Skip to main content

[Cerpen]: "Pesan Kiamat dari Pertapa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tanjungpinang Pos edisi Minggu, 19 Juni 2016)
    
Di seberang jalan mendadak penuh orang. Aku belum bisa memastikan ada apa di sana, karena penjual rokok masih mencari kembalian untukku. Selagi menunggu uang kembali kuterima, kupandangi seberang jalan; penuh sesak. Orang-orang membentuk lingkaran seakan sesuatu di tengah lingkaran itu, yang tidak bisa kulihat, adalah mayat seseorang tanpa identitas.
    Penjaga kios rokok juga bertanya-tanya, apa yang mengundang perhatian orang. Kukira barusan ada kecelakaan dan korban meninggal seketika. Tabrak lari, barangkali. Beberapa orang mengambil ponsel dan merekam video, tapi tak seorang pun mengucap kata-kata ilahi.
    "Biasanya, kalau ada orang mati, pasti ada yang menyebut-nyebut Tuhan," celetuk penjaga kios.
    Ada benarnya pendapat ini. Aku sering menemui kecelakaan mengerikan di jalanan, di mana pun, dan tiap orang di sekitar TKP selalu membawa-bawa nama Tuhan. Bukan hal aneh. Justru akan sangat aneh jika ada orang meninggal di tempat terbuka dan tidak ada yang segera ingat pada Tuhan.

    Maka, kuubah dugaanku. Mungkin, di seberang tak ada orang meninggal. Mungkin anak kecil tersesat yang kehilangan orangtuanya. Lebih masuk akal. Kehadiran perekam video, tentu saja, tidak bisa dihindari. Dewasa ini banyak orang yang senang merekam tanpa mau bertindak.
    "Mungkin bocah hilang," sahutku setelah menoleh seberang. Si penjaga kios rokok mengangkat bahu dan tidak menjawab. Agaknya ia juga ingin tahu dan melihat dengan mata kepalanya setelah transaksi kami berakhir.
    Sementara beberapa rupiah kuterima dari penjaga kios, dari berbagai sudut muncul orang-orang yang juga penasaran ingin melihat. Hari belum cukup terik, sekitar pukul enam lewat lima belas menit, dan libur akhir pekan membuat sebagian besar penonton terdiri dari orang-orang berbaju olahraga.
    Aku dan penjaga kios berlari beriringan menyusul kerumunan itu. Kami kesulitan mencari celah mengintip, karena sudah telanjur banyak yang mendahului, tetapi di pusat lingkaran kerumunan, di tempat yang kukira lokasi terbunuhnya seseorang atau titik di mana seorang bocah mungkin saja bingung kehilangan orangtua, ada suara serak-serak basah.
    "Percayalah, dunia ini terlalu tua. Orang tidak perlu susah cari duit. Toh kalau mati, bukan duit yang dibawa!"
    Suara ini khas mempromosikan sesuatu. Tukang sulapkah? Orang gilakah? Atau apa? Jangan-jangan pemuka agama yang resah karena semakin ke sini manusia semakin tergiur akan dunia?
    Aku dan penjaga kios rokok kompak maju dan meminta pada seorang ibu paruh baya berbadan bongsor, untuk memberi kami kesempatan melihat. Pada saat ini, entah berapa banyak kamera video merekam aksi pemilik suara serak-serak basah.
    Baru kami sadar. Aku dan penjaga kios itu saling melirik dan tersenyum. Di tengah kerumunan bukan ada mayat lelaki tanpa identitas, bukan juga seorang anak tersesat, apalagi tukang sulap atau pemuka agama. Di sana ada lelaki tua. Ia duduk bersila dan memakai baju pertapa. Membawa buntalan kain dan memakai bakiak, membuatku yakin kemungkinan terakhirlah yang tepat; orang gila cari-cari perhatian. Ialah pemilik suara serak-serak basah itu.
    Penjaga kios menepis angin dan mendesah, lalu pergi ke luar kerumunan. Mungkin berpikir, menonton barang begini buang-buang waktu. Ia harus jualan dan beda dengan kami yang lain, yang tidak ada perlu apa pun. Setelah penjaga kios lenyap, aku mencari celah agar bisa melihat lebih jelas di barisan terdepan.
    Lelaki tua itu cukup aneh. Kukira, usianya mendekati tujuh puluh. Walau tubuhnya ceking dan bungkuk, ia sehat. Ia terus berceloteh tentang eksistensi Tuhan dan malaikat dan tentu saja kebenaran hari kiamat. Orang-orang semakin rusak, begitu katanya, dan mereka tidak sadar melupakan apa yang dinamakan hakikat kehidupan.
    Aku tidak tahu. Mungkin benar orang ini gila. Yang dibahas soal berat, seakan ia ahli agama salah tempat. Bajunya, wajahnya, dan buntalan kain entah berisi apa; segala tentang kakek ini membuatnya aneh ketika yang kudengar topik macam ini.
    Tidak lama kemudian, ia diam beberapa jenak. Posisi bersilanya kian teguh, seperti tidak berubah walau ada yang bawa tank ke arahnya, lalu menabraknya sampai gepeng. Para penonton tidak tahu ke mana arah omongan kakek ini, kecuali paham nasihatnya memang ada benarnya. Dunia dan isinya memang tua dan tidak perlu dikejar-kejar. Dunia bukan barang abadi.
    Kakek aneh itu, setelah memejamkan mata beberapa detik, meraih buntalan kain di sisi kirinya, dan mencakup sesuatu dari dalam dengan kedua tangan. Sesuatu yang besar, yang kukira jubah. Mungkin orang ini membawa jubah untuk momen mengharukan ini. Aku tertawa dalam hati dan berpikir ini konyol. Mungkin jubah itu akan membuatnya mengaku diri sebagai nabi?
    Tetapi barang yang diambilnya itu bukan jubah. Sekilas, warnanya berkilau seperti emas. Orang-orang di barisan depan, termasuk aku, susah payah menahan beban tubuh dan dorongan agar tidak terjungkal. Mereka yang di belakang tidak sabar dan mendorong kami, menyuruh kami menyingkir demi melihat apa yang diambil si kakek.
    Kamera-kamera perekam video masih bekerja sejauh itu. Belum adanya penjelasan, tentu saja isyarat bahwa video masih akan direkam paling tidak separuh jalan dari waktu yang lewat. Ketika lelaki tua itu berhasil mengeluarkan sesuatu dari buntalan kainnya, beberapa orang terperanjat dan melempar jerit. Lingkaran melebar karena tidak semua orang suka. Aku bernapas lega, walau tak selega yang kamu bayangkan, karena lelaki itu kini memangku ular licin sepanjang dua setengah meter!
    Orang-orang yang tadinya tenang dan berbisik-bisik, mulai mengeluarkan berbagai suara. Ada panik dan decak kagum. Panik karena tidak suka ular. Kagum karena badan sekurus itu, sanggup membawa beban besar tanpa mengeluarkan banyak usaha.
    Kakek itu tenang memangku ularnya, seperti bocah memangku anak kucing yang baru dibeli dari pet shop, semacam hadiah ulang tahun ketujuh dan bonus karena dapat ranking satu. Sungguh ajaib. Kakek ini tenang mengelus-elus bodi ular besar yang tidak kutahu jenis apa. Aku bukan ahli ular. Aku tidak suka ular, walau tidak bisa dibilang takut.
    Kakek itu kembali bicara soal dunia dan isinya. Ia mencoba menganalogikan perut manusia dengan perut seekor ular, yang jika menelan mangsa tidak tanggung-tanggung. "Alangkah lebar perut kita," begitulah katanya lantang. "Dan kita selalu lupa betapa kita ini manusia, bukan ular!"
    Keadaan mulai ramai dan jalanan sudah dilewati banyak kendaraan. Klakson saling hantam di udara, tetapi semua yang menonton kakek aneh dengan ular sepanjang dua setengah meter ini tidak peduli. Kerumunan terus melebar dan melebar sampai mengisi sebagian jalan.
    "Kalau saja kita," lanjut kakek itu tak kalah lantang dari sebelumnya, "Kalau saja kita bangun dari tidur panjang, tidak ada kata serakah, dunia akan lebih baik. Betapapun kiamat pasti datangnya, surgalah yang menyambut. Orang akan cari duit sekadarnya, asal bisa makan. Tidak seperti ular yang melihat mangsa, langsung telan bulat-bulat!"
    Lalu, sembari mencoba berdiri dengan tetap memposisikan ular super itu berada di penguasaannya, si kakek mulai memandang langit dan wajah orang-orang di sekitarnya. "Lihatlah, wajah-wajah nafsu! Lihatlah, langit yang menua seiring dunia. Kalian tidak sadar? Tidak bercermin?" Ia kalungkan ular itu ke leher, yang dengan segera direspon sang ular dengan baik, karena ular itu langsung melilit tubuh bagian atas kakek aneh ini.
    "Kalian tahu, ular tidak seserakah manusia. Mereka tahu batas kemampuannya. Di mana-mana, ular kenyang pasti rehat. Manusia? Oh, sudah kenyang, malah tambah!"
    Orang-orang terpana dan kamera video masih bekerja. Bahkan, beberapa yang tadi cuek-cuek saja mengambil gambar, tidak sengaja menjatuhkan ponselnya karena terlalu fokus pada tubuh ceking si kakek. Aku sendiri tidak memegang ponsel dan tidak terpikir ikut merekam pertunjukan aneh ini. Buat apa sih? Biar bisa mengunggahnya ke Youtube dan orang lain ikut melihat apa yang kita saksikan di jalanan? Kurasa itu bukan ide yang bagus.
    Dan kupikir keputusan menjauhkan tanganku dari ponsel perekam video lumayan tepat, karena kakek itu mulai sulit berkata-kata. Ular itu melilitnya hingga sulit bernapas. Aku tak tahu apa yang orang pikirkan seandainya melihat video di internet, seorang kakek pertapa mati dililit ular; pasti memualkan.
    Aku dan beberapa orang pria turun tangan melepas tubuh liat ular besar itu dari si kakek. Sementara kami menolongnya, si pertapa mengumpat, "Biarkan saja, Bodoh..." katanya tersendat. "Biarkan!"
    Maksud kakek ini mungkin: biarkan ular melahapnya, karena si ular belum makan beberapa tahun. Sungguh tolol. Benarkah ular bisa tidak makan beberapa tahun? Bukan kecelakaan macam ini yang ingin kami lihat, maka tidak kami pedulikan omongan gila dia. Kami sadar barangkali Tuhan mengirim orang gila ini untuk pelajaran. Ia ingatkan kami tentang umur dunia, tentang kerakusan, tentang dosa yang nikmat, lewat tangan orang gila penggemar ular.
    Setelah kakek itu dibawa polisi ke tempat aman, aku pulang, menyisir gang dekat kios rokok, sambil berpikir, "Mungkin ini alasan kenapa ada begitu banyak orang gila menjual agama."
    Aku tidak asal berpikir. Kalau dipraktikkan secara total seperti kakek pertapa itu, maksudku soal kegilaan serupa, mungkin akan lebih banyak yang masuk surga. [ ]

    Gempol, 11 Maret - 13 Juni 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri