(Dimuat di Flores Sastra edisi Sabtu, 9 Juli 2016)
Dua puluh empat jam sehari dikali beribu-ribu belum cukup lama untuk membuat saya menua. Saya tetap muda dengan gerakan jarum yang itu-itu saja; tik, tak, tik, tak, selalu rapi dan tak cela, kecuali barangkali pernah dua kali harus berhenti bekerja bagai orang mati, namun yang suri, sehingga saya bisa bangkit dan menjadi penanda waktu.
Oleh lelaki Belanda saya diajak menapaki desa dengan jalan yang belum diaspal. Dijual kepada pemilik tanah terluas di sana, diperlakukan bagai perawan cantik jelita, saya merasa hidup saya akan membosankan. Konon, ada yang bilang, tempat macam ini tidak akan memberi saya pemandangan pelangi. Maksudnya, yang penuh warna.
Perang meletus entah pada tanggal berapa. Bukan tugas saya memang kalau soal hitungan bulan dan tahun. Saya hanya bekerja pada skala yang lebih kecil dan sederhana. Detik, menit, jam terus berputar oleh saya; atau saya yang bekerja oleh mereka setiap hari. Saya bayangkan, jika tanpa mereka, apa saya masih ada?
Orang Belanda banyak sekali yang mati. Mayat-mayat bergelimpangan. Saya pikir, baiklah, ini saatnya pelangi. Hujan peluru dan cipratan darah adalah awal mula pelangi ini, warna-warna dalam hidup yang kemudian melengkung persis membentuk semacam garis di atas puncak saya.
"Jangan dirusak. Itu bagus buat markas kita," kata seseorang.
Maka begitulah saya dibawa pergi ke tempat baru.
***
Hanya kepada orang Jepang saya berharap ingin mati.
Mereka selalu detail dan membuat saya terlalu berarti—kalau tidak disebut licik, karena mereka seakan tak sudi saya kalahkan. Saya lebih dari perawan yang cantik jelita. Barangkali, saya adalah uang. Tetapi, tentu, mereka tidak menjual saya ke mana-mana. Saya diperlakukan dengan teliti, tetapi juga agak kejam. Tak kenal ampun. Saya bekerja dan bekerja tanpa pernah sempat belajar bagaimana harus menyesuaikan diri di tempat baru.
Namun, betapapun keras saya bekerja, saya tidak kunjung menua. Saya semakin tegap memutar jarum dan merasa selalu muda sebelum ayam jantan berkokok. Bunyi tik, tak, tik, tak kian nyaring bila bertarung dengan lengking disiplin orang-orang bermata sipit itu.
Dari kabar burung—yang sampai melalui udara, karena ketahuilah, penanda waktu di seluruh dunia ini bisa berkomunikasi melalui angin—saya dengar di beberapa tempat lain kekejaman juga berlaku pada rekan senasib saya. Orang-orang pribumi. Kaum yang kami dapati memberi warna pelangi di kemudian hari, karena para lelaki Jepang kadang membawa pulang perempuan-perempuan berkulit cokelat itu untuk diseret ke atas kasur, mulai mencengkram jarum di tubuh mereka. Tubuh serupa tubuh saya. Semua semata agar laju mereka stabil, sehingga Jepang yang lebih dulu teguh, dapat dikalahkan.
***
Demikianlah, waktu berjalan dan segalanya menjadi baru di pagi hari. Saya dibawa pergi dari satu tempat ke tempat lain setelah Indonesia merdeka. Negara baru yang dulu saya kira sekadar seluas desa dengan jalanan tanah yang belum diaspal.
Kemudian saya tahu kehidupan manusia banyak sekali polanya. Kecuali manusia, saya rasa tidak ada yang mengalami sensasi antara bahagia, takut, sedih, marah, kecewa, dan lain-lain.
Jam aneh seperti saya, adakah berpotensi dikejar masalah demi masalah? Hanya dua kemungkinan untuk kehidupan kami: dicengkram dan diabaikan. Dan saya pernah merasakan keduanya, dalam waktu yang berjarak sangat jauh.
Dua puluh empat jam sehari dikali beribu-ribu belum cukup lama untuk membuat saya menua. Saya tetap muda dengan gerakan jarum yang itu-itu saja; tik, tak, tik, tak, selalu rapi dan tak cela, kecuali pernah dua kali harus berhenti bekerja bagai orang mati, namun yang suri, sehingga saya bisa bangkit dan menjadi penanda waktu.
Kerusakan pertama ketika saya benar-benar kepayahan mengikuti kehidupan penuh warna. Tak sesederhana di rumah para bangsawan yang serba monoton. Banyak hal saya lihat, meski sering saya merasa harus berlari jauh meninggalkan orang-orang.
Saya dibawa ke rumah seseorang. Mati beberapa bulan bukan perkara mudah. Saya rasa saya memang mati, tapi sadar saya ada. Sayalah wujud atau penanda atau pengabar para manusia agar ingat kematian datang menjemput mereka kelak. Padahal, saya tahu Tuhan tidak mematikan saya.
Kerusakan kedua setelah tidak lama saya bangkit dan menjalankan waktu seperti biasa. Saya tinggal di rumah kolektor dan suatu hari ada perampok datang. Kematian kembali saya lihat. Warna kehidupan. Pelangi setelah hujan peluru dan cipratan darah di masa lalu. Ternyata, kemerdekaan suatu bangsa tidak menjamin manusia juga merdeka. Orang tidak seratus persen merdeka, bahkan walau sekadar memenuhi kebutuhan perut.
Saya rusak kena tembak malam itu. Saya dijual ke tempat penuh barang rongsok. Bertahun-tahun kembali mati (yang ternyata) suri. Dan kalau bukan oleh seorang lelaki kesepian yang datang dan menunggu ajal, saya mungkin masih barang rongsok.
Saya kira pemilik baru saya manusia biasa, tetapi spesial. Dia menunggu kematian dan setiap hari memandangi saya—yang dibelinya dengan murah dan diperbaiki begitu rupa sampai saya muda lagi. Saya tak tahu kenapa dan apa yang membuatnya percaya kematiannya tidak lama bakal datang.
Saya pikir, bagaimana kalau saya yang duluan mati, dan justru dia yang mendapati kematian jam antik di depannya? Apakah dia akan tertawa dan mengira Tuhan bercanda? Bagaimana kalau kami sama-sama tidak mati dalam waktu yang sangat lama? Apa dia lantas bangkit dan berkata, "Sumpah, saya bosan!"
Saya memang selalu muda. Dua puluh empat jam dikali berjuta-juta sekalipun, tidak mengubah saya. Kalaupun saya akhirnya mati dan tidak dihidupkan lagi, akan ada 'saya-saya' lainnya yang menjadi saksi kehidupan dan kematian manusia. Dan tentu saja, saya dan manusia tak bisa disamakan, meski kami sama-sama maju untuk sebuah tujuan yang patut dipertanyakan. [ ]
Gempol, 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya tersebar di media lokal dan nasional.
Comments
Post a Comment