Skip to main content

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Lubang Sumur" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi (KR Grup) edisi Jumat, 5 Agustus 2016)

    1/
    Maria tahu saya tidak pernah bercanda. Berani melanggar adalah berani melawan setrika panas dan seperempat gelas sabun cair. Saya tidak pernah hitung ada berapa luka bakar atau seberapa sering ia berkumur di kamar mandi kemudian, usai saya hukum dia dengan dua cara itu.
    Awalnya saya tidak menghukum. Saya tahu, saya baik; paling tidak, itulah yang tetangga ketahui. Tapi pembantu seperti Maria harus diberi pelajaran, karena ia salah. Saya bayar, pembantu kerja. Saya beri uang, pembantu beri tenaga.
    Simbiosis mutualisme mesti terjaga baik, tanpa kisah sampah yang dapat menyudutkan saya, betapapun saya benar.
    Maria mulai dengan seuntai kalung. Istri saya panik suatu pagi. Kalungku, Pa, kalungku! Ia berteriak mirip orang gila. Dapat dibayangkan betapa malu saya sebagai suami, kalau suaranya sampai ke kuping tetangga baru. Orang belum tahu kalau istri saya suka minta macam-macam dan saya harus lebih banyak menuruti, sedang saya tahu uang harus dipakai dengan kepala dingin. Bila orang lain tahu saya pelit, saya tidak siap menjadi omongan. Dan ini gara-gara Maria.

    Tentu saja tidak ada maling mengaku. Di mana-mana, tidak ada begitu, karena penjara bisa sesak. Bisa Anda perkirakan berapa ribu hektar lahan yang diperlukan guna membangun penjara di bumi—kalau setiap maling mengaku otomatis. Oh, Tuan, mohon ampun, saya mencuri dan bawa saya ke penjara. Maka, setiap penjara di bumi selalu penuh dan hukuman bagi pencuri tidak selayaknya sebentar; ini belum penjahat lain di luar pencuri. Pembangunan penjara diadakan tiap bulan sehingga dunia ini adalah dunia penjara!
    Sayang sekali, itu hanyalah utopia dan Maria serta saya tidak hidup di dunia utopia. Yang paling masuk akal adalah: maling tidak pernah dan tidak mungkin mengaku dan ujung-ujungnya ketagihan.
    Tiga minggu kemudian, gantian jam tangan anak saya hilang. Anak itu pendiam. Tidak banyak menuntut walau prestasi cemerlang. Anak cerdas, pemuda penerus bangsa, yang kehilangan jam tangan, membuatnya hancur. Anak yang jarang curhat pada saya, sedang sang mama sibuk mengurus toko bunga, tanpa memperhatikan perkembangan mental anak itu.
    Saya bilang, "Anakmu jadi lebih pendiam setelah jam tangannya hilang."
    Ya pasti! Jam itu hadiah ulang tahun yang sekaligus sebagai ucapan selamat dari kami karena ia bisa masuk universitas favorit.
    Istri saya tahu bagaimana anak semata wayang kami jadi pemurung. Jam tangan hilangnya mengesankan ia tidak bisa bertanggung jawab terhadap pemberian orangtua dan dia menghukum dirinya sendiri. Anak itu terlalu menyayangi kami, sehingga terlalu merasa bersalah, padahal ia korbannya.
    Maria tidak merasa bersalah melihat ini: istri saya yang jadi lebih cerewet dan tak terkendali, juga anak saya yang mendadak bagai robot bertenaga batu baterai. Pembantu sial itu menunduk dan bekerja seperti biasa, dan seperti tidak peduli pada kondisi anak istri saya, walau saya yakin dia pencurinya.
    Pertama, kalung. Kedua, jam tangan. Lalu? Saya tak bisa membiarkan maling ini hidup enak di rumah kami.
    Kepala istri saya tiap malam dipenuhi kurcaci yang minta makan. Ia bermimpi. Ia bilang ia tidak bawa makanan. Apa saja, kata kurcaci. Maka istri saya mencari sesuatu di saku. Tidak ada camilan, tidak ada permen, tidak ada uang. Hanya kalung. Karena para kurcaci memaksa, dengan setengah hati kalung itu ia beri pada mereka dan kaum cebol rakus menggerogoti kalungnya sebagaimana orang kelaparan.
    Saya diam mendengar penjelasannya, yang terdengar agak dilebih-lebihkan, meski tentu saya memilih percaya karena kalung emas itu juga berarti bagi istri saya. Sembari mendengar cerita mimpi buruk itu, saya bayangkan wajah Maria. Saya tahu pembantu itu mungkin sedang tertawa di kamarnya. Tertawa diam-diam, karena memperdaya majikan-majikan yang tolol!
    Seharusnya tidak ada yang tolol. Kini anak saya linglung dan sering tidak fokus, meski tidak kelaparan. Anak itu saya suruh makan dan dia patuh. Dia makan seperti orang biasa dan habis, tapi tiap saya tanya, misalnya, pertanyaan simpel semacam 'siapa presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat', dia jawab Benjamin Franklin. Anak itu tidak setolol ini. Otak dan tindakan tidak sinkron disebabkan jam tangan yang hilang.
    Dua akibat buruk dari dua pencurian oleh Maria. Saya tahu, saya tidak punya bukti, tapi di sini tidak ada orang lain selain dia. Mata nyalang saya tertuju pada Maria sejak itu. Dari hari ke hari, ia tidak berani menatap saya. Ia menghindar tiap saya menumbuk ke kedua bola matanya. Bola mata maling selalu berputar ke sana kemari, menghindari hukuman dan berharap utopia meliputi apa pun di sekelilingnya.
    Suatu malam saya bertanya pada Maria: Apa maumu?
    Ia tidak jawab dan menangis sesenggukan.
    Saya tanya lagi: Kamu maling, 'kan?! Ia menggeleng dan menangis makin keras. Saya tahu ia maling dan memutuskan ia tidak akan dibayar untuk pekerjaan enam bulan ke depan.
    Kata saya: masih untung tidak saya bawa ke polisi. Tapi Maria menatap mata saya dan berkata 'tidak'. Ia mohon agar gajinya dibayar. Saya tuanmu, kata saya. Dan kamu maling. Harusnya kamu saya usir dan masuk penjara dan tidak ada dunia utopia dalam kepala tololmu ini. Membawamu ke polisi tidak bakal mengembalikan kalung dan jam tangan!
    Demikianlah bagaimana akhirnya saya memeras tenaganya. Enam bulan tidak akan lama kalau Maria patuh. Lagi pula saya masih baik dengan memberinya makan dua kali sehari. Seharusnya tidak ada pantat setrika apalagi seperempat gelas sabun cair yang harus ia rasakan. Saya kira, yang membuat dua hal itu ada, justru Maria sendiri.
   
    2/
    Demi Tuhan, aku bukan maling.
    Tuan menuduhku maling, tapi aku tidak bisa membuat tuanku menderita. Iya, aku punya rahasia yang sepertinya selalu kusimpan sampai aku mati. Aku tak bisa merusak keharmonisan rumah tangganya, apalagi merusak kebahagiaan Tuan yang selalu bilang betapa keluarganya adalah keluarga paling bahagia.
    Tuan mengambilku dari kampung. Sebagai bentuk terima kasih dan hormat, aku kerja dengan sepenuh hati. Waktu ada kabar kalung Nyonya hilang, aku sudah perasaan. Pasti dituduh, pasti dituduh. Tapi aku diam. Aku mencoba tenang. Sayangnya, memang aku yang dituduh.
    Demi Tuhan, malingnya bukan aku dan aku tahu siapa maling itu. Tapi aku diam. Suatu hari tuanku bilang istrinya mulai gila. Dirasuki mimpi soal kurcaci yang minta diberi makan kalung. Dasar edan. Sumpah, bukan maksudku kurang ajar, tapi memang keluarga ini agak edan.
    Anaknya yang katanya pintar kadang suka meremas dadaku di teras belakang. Aku berontak pada mulanya, tapi dia bungkam bibirku dan dia ancam aku pakai silet. Sejak itu aku diam kalau diraba-raba, dan pernah juga digiring ke kamarnya pada suatu malam yang hujan.
    Aku sedih, tetapi aku tidak bisa mengkhianati kebaikan Tuan. Tanpa dia, aku masih nganggur di kampung dan jadi beban bagi Emak. Lebih baik jadi pembantu. Seandainya aku sekolah, punya ijazah. Minimal kerja pabrikan, bukan mbabu di sini dan jadi budak syahwat remaja lemah iman.
    Oh, Gusti, apa salahku? Aku mengabdi, manut, tunduk, tidak pernah membantah, sekarang dituduh maling. Satu lagi, aku tidak perawan, padahal dulu waktu berangkat kemari aku masih suci.
    Kalau saja tidak ingat betapa dulu tidak dibawa kemari oleh Tuan, dari rumah lama hingga diboyong ke rumahnya yang besar dan sejuk, sehingga keuangan emakku tidak bermasalah, sudah pasti kubongkar siapa malingnya. Akan kubilang kepada Tuan, "Mas Rendi pakai narkoba, Pak. Dia nyuri buat beli."
    Tiga tahun di sini, tiga tahun Rendi meraba-rabaku, tentunya aku hafal bagaimana sejak SMA anak ini sudah rusak. Sayang sekali, Tuan terlalu sombong sampai tidak tahu ada belang di rumah.
    Akibatnya, tiap hari aku dihukum. Disetrika, dicekoki sabun, sampai badanku rusak. Dari atas sampai bawah rusak total. Bangun tidur, badanku seperti gelas pecah dan aku mengira jangan-jangan aku mati? Aku kadang merasa sepenuhnya gila hingga tidak berani menatap tuanku.
    Aku lama-lama tidak tahan. Kerja enam bulan tidak dibayar. Dan Rendi masih juga menggagahiku malam-malam. Aku lama-lama tidak tahan dan berpikir, kalau kuturuti kerja enam bulan nggak dibayar, bisa mampus sia-sia aku. Jadi sebaiknya aku mati saja sekarang, sehingga nanti ada polisi datang dan aku masuk koran dan orang-orang jadi kasihan padaku. Kalau sudah begitu, orang akan memberi uang santunan pada Emak.
    Kurasa, ini pikiran terjernih yang bisa kupikirkan sejak Tuan menuduhku maling. Lihat saja, keluarga itu bakal mencariku besok. Tidak ada tempat lain yang lebih baik selain sumur. Dengar-dengar, bunuh diri dengan cara ini paling cepat, paling tidak menyiksa, dan tentu saja paling dramatis. Soal benar tidaknya, aku memang belum tahu. Tapi malam ini akan kucoba. [ ]
   
Gempol, 27 Juli 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri