(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 3 Juli 2016)
Tidak ada makanan untuk kucingku. Jangankan makanan untuknya, aku saja yang manusia belum menelan apa-apa sejak kemarin sore. Perutku terasa amat lengket dan kubayangkan ada pabrik lem besi di ususku.
Sirene ambulans terdengar di luar sana dan kutatap jam. Pukul tujuh pagi. Hari terlalu dini untuk sebuah kecelakaan. Mungkin ada yang terluka parah, atau barangkali ada yang tewas?
Membuang kesuntukan karena kamar kost ini lama-lama terasa busuk, juga demi tak membatalkan janji bersama pacarku, karena aku tidak bisa menahan kantuk kalau harus menunggunya di sini, bersama si Imo, kucingku, aku pun menghambur ke depan, mengikuti barisan orang penghuni kost yang juga sama-sama menganggur dan ingin menonton TKP.
"Motor lawan truk, Bos!" kata seseorang. Asap rokok bergumpalan di udara dan aku, dengan Imo di pelukan, menerabas kepul asap dan belasan manusia hingga sampai di gang depan.
Begitu jalan raya kelihatan, sandalku tak sengaja menginjak aliran darah. Merah ini begitu pekat, sampai kukira ia tidak pantas disebut darah. Seperti pewarna tekstil yang berbahaya jika dicampur ke dalam makanan. Darah ini menggenang tidak jauh dari spot tempat sandalku berpijak, sehingga sekarang alirannya merembet ke kiri kanan, pencar tak keruan.
Kepala pengendara motor itu pecah. Helmnya seperti kerupuk gosong dan otaknya seperti daging dikornet. Aku cukup kuat melihat, tapi kalau tadi aku sahur, barangkali detik ini juga semua bakal tumpah. Untungnya aku tidak sahur dan sengaja tidak puasa.
Orang-orang yang menonton TKP semakin banyak, ketika kusadari Imo tidak ada lagi di pelukanku. Entah melompat ke mana kucing itu. Biarlah, mungkin dia tidak kuat lagi menahan lapar dan mencari-cari makanan sisa di berbagai warung. Dekat sini ada pasar dan di sana banyak sekali orang jualan makanan. Kucing bisa dapat gratis dan aku bukan kucing. Aku manusia dan sudah dewasa. Orang mengira aku berpuasa. Jadi, aku tetap di sini, menonton TKP sebuah kecelakaan antara motor dan truk.
Aku tidak tahu bagaimana kejadiannya, begitu juga ketika beberapa orang kutanya. Tetapi sopir truk itu sudah tua dan menangis sesenggukan. Dia bilang tidak tahu ada motor keluar gang. Tahu-tahu, kress...begitu ia dengar. Ia lemas, tidak kuasa memencet keypad ponsel Nokia-nya guna mengabari anak di rumah bahwa ia terlibat kecelakaan.
Sopir itu tidak terluka dan tidak mati, tetapi dia lemas seperti tidak makan setahun. Ia lalu pingsan dan dibawa ke dalam warung nasi padang untuk dikipasi, selagi nunggu polisi datang.
Sementara, di jalan, aliran darah merah pekat, sebuah merah yang tak biasa, tidak juga henti, karena darah manusia dewasa ada sekitar empat hingga lima liter. Bacalah di buku-buku kalau tidak percaya: darah manusia dewasa jumlahnya 4-5 liter. Dan kukira, aliran sungai kecil merah ini belum cukup membawa darah sebanyak itu.
Orang-orang mengambil koran dan daun pisang untuk menutup jasad tak bernyawa itu. Aku berdiri tidak jauh darinya, dan saat menggesek-gesekkan sandal jepitku yang telanjur kena darah tadi ke tanah, kudengar meongan persis di sisi kakiku.
Imo, dengan wajah lugu khas bocah TK—sekalipun ia kucing bangkotan dan sudah menghamili sekurangnya empat betina sepanjang hidupnya—tidak terlihat selemas tadi. Ia seperti kelebihan energi dan bersemangat menjalani hari.
Kubilang padanya—tentu sambil agak berbisik, agar orang tidak mengira aku gila atau menyaru Nabi Sulaiman, "Habis makan apa, Mo?" Itu saja pertanyaanku dan tidak ada lagi yang lain, sebab kuperhatikan moncong kucing ini basah oleh merah yang kupadankan pewarna tekstil.
Aku tahu, kucingku yang celaka pasti telah menelan sesuatu di TKP. Sesuatu yang tak kutahu apa. Kugendong lagi Imo dan kubersihkan bibirnya dengan sebotol air yang kudapat dari seorang tetangga, yang mencoba menutup tubuh korban, tetapi tak sengaja tangannya terkena darah. Jadi, orang itu beli air untuk mencuci tangannya. Botol air itu pun kumiringkan ke moncong si Imo, dan setelah bagian itu terguyur sedikit air, ia tidak lagi terlihat seperti siluman kucing.
"Bodoh, Mo!" bisikku. Ia mengeong manja, seakan meledek. "Dia manusia, seperti aku, majikanmu! Apa yang kamu telan, he?"
Tentu saja Imo tidak bisa menjawab. Ia kucing dan aku manusia—sekalipun orang sering memanggilku asu gara-gara sering telat bayar utang. Imo lantas kutitipkan ke anak tetangga, Darmaji namanya, biar dibawa ke tempat jauh. Kucing itu biasa dibawa anak-anak untuk mainan, walau suka berak sembarangan. Lebih baik daripada kucingku membuat masalah yang lebih serius.
Aku baru tahu apa yang kucing itu telan ketika para petugas puskesmas dan polisi sudah ada di TKP. Mereka mencari-cari salah satu bola mata jenazah yang hilang, yang padahal seharusnya sekadar copot dari tengkoraknya. Bola mata itu, secara logika, tidak mungkin hilang, karena bagian mata yang lain tidak penyet.
Aku tahu sungguh tidak pantas mendeksripsikan hal-hal macam ini, tetapi itu harus kulakukan, biar orang tidak salah paham kepadaku. Tadi kucingku melompat dan hilang tanpa pamit, lalu ia memakan sebutir bola mata manusia; semua itu bukan salahku.
Aku merasa mual membayangkan Imo, yang sejak lama kurawat dan sudah punya anak entah berapa ekor, hari ini menelan bola mata manusia. Dasar kucing tak bermoral. Aku diam saja, sementara orang-orang berspekulasi, bahwa mungkin bola mata yang satu digondol setan penunggu pohon asam di sekitar sini, yang dituduh jadi musabab kecelakaan.
Untung orang tidak memikirkan lagi soal itu dan mulai mengupayakan agar jasad malang ini segera dibawa ke kamar mayat, lalu arus kendaraan di jalanan kembali jadi normal. Sementara orang-orang mengangkat jenazah tersebut ke ambulans, aku menuju warung nasi padang tempat si sopir yang kini mulai meraba-raba dunia fana. Ia barusan tidur dan tubuhnya berbau tembakau, serta minyak kayu putih. Aku berada begitu dekat dengan sopir ini, sehingga bisa kurasakan betapa ia sangat terguncang.
"Demi Allah, demi Rasulullah, Pak, Bu... saya ndak sengaja! Huhuhu!"
Air mata itu mengingatkanku kepada air mataku waktu ditinggal pacarku terdahulu. Nikita, itulah pacarku yang pertama. Seorang gadis kurus berdada gepeng dan bermata seperti ikan bandeng. Gadis yang kucintai, yang akhirnya meninggalkanku karena aku tidak kunjung dapat kerja. Dan waktu itu aku menangis meronta-ronta seperti sopir tua ini.
Semua orang di warung mengangguk percaya. Lagi pula, mereka melihat betapa si pengendara motor itu ugal-ugalan, keluar dari gang umum, dan akhirnya disambar truk dan gepenglah kepalanya.
Aku tidak tahu betapa sedih nanti keluarga sang korban. Jangankan keluarga orang yang mati itu, yang salah satu bola matanya ditelan Imo itu, sopir yang selamat saja bisa sesedih ini. Manusia memang sarat perasaan, kecuali menderita penyakit saraf. Karena aku tidak memiliki masalah pada sistem sarafku, aku ikut sedih.
Kubayangkan kucingku yang tidak lagi sama. Sehabis menelan bola mata manusia tadi kelihatannya ia berenergi dan ceria; mungkin ketika aku tidur suatu malam, kucing itu mencongkel mataku dengan kukunya. Semoga tidak.
Aku sedih karena Imo melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan. Tetapi aku lebih sedih lagi ketika menyadari betapa kucing bisa berbuat apa saja tanpa takut dihukum. Coba tadi, kalau yang kutangkap basah menelan bola mata itu adalah Pamuji, tetangga kostku yang sehari-hari meledekku tidak laku kawin dan tidak punya masa depan, pasti kulaporkan dan semua orang menghajarnya. Kukira, dalam banyak kasus, kucing lebih mujur ketimbang manusia.
Setelah ambulans yang membawa jenazah pengendara itu berlalu, dan polisi mulai datang menggiring sopir tua untuk dimintai keterangan di kantor, keadaan jadi sepi dan perutku terasa lengket. Tidak bisa dibohongi, aku lapar dan di kepalaku muncul bayang -bayang Imo yang seakan tersenyum karena kenyang. Ia sudah makan dan aku belum, meski sengaja tidak berpuasa. Ia sudah kenyang, dan aku memikirkan Nikita dari masa lalu, juga pacar baru yang nanti datang jam setengah sembilan.
Pemilik warung tahu-tahu mendatangiku dan berkata, "Nak, kalau nggak puasa, tuh ambil semaumu. Bebas dan gratis."
Barangkali ia tahu aku pucat dan tidak kuat puasa. Untuk sesaat, aku tidak percaya. Pemilik warung bilang, tangisku yang meluncur tanpa kusadari bersamaan dengan sopir tadi, membuatnya tersentuh. Ia kira, aku punya kenangan buruk soal kecelakaan.
Aku memang tidak banyak bicara di sini dan kampung asalku jauh. Orang tidak tahu masa laluku, melainkan mengerti masalah utamaku sebagai pengangguran. Meski tidak punya kenangan mengenai kecelakaan, aku mengangguk dan makan sekenyangku.
Selesai makan, aku mengucap terima kasih dan pulang. Aku harus segera mandi, karena pacarku akan datang. Aku tidak mau kencan itu batal hanya karena aku terlambat, sebab terlalu asyik menonton TKP di suatu pagi yang penuh darah. [ ]
Gempol, 23 Juni 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.
Kereenn, kjadian bgini pun bisa jdi ide, hebaat, mas ken
ReplyDelete