara lebih dari lima belas kalimat. Maka, ia gila. Tidak, ia tidak dipastikan gila oleh dokter mana pun. Juga tidak pernah mengacau, selain membikin orang bertanya-tanya dan berdebat dan akhirnya saling memusuhi hanya karena selentingan soal malaikat di padang bunga yang Maria kabarkan. Si gadis diam dan tak peduli, karena itu dianggap gila.
    Seharusnya ia bicara, kata seseorang.
    Yah, Maria tidak mungkin bicara, kata yang lain.
    Kenapa?
    Karena dia jatuh cinta pada malaikat.
***
    Konon lagi, entah menurut siapa, mereka yang jatuh cinta pada malaikat memang sudah malas bicara dengan kaumnya. Tak tahu benar tidaknya. Tapi itulah yang mereka yakini sedang terjadi pada Maria.
    Meski demikian, kehidupan tetap berjalan lancar. Ibu dan beberapa pegawainya ke tokonya di pasar setiap pagi dan berjualan minyak wangi sampai sore. Ibu punya pabrik tradisional untuk produksi parfum racikan. Dalam sehari bisa menghasilkan berpuluh liter parfum berbagai aroma yang selalu habis. Beberapa dikirim ke pabrik modern di kota besar untuk dikemas dalam botol mahal dan dipajang di supermarket. Beberapa dibeli pelanggan khusus dan sisanya dijual sendiri bersama pegawai di toko pribadi.
    Ibu mungkin kaya, tapi tidak pernah pamer. Tidak menampilkan diri sebagai orang kelebihan uang. Maria dididik sejak kecil untuk miskin, sebagaimana bocah lain di desa itu. Tak ada keinginan semudah membalik telapak tangan. Dan dia setiap hari disuruh berkubang lumpur seperti anak-anak babi. Di sekolah, dulu, Maria benar-benar dijauhi karena baunya. Gadis itu, tentu saja, mengerti sikap Ibu hanyalah terjadi bila wataknya pelit.
    Meniru teknik tradisional di suatu kota di Prancis, yang diwarisi dari leluhur yang orang Belanda, rumah besar Ibu kelihatan berbeda dari tahun ke tahun, bahkan sampai kiamat, tidak bakal ada yang meniru usahanya. Orang juga tidak tertarik melakoni bisnis itu, karena tahu tiap hari mereka berkubang lumpur sebagai petani biasa di sawah-sawah. Mereka hanya bisa melihat rumah itu sebagai berkah bagi desanya karena berkat adanya rumah produksi parfum, padang bunga pun diadakan.
    Mungkin dulu, leluhur Maria yang menanam bunga-bunga di padang sehingga jadi seperti hari ini. Karena usaha parfum tidak stop, bunga-bunga juga tetap dipelihara dan dijaga dengan baik, padang itu semakin indah dari waktu ke waktu. Para petani suka ke sawah sambil menikmati padang bunga, juga sesekali melihat ke arah pabrik yang tidak bising itu. Mereka bahagia. Setiap hari aroma surgawi melingkupi kawasan itu dan disebar oleh angin ke delapan penjuru. Stok bunga di padang tidak akan habis meski diambil untuk disuling demi mendapatkan biang parfum. Biang itu nantinya diracik dengan alkohol dan sesama biang-biang lain untuk menghasilkan parfum yang siap jual. Mungkin, pikir orang, bunga itu kembali tumbuh karena malaikat-malaikat turun dan menari di sana.
    Apa pun itu, bunga-bunga memang selalu tumbuh, kata Ibu. Itu bukan pengaruh si malaikat atau si setan. Kalian jangan mengada-ada. Ia menghukum Maria agar berhenti berkhayal yang tidak-tidak. Ia melarang lagi Maria ke padang bunga sejak kunjungan ke tiga; waktu itu ia mulai mengabarkan kisah bahwa ia dipeluk dan diajak menari oleh salah satu malaikat berwajah ganteng.
    Maria tidak banyak menuntut, tetapi ia tidak suka dilarang-larang terkait kesukaan barunya soal padang bunga. Ia mencari cara. Beberapa pegawai biasa bertugas memetik bunga. Maria diam-diam membaur bersama mereka dengan tampilan kotor dan samaran sempurna. Si gadis lalu sembunyi di balik pohon, di tepi padang, sampai mereka selesai memetik bunga dan ia bisa bertemu malaikat pada suatu senja.
    Padang bunga itu tidak terlalu jauh dari rumah. Jalan kaki sepeminuman teh, ia sampai. Di sana, di bagian tepinya, kursi-kursi besi panjang tersedia. Maria bisa duduk di sana dan melamun sepuasnya sepanjang sore hingga larut malam. Bahkan ia bisa menginap karena tempat itu tidak ada yang memiliki.
    "Malaikat yang punya, bukan Ibu," kata Maria suatu ketika. "Kita boleh duduk atau tidur-tidur di situ."
    Kabar burung lain bilang ia bisa bicara dan bercanda dengan malaikat. Bagi Maria, bila belum bercinta dengan malaikat, Ibu tak berhenti mengatur-aturnya harus tampak bagai anak babi setiap hari. Maria bosan. Kali ini ia melawan. Berikutnya ia dikabarkan sering menulis surat. Ada puluhan surat berbahasa aneh di kamar. Surat dari malaikat, tentu saja.
    Ibu tak tahu dan merasa hukumannya ampuh, tetapi orang desa telanjur tahu Maria melanggar larangan pergi ke padang bunga sembilan kali. Ingat, hari ini dia sudah ke sana untuk keempat belas kali! Maria tidak akan berhenti sampai ia akhirnya menikah dengan salah satu malaikat.
    Ia membayangkan, seandainya benar itu terjadi, alangkah bahagia menimang bayi dari benih malaikat. Mungkin anak itu bersayap dan kelihatan lucu kalau difoto nanti. Persis dewa cinta di buku-buku komik atau di lukisan bernuansa religius yang dijual di depan gereja.
    Ada saatnya, pikir Maria, ada saatnya aku menikah dengan malaikat. Ia yakin itu akan terjadi. Tidak lama lagi. Dan ia siap, meski harus menentang Ibu.
***
    Maria pergi ke padang bunga. Ini kali ke lima belas.
    Beberapa malaikat turun dari langit dan menguncupkan sayap-sayap mereka. Satu di antaranya, yang sudah kenal dekat dengan Maria, dan mungkin juga berharap bisa menjadi pacar si perawan, datang dan berkata, "Kamu siap?"
    Maria mengangguk. Ia memang sangat pendiam.
    Malaikat itu membawanya ke tempat yang agak jauh dari pesta dan tarian-tarian para malaikat. Di ujung terjauh padang bunga, mereka mencari tempat duduk. Malaikat ganteng itu menggelar tikar yang ia bawa dalam ransel. Maria disuruh duduk dan ia menurut. Ia memang sangat pendiam.
    Malaikat itu, tak seperti yang sudah-sudah, mulai membisikkan kata-kata surgawi yang jauh dari aroma parfum di rumah si gadis. Mungkin karena terbiasa dibius parfum racikan yang sebetulnya sangat harum dan segar di hidung, Maria merasakan sensasi luar biasa atas kata-kata surgawi. Ia bosan aroma surgawi dan rindu kata-kata surgawi.
    Kepada malaikat itu ia jatuhkan diri dan mulai telanjang. Keduanya menikah dalam kesaksian bulan, Tuhan, dan setan. Tak ada malaikat-malaikat lain. Hanya mereka berdua di sana saling menyatu dan menyatu semakin dalam hingga Maria merasa hidup dia dan Ibu akan berbeda.
    Maria tidak menjerit ketika malaikat menjebol tirai pembatas. Ia memang sangat pendiam. Pulang ke rumah, kepada Ibu ia tunjukkan celana dalam yang bernoda darah. Ibu melihat sepintas dan menangis. "Maria, Maria..." katanya menyesal. "Kamu bukan lagi perawan suci sebagaimana sosok yang menggendong Yesus seturun dari tiang salib."
    Maria tersenyum dan besoknya ia ajak malaikat itu ke rumah. Si malaikat, dengan sebuah mobil, berjanji membahagiakan perawan (yang tidak lagi) suci. Tetapi dengan satu syarat: pabrik itu harus menjadi miliknya. Ibu tentu saja tahu. Malaikat sejak dulu cemburu padanya. Mereka takut kalah bersaing oleh pabrik yang berdiri di desa, yang masih menyuling biang dengan teknik tradisional, yang memproduksi aroma dengan rasa jauh lebih surgawi dari parbik modern. Bahkan, jauh lebih surgawi dari malaikat itu sendiri. Sosok yang wujud aslinya tak lebih dari manusia kelebihan uang. [ ]

    Gempol, 12 Juni 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai.Karya-karyanya tersebar di media cetak lokal dan nasional.

Comments

  1. Ditulis 12 Juni 2016, tayang 13 Juni 2016?!
    ckckckkkk......

    ReplyDelete
  2. Makin keren aja blognya, nebeng nitip backlink ya, sesekali mampir balik ke blog absurditasmalka.blogspot.co.id atau www.urbanhidroponik.com hatur nuhun

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri