Skip to main content

[Cerpen]: "Pembakar Kupu-Kupu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra, Jumat, 1 Juli 2016) 

 Di usia dua puluh, Sarmila yang sudah janda jadi incaran semua lelaki. Tidak heran, karena meskipun pernah kawin dan punya dua anak, dia tetap manis dan seksi. Di antara kaum Adam yang mengincar, termasuk Mudakir, tidak ada yang serius mau mengawini secara sah, paling tidak kawin siri, sebagaimana yang selalu Mudakir gaungkan. Incaran itu, apa lagi kalau bukan soal kasur?
    Rumah Sarmila tidak jauh dari losmen kuno. Tempat yang tak absen dari dunia malam dari selepas maghrib hingga jelang subuh. Kebanyakan diisi pengangguran, atau raja jalanan tanpa motor yang membangun markas di sepanjang jalan dekat bantaran kali.
    Gang-gang kecil, akses menuju kampung sepi peminat, setiap malam diblokir oleh meja dan bangku-bangku. Di atasnya, remi dan botol-botol minuman keras bertebaran. Puntung rokok jangan ditanya. Setiap pengunjung kawasan remang ini tidak pernah melewatkan itu, termasuk perempuan penghibur. Hidup di sini, memiliki anak gadis perawan harus benar-benar ketat dijaga. Kalau tidak, bisa dicaplok bajul buntung.

    Entah siapa yang memulai, sejak beberapa tahun silam, Mudakir yang bukan warga asli, melihat belasan lampu mercury dipancangkan berbaris sehingga tempat ini menjadi lokalisasi dadakan. Suatu pagi bisa saja beberapa bocah bersepeda atau bermain petak umpet di pinggir kali, namun malamnya, di tempat yang sama, sepasang mesum sedang memuaskan hasrat.
    Di sini yang Mudakir tahu hanya satu: selain para lelaki tak bermoral dan tak jelas arah masa depannya, terdapat pula beberapa orang yang sudah beristri tapi mengaku tak harmonis rumah tangganya. Pergi cari angin, kata mereka membuat alasan, yang adalah cara licik biar tidak diketahui orang rumah betapa mereka keluar ke bantaran kali dan menyewa bilik kecil di warung-warung remang bersama perempuan semacam Sarmila. Kalau punya uang lebih, bolehlah di kamar losmen. Biar pengap dan banyak nyamuk, yang penting puas dan aman.
    Sarmila sendiri sejak kecil sudah bermain di sekitar kali. Sampai kelas enam SD, ia tidak melewatkan malam-malam aneh, ketika bapak dan ibunya berjualan makanan dan minuman ringan di seberang losmen. Setiap warung yang dipenuhi lampu justru tidak laku. Dan karena Sarmila bukan anak orang berada, lampu di warung orangtuanya terbatas, cuma sebuah bohlam murah yang nyalanya kuning redup persis suasana mistik di film horor.
    Hari ini, mungkin Sarmila berharap melupakan masa-masa kecilnya; suasana horor itu kadang mampir di mimpi buruknya. Kenangan tidak mungkin hilang, kecuali dia mati atau seseorang memukul kepalanya sampai amnesia. Kalau bukan karena orangtua miskin, tentu Sarmila tidak ada di sini. Kalau lampu di warung itu terang, mungkin tidak ada lelaki bertahi lalat di jidat yang tahu-tahu berjanji mengajaknya jalan-jalan ke Jakarta.
    "Di sana kamu bisa jadi penyanyi, Sar. Wah, uangmu banyak. Bisa beli mobil, bisa naik pesawat. Macem-macem. Makanya, jadi pacarku biar tak ajak ke Jakarta," kata lelaki itu pada suatu malam. Mereka pun tidur di dipan. Orangtua Sarmila sudah pulang, tetapi hujan tambah deras. Dan mereka kebablasan.
    Kalau boleh jujur, Sarmila setuju menganggap malam kenangan itu adalah malam horor, bukan romantis. Memangnya ada barang romantis kalau Anda ketemu makhluk setara genderuwo yang terus mendesak tanpa jeda, yang buas dan tidak pakai aturan?
    Sebelumnya Sarmila sering diraba dan sudah biasa, tetapi malam itu ia rasakan kesakitan untuk pertama kali. Oh, jadi begini. Lalu, gimana, begitu ia terus membatin. Dan semua terjadi seperti mengalirnya air dari atas ke bawah. Lelaki itu mulai sering datang dan menjajalnya lagi dan lagi. Sarmila senang karena dijanjikan ke Jakarta demi impian, demi orangtua. Impian yang tak lebih dari omong kosong.
    Sekarang Sarmila menjanda. Lelakinya kecantol perempuan lain, hasil takdir salah jalan di tempat yang sama. Sarmila tidak peduli karena lelaki itu sendiri jelek dan tidak bisa mewujudkan mimpinya menjadi penyanyi dangdut. Maka ia lanjutkan menjual diri di tempat ini.
    Kini dia berusia dua puluh—atau sembilan belas tahun lebih tiga bulan sebelas hari. Sayangnya, tidak ada yang bisa menghitung angka seakurat ini, kecuali Mudakir, buruh salah satu pabrik pengawet makanan yang kost di kawasan ini sejak dua atau tiga tahun silam.
    Hanya Mudakir, si pengincar yang tidak ragu mengawininya. Berkali-kali, sejak bendera kejandaan Sarmila berkibar, lelaki tiga puluh tahunan itu sesumbar pada semua orang betapa si seksi dan manis itu bakal segera menjadi istrinya.
    "Tidak ada lagi," katanya dramatis, "...tidak ada lagi yang boleh menyewa Sarmila. Dia total milikku. Tak seujung rambut pun kalian boleh pegang-pegang!"
    Setiap orang langsung mencibir. Omong kosong macam apa. Sarmila sudah bekas banyak laki-laki, dari buaya kelas kakap sampai buaya jadi-jadian. Lagian, sekarang 'kan banyak bibit-bibit baru yang lebih segar? Sarmila bukan juara. Suatu hari si seksi itu juga tua dan kisut!
***
    Waktu itu Sarmila masih SMA. Sedang Mudakir umur dua puluh tujuh. Jatuh cinta pada anak SMA sah-sah saja. Tetapi, anak SMA itu suka keluyuran di warung remang, dan hamil pada suatu hari. Lalu menikah di hari-hari berikut. Mudakir melihat semua itu dengan hati terluka.
    Lelaki yang jadi suami Sarmila bernama Markoni. Biasa dipanggil dengan julukan 'Konkon'—atau sesekali diplesetkan menjadi kalimat tidak senonoh. Mudakir tak kenal Konkon. Dia juga tidak kenal para pengunjung warung, karena tidak pernah menyewa PSK. Ketika tahu ada siswi SMA cantik dan berwajah terang benderang di sana, jantung Mudakir bekerja di luar kewajaran. Ia jatuh cinta, bukan cuma pada keindahan tubuh, tetapi juga bentuk wajah yang rasanya tak pantas hidup di tempat serusak ini.
    Mudakir rutin datang dua malam sekali ke sana. Sekadar membeli rokok dan iseng saja memandangi tubuh-tubuh sintal lalu-lalang di depannya, atau terkadang ada juga di antara mereka yang berjoget secara vulgar di depan banyak lelaki. Mudakir ikut nonton, tetapi tidak tahan berlama-lama. Tentu, yang ia cari di tempat ini hanyalah Sarmila. Dan ketika yang dicari lewat, Mudakir melongo bagai orang idiot.
    Ketika kabar kehamilan Sarmila terbit, warga tidak heboh. Banyak sekali kejadian serupa. Hanya Mudakir yang heboh dan terpaksa tidak kerja dua hari karena demam. Ia tidak bisa tidur dengan tenang dan selalu bermimpi buruk: Sarmila digondol genderuwo Konkon dan dibawa ke hutan, sebelum dimakan. Mudakir tak bisa melupakan suara minta tolong Sarmila di mimpi itu. Seperti kenyataan. Benar-benar mengerikan.
    Konkon memang brengsek. Kelihatan dari hidung yang besar dan mekar dan merah menyala penuh minyak. Ia tidak pernah sembahyang—atau jarang mandi, kata Mudakir menyimpulkan. Dan ia cemburu berat.
    Kenapa orang secantik Sarmila mendapat suami sejelek itu? Kenapa dia sial sekali? Tapi, Sarmila tidak kelihatan sedih. Semoga suatu hari mereka bercerai, karena Konkon mati kelindas truk. Ingin rasanya Mudakir membakar wajah bajingan itu biar semakin jelek dan menyerah memperdaya Sarmila. Tapi, ia tak punya teman. Jadi ia berdoa saja supaya Konkon mati kelindas truk.
    Demikianlah Mudakir berharap suatu hari nanti ia bisa menjadi suami dari Sarmila. Tak apa bekas orang banyak, yang penting Sarmila cantik. Tak apa walau punya anak dua, yang penting bahagia. Lama-lama doa Mudakir terwujud, tapi bukan soal Konkon tewas terlindas truk, melainkan karena suami istri itu sudah tidak cocok.
***
    Sarmila sudah janda dan banyak yang mengincar. Mudakir menebar sesumbar ke mana-mana. Seolah si Sarmila memang mau menerimanya. Sarmila tahu siapa Mudakir, tapi yang ia cari uang. Padahal, ia sendiri ingin minggat dari sini, karena melacur bukan impian. Kehamilan pertama membuatnya gagal soal masa depan. Orang dengan ijazah SMP sulit sekali dapat pekerjaan. Ia terjebak di bantaran kali tempat para setan berpesta. Ia sering melihat tamu yang membayar kamar losmen sebagai seekor setan.
    Di losmen itu, Sarmila bayangkan, kalau ia jadi istri Mudakir, apa ia bakal hidup tanpa make up, baju-baju baru, duit pulsa, uang jajan anak-anak, dan tentu saja: tanpa menyanggupi setoran pada orangtua yang lama-lama ketagihan. Baru tahu mereka kalau tubuh anak mereka yang seksi dihargai cukup mahal dari segi materi.
    Apa Mudakir sanggup memenuhi semua itu, sehingga walau ia hentikan Sarmila sebagai pelacur, hidupnya bisa terus berlanjut?
    Sarmila tidak tahu, sampai suatu hari rumahnya kebakaran. Lepas subuh, warga berhamburan mengusung ember dan apa pun yang bisa dipakai menampung air. Mereka gotong royong memadamkan api yang menjalar menghabiskan beberapa warung dalam lima menit.
    Rumah Sarmila paling parah. Mungkin api bersumber dari sana. Tapi dini hari itu tidak ada yang menyalakan kompor; perempuan seksi itu langsung tidur begitu selesai melayani beberapa lelaki malam harinya. Harusnya orang bertanya soal dari mana api berasal, tetapi karena mereka sibuk membawa Sarmila yang menderita luka bakar parah ke rumah sakit, soal penting itu tidak lagi dipikirkan.
    Yang berpikir soal api hanya Mudakir. Orang putus asa kadang-kadang mengambil jalan nekat demi tujuan besar. Dan tujuan besar itu, apa lagi kalau bukan soal kasur? Hanya saja, sejak hari ini, Sarmila hanya untuk dirinya saja. Tidak laki-laki lain, bahkan yang paling jelek macam Konkon, yang sudi mengincar perempuan dengan cacat abadi di kulitnya. [ ]

    Gempol, 27 Juni 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media cetak.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri