Skip to main content

[Cerpen] "Lingkaran" karya Ken Hanggara

Dimuat di Buletin Mantra edisi Juni 2016)
 
  Maria harusnya pergi ke pesta dansa bersama suaminya malam ini. Tidak ke alam baka dan tersesat karena tidak punya pegangan. Dalam perjalanan ke pesta tersebut— yang diadakan salah satu kolega Martin, suami Maria—mereka meninggal. Mobil yang mereka tumpangi masuk jurang dan tidak ada yang tahu sampai empat bulan berikutnya kenapa sepasang pengantin baru ini tidak jadi datang ke pesta malam itu.
    Maka, ketika jasad mereka ditemukan di dasar jurang, bersama bangkai mobil yang gosong di bulan keempat, yang ada hanya tulang belulang sepasang suami istri lengkap dengan tuxedo dan gaun yang dipesan khusus. Tentu saja, segala sandang tidak seindah dahulu, ketika mereka mengambilnya di tukang jahit langganan keluarga.
    Dengan segera, kabar kematian keduanya menyebar ke keluarga dan para sahabat, serta semua yang kenal Maria dan Martin, sehingga mereka sangat sedih. Maksud dari 'semua' adalah tidak ada pengecualian. Benar-benar semua yang mereka kenal.
    Siapa tidak sedih, ketika tahu dua manusia baik meninggal dengan cara tidak enak, serta terlambat ditemukan? Tidak ada yang bisa melihat wajah mereka untuk terakhir kali sebelum dimasukkan ke liang lahat. Yang terlihat, hanya sepasang tengkorak tanpa ekspresi dan tanpa arti. Serba kaku dan pahit.
    Keduanya pribadi hangat, meski kaya. Tidak sombong dan tidak pernah membuat hati orang lain sakit hati. Maka, semua heran, kok bisa Maria dan Martin meninggal dengan cara ini? Polisi menyatakan masuknya mobil mereka ke jurang murni karena kecelakaan. Tidak ada sabotase oleh orang yang membenci mereka (setahuku, tidak ada yang benci mereka), serta tidak ada pula perampokan sekaligus pembunuhan.
    Tetapi, justru ini masalahnya. Mereka meninggal karena suatu kecelakaan. Aku tahu ini mungkin tidak masuk akal dan orang akan menganggapku memaksa dan kurang ajar; orang mati sepatutnya dihormati, bukan malah dibicarakan soal kematiannya yang mengerikan, bukan?
    Sebenarnya perkara kecelakaan bukan hal baru bagi Maria. Dulu sebelum menikah, ia sering mengalami berbagai kecelakaan dan selalu selamat. Kata sang nenek, ia punya keistimewaan. Tidak jelas maksud wanita tua itu, tetapi orang cuma tahu bahwa Maria tidak pernah celaka. Maria selalu selamat, meski mungkin ada banyak kesempatan bagi takdir untuk membuatnya celaka. Seakan takdir tidak bisa bermain di kawasan Maria. Seakan Tuhan mengistimewakan perempuan cantik dan baik itu agar tidak mati dengan cara buruk.

    Aku membayangkan, dulu waktu menciptakan Maria, Tuhan lagi asyik melingkari beberapa makhluk yang Dia istimewakan. "Ini jangan. Ini juga jangan. Nah, kalau itu, ya. Ini boleh juga." Begitu kira-kira kalimat Tuhan meluncur, sambil memegang kapur pelindung—semacam kapur semut—guna menangkis takdir buruk bagi para makhluk istimewa. Itu mungkin benar terjadi pada Maria, atau mungkin cuma khayalan tololku. Tetapi yang pasti, tidak ada satu pun kecelakaan membuat Maria mati, bahkan terluka. Tidak hanya sekali dua kali, orang yang bersamaan mengalami suatu kecelakaan dengan Maria, sama-sama tidak celaka, padahal logika di lapangan mengharuskan yang semacam itu terjadi. Berkali-kali.
    Setiap Maria dan orang-orang itu selamat, kukenang wajah renta sang nenek yang menyambut cucunya dengan kedua tangan terangkat—bagai Nabi Musa ketika hendak membelah Laut Merah dengan tongkat—dan ekspresi wajah sarat cemasnya tidak hilang sampai dua hari lamanya.
***
    "Apa artinya aku setara nabi, Nek?" tanya Maria suatu hari pada neneknya.
    Yang kami tahu, seorang nabi adalah makhluk yang diistimewakan Tuhan. Aku dan Maria sering bermain bersama sejak kami belum sekolah. Ketika duduk di bangku kelas dua SD, kami sering membaca komik yang mengisahkan para nabi dengan berbagai keajaiban yang Tuhan berikan pada mereka.
    "Tidak juga. Kamu cenderung malaikat," kata Nenek.
    "Cenderung malaikat?"
    "Coba lihat di cermin. Cantiknya. Mata bulat hitam; tidak ada anak kecil bermata begitu. Lalu, bibirmu merah. Di desa kita, setiap anak bibirnya kering dan gelap. Yang paling Nenek suka rambutmu."
    Wanita tua itu membelai rambut cucunya. Maria diam karena ia tahu betapa benar yang Nenek bilang. Di sekolah, ia berbeda. Entah karena pengaruh ia anak orang kaya, sehingga tidak kekurangan gizi, ataukah memang Tuhan sengaja membuatnya seindah itu agar semua orang percaya pada kebesaran-Nya, aku tidak tahu.
    Maria sering bertanya, kenapa aku berbeda? Memang tidak ada yang membencinya karena pebedaan; semua justru mencintai Maria. Tidak ada juga yang menganggapnya merebut jatah terbanyak dari Tuhan terkait keindahan fisik bagi para makhluk. Kami para bocah waktu itu percaya, bahwa jatah apa pun dari Tuhan pada tiap makhluk-Nya, sesuai yang dibutuhkan. Aku percaya Maria temanku yang manis itu sengaja dibuat begini karena ia dibutuhkan untuk membuat kami bahagia dengan kecantikan fisik dan hatinya. Itu lebih dari cukup bagi kami yang rata-rata buruk rupa.
    Kukira semua akan jauh lebih baik dari tahun ke tahun. Seiring tumbuhnya kami, aku tahu Maria kelak harus mendapat pria yang setara dengan dirinya. Harus yang ganteng, dan tentu baik hati. Aku memang pernah diam-diam jatuh cinta pada Maria. Tapi perasaan itu kubuang jauh dan kini tidak ada obsesi selain mencarikan pasangan yang tepat buat Maria. Aku tahu ini aneh, tetapi biarlah aku mencintai dengan caraku. Maka kuusahakan agar Maria dapat yang terbaik seakan aku kakak kandungnya.
    Ketika tahu di kampus ada lelaki yang sekiranya cocok—namanya Martin—segera sebuah perjodohan kecil kurancang. Mereka lalu berkenalan lewat diriku dan tidak lama kemudian ketahuan kalau keduanya sama-sama saling suka.
    Demikianlah, Maria dan Martin lalu menikah. Aku merasa jadi orang berguna. Aku yang buruk rupa ini mungkin tidak ada artinya, tetapi paling tidak aku bisa membuat dua orang baik itu bahagia dalam ikatan pernikahan. Semoga langgeng, pikirku ketika itu. Aku tidak sadar sesuatu yang buruk justru sedang menanti.
***
    Nenek Tina, neneknya Maria, pernah bilang, "Lingkar keistimewaan ada batasnya. Jika kamu melanggar, Tuhan akan hapus kapur pelindung. Siapa yang mencegah barang celaka darimu kalau bukan Dia?"
    Waktu itu aku tidak paham kalimat Nenek Tina. Aku malah membayangkan bahwa Tuhan sedang memegang kapur dan menggambar lingkaran di sekitar tubuh Maria. Lalu kubayangkan ia berjingkrak senang seperti disuguhi bermacam permen dengan pilihan rasa warna-warni. Ada jeruk, strawberry, anggur, apel, lain-lain. Kalau mau cokelat atau eskrim, tentu juga ada. Apa yang tidak dikabulkan Tuhan untuk makhluk yang istimewa, meski tidak setara nabi? Malaikat bukankah sesuatu yang juga suci?
    Sampai di hari lainnya kudengar dari Nenek Tina, bahwa yang dimaksud langgaran pada lingkaran keistimewaan itu adalah kesialan. Di dunia ini, ada banyak sekali orang pembawa sial, begitu katanya. Mereka mungkin setara pembangkang dalam kisah para nabi. Mereka semacam orang yang menghina kapal Nabi Nuh atau lebih parah: serupa Fir'aun yang merasa diri besar padahal nol.
    Nenek Tina tak memberi perumpamaan pasti untuk orang-orang pembawa sial ini, tapi menjelaskan bahwa barangsiapa terkena pengaruh buruk mereka—sesuatu yang si pembawa sial idap di tubuhnya—akan kena musibah besar. Tidak peduli yang terpapar dampak buruk itu adalah orang setara Maria; sesuatu yang dilindungi Tuhan. Segala hal yang baik bisa kalah di dunia ini oleh hal-hal tidak baik. Itulah yang Nenek Tina maksud.
    "Tuhan mungkin menggambar lingkaran itu untukmu, Nak," kata beliau pada suatu malam. Aku dan Maria sedang asyik main catur. Kami berhenti ketika mendengar suara Nenek Tina. Beliau senang menyela dan kata-kata yang dilontarkannya selalu misteri, "tapi Tuhan tidak mencegahmu keluar, bahkan andai kamu mengesot untuk menghapus lingkar kapurmu. Itu tidak merugikan Tuhan. Dia pasti cuma bilang, 'Mau pergi? Oke, silakan'. Tuhan tidak butuh manusia. Kitalah yang butuh Dia."
    Sampai bertahun-tahun aku terus memikirkan itu. Pada hari ditemukannya mobil Maria dan Martin di jurang, aku merasa ada sebuah keganjilan. Mereka menjemput ajal di waktu dan tempat yang salah. Kata-kata Nenek Tina yang meninggal bertahun-tahun lalu muncul kembali.
    Pengantin baru itu tidak salah. Mereka saling mencinta dan tidak ada yang berhak menyalahkan, meski para nabi sekalipun. Martin sendiri juga orang yang hidup dalam lingkar keistimewaan. Ini mungkin tidak masuk akal. Belakangan aku tahu pemuda itu, sejak dulu, sering berurusan dengan kecelakaan dan selalu selamat. Hanya saja, mereka yang mengalami kecelakan dalam waktu bersamaan dengannya, tidak pernah selamat. Martin selalu menjadi satu-satunya korban selamat, meski logika di lapangan menolak itu. Aku yakin, kecelakaan itu adalah karena lingkaran mereka berbeda.
***
    Aku melihat nenek Martin yang buta di panti jompo. Orangtua Martin sudah tiada. Kami bicara soal Tuhan, malaikat, para nabi, dan setan di neraka. Ketika baru datang, aku lihat ada foto yang menarik di kamarnya. Foto itu tidak asing. Dua bocah lelaki dan perempuan. Katanya, itu Martin dan saudara kandungnya.
    Benar. Inilah yang kumaksud. Aku baru tahu alasan kecelakaan itu ketika si nenek melanjutkan. Mereka dipisahkan sejak kecil karena si Ayah membuat perjanjian dengan iblis; sebuah perjanjian untuk harta tujuh turunan. Efeknya, dua anak itu mati jika mereka hidup bersama. Maka, kepada seorang sahabat, gadis itu diserahkan beserta beberapa aset—yang didapat dari hasil pesugihan sang Ayah—sebagai imbalan dan jaminan masa depan bagi anak gadis itu.
    "Itulah kenapa, Martin tidak pernah tahu di mana Maria," kata wanita itu. "Ketika Martin mau menikah, aku ingat masa lalu. Kalau tidak salah, nama perempuan itu juga Maria, ya? Dulu Maria kecil kami titipkan ke seorang sahabat. Ada temanku, Tina. Dia punya anak yang sudah nikah, tapi anaknya mandul. Tina kebetulan pengen cucu juga. Sekarang aku tidak tahu kabar Tina. Ada yang bilang, dia sudah mati."
   
Gempol, 9-2-2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri