Skip to main content

[Cerpen]: "Dosa Sani" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos, edisi Minggu, 24 Juli 2016)

    Sani ingin pulang, tetapi ia tak tahu jalan. Ia juga tak tahu harus bertanya kepada siapa agar tidak tersesat. Seingat Sani, di jalan pulang ada sungai di sebelah kanan, dan tidak jauh dari sana ada toko mainan. Ia sering membayangkan Bunda menyuruh Pak Kusno, sopir pribadinya, menepi. Sekadar membeli sesuatu di toko itu. Sesuatu yang tentu saja membuat Sani bahagia.
    Sani tidak punya mainan, kecuali seekor kura-kura yang ia beri nama Peter Parker. Ia berharap, kura-kura itu menjadi pahlawan sekuat dan selincah superhero Spiderman, namun juga berhati emas. Ia tidak boleh memelihara laba-laba, karena kata Oma, hewan yang satu itu berbahaya, dan bisa membuatmu sesak napas.
    "Laba-laba itu punya jaring. Dan kalau kamu sudah kena jaringnya, wah... Jangan harap bisa pulang! Wajahmu yang jelek ini dikurung jaring dan kamu gak bisa bermapas selamanya dan akhirnya kamu pun mati. Berani mati, he? Orang mati biasanya masuk neraka dan kamu juga sepertinya masuk neraka!"
    Itulah kata Oma. Lalu beliau menambahkan beberapa kisah bualan yang terdengar begitu nyata di telinga kecil Sani, hingga ia berpikir cukup memberi nama kura-kuranya dengan Peter Parker saja. Ia tidak perlu mencari cara agar kura-kura itu benaran menjadi Spiderman. Orang normal tidak percaya pada Oma, tetapi Sani selalu menganggap Oma tahu segalanya.
    Oma seperti Bunda; tahu segalanya. Tidak ada apa pun di dunia yang tidak mereka tahu. Sani pikir, barangkali Bunda dan Oma manusia pilihan, yang ditugasi Tuhan untuk menjaganya dengan cara mereka.
    Bunda melarang Sani berbuat banyak hal. Sekali waktu anak polos itu bosan dan melawan, tetapi ia menurut setelah mendapat hukuman yang keras. Bunda tidak pernah tanggung-tanggung dalam menerapkan ketertiban ala keluarga ini. Sani berdiri tegak di depan meja, dan ia berhadapan dengan roda yang bisa diputar dengan angka-angka di permukaannya.
    "Nah, sekarang kamu putar," kata Bunda, jika suatu kali Sani kedapatan melanggar aturan. "Putar yang keras dan kita lihat hukuman apa yang kamu dapat hari ini."
    Demikianlah. Sani tidak pernah membantah dan selalu memutar, meski akhirnya ia tahu angka-angka tersebut berujung siksaan yang membuatnya berpikir Bunda adalah perwakilan tangan Tuhan dalam melebur dosa manusia.
    Sani tidak paham konsep dunia dan akhirat, tetapi ia dengar sedikit dari gurunya di sekolah, dan dia membayangkan itulah yang terjadi di rumah. Bunda dan Oma adalah manusia pilihan Tuhan yang suci dan tahu segalanya. Dan Sani tidak boleh membantah orang-orang seperti mereka.
    Tidak ada orang lain yang tahu tentang hal ini, kecuali tentu saja Pak Kusno yang lebih banyak diam. Biasanya beliau mengantar jemput Sani seorang diri, atau terkadang Bunda turut menemani. Jika Pak Kusno sendiri yang menjemput anak itu, dia selalu saja menangis. Sani heran kenapa Pak Kusno menangis dan bertanya apakah ada masalah di rumahnya?
    "Kalau ada masalah, Bapak bisa bilang ke Bunda dan Bunda bisa laporan kepada Tuhan. Bunda manusia pilihan Tuhan, dan jika ada yang berdosa kepada Bapak, Bunda tahu hukuman apa yang pantas bagi mereka," kata Sani.
    Biasanya, Pak Kusno hanya akan membisu mendengar kata-kata Sani yang satu itu. Sering beliau memikirkan betapa Sani tumbuh jadi bocah sinting karena terlalu sering dipukul kepalanya. Sekali waktu Sani bahkan pernah linglung dan tidak bicara dua hari. Pak Kusno tahu ada yang tidak beres, tetapi tidak berani bertanya apa pun kepada sang majikan. Di rumah, di tengah sambutan Oma yang agak berlebihan, Pak Kusno melihat keluarganya yang bernasib miskin tidak lebih buruk ketimbang keluarga Sani yang kaya raya itu.
    Oma selalu tersenyum dan tertawa tanpa alasan. Bersama Bunda, Oma sering pergi keluar dan berdalih kepada Sani bahwa mereka ada urusan. Rapat dengan orang yang wajib dirahasiakan, misal. Atau sesekali Oma membuat alasan bahwa mereka pergi ke tempat kolektor laba-laba dan membunuh semua hewan itu agar tidak ada yang mati dijerat jaring. Orang yang dijerat jaring, sebagaimana yang selalu ia jelaskan kepada Sani, tidak bisa bernapas selamanya dan mati.
    Sani tidak tahu kenapa Oma dan Bunda seperti membenci laba-laba. Padahal Sani sendiri tidak pernah tahu mereka berdua berhadapan dengan hewan berjaring itu. Setiap hari Sani justru merasa sesak napas setelah menerima siksaan dengan nomor tertentu. Ia sesekali merasa beruntung, ketika benda yang diputarnya itu, semacam roda nasib, tidak menunjuk angka ganjil. Angka genap hanya berupa hukuman ringan: tidak boleh makan malam, tidak boleh tidur di atas kasur, dan tidak boleh kencing sampai jam dua belas malam. Tetapi, di dunia ini, manusia tidak selalu beruntung.
    Sani pikir, sesak napas terjadi bukan karena jaring laba-laba, melainkan Bunda yang selalu tahu cara memberinya hukuman.
    Sani kesakitan keesokan harinya jika hari ini mendapat hukuman yang keras. Sani toh berpikir itu untuk kebaikannya sendiri, karena ia anak yang nakal dan orang yang nakal adalah orang penuh dosa. Kata Oma, dosa-dosa di tubuhnya kelak bisa membawa anak itu ke neraka, dan Sani tidak berani membayangkan disuruh memakai sandal besi panas oleh malaikat penjaga neraka.
    "Kamu tahu, sandal itu sangat panas. Saking panasnya, otakmu yang kosong bakal meleleh dan kamu tidak mati, karena di neraka tidak ada orang mati. Di sana, tidak ada kuburan dan semua orang memang sudah mati, dan hidup selamanya," tutur Oma, lantas tertawa terpingkal-pingkal.
    Sani tidak pernah bicara dengan suara keras di depan Oma maupun Bunda. Anak itu hanya akan bersuara keras jika Pak Kusno seorang yang ia hadapi. Di dalam mobil, ia terus bercerita dan memuji sang bunda yang menjadi manusia pilihan Tuhan dengan hak menghukum manusia lain agar terbebas dari jerat dosa. Kadang-kadang Pak Kusno bilang, "Tidak bisa seperti itu. Manusia dosanya masing-masing dan kalau mati nanti ditanggung masing-masing."
    Sani membantah Pak Kusno. Ia memang agak bodoh, tetapi soal kesetiaan, tidak bisa ditawar. Bagi Sani, menuruti ucapan Bunda agar terbebas dari siksa neraka, adalah lebih penting ketimbang melawan, yang hanya akan membuatnya menelan lebih banyak hukuman.
    Suatu hari, Sani melihat foto seorang lelaki yang Pak Kusno berikan kepadanya diam-diam. Di rumah, anak itu bertanya kepada Bunda foto siapa itu. Tentu saja Bunda menjawab itu foto seorang berhati busuk. Dialah laba-laba paling sadis di seluruh dunia, dan Oma setuju akan hal itu.
    Oma dan Bunda mulai menyesaki kepala mungil Sani dengan cerita tentang lelaki laba-laba. Lelaki itu dulunya menikahi sang bunda dan langsung pergi bahkan sebelum pernikahan berjalan tiga bulan.
    "Nah," kata Oma, "makanya kamu jangan nakal. Bapakmu itu laba-laba dan masih untung kamu hidup, karena tidak ada warisan bapakmu yang ada di tubuhmu, kecuali bau keringatmu!"
    Lalu Oma menyuruh Sani masuk ke kamar dan ia tidak boleh pergi ke sekolah dua hari. Sani juga tidak boleh makan dan hanya boleh minum air serta mengunyah kacang goreng. Sani tidak boleh ke kamar mandi atau WC, sehingga ia berbau tak enak. Lantai kamarnya penuh kotoran. Di hari ketiga, Sani disuruh berangkat dan ia berjalan kaki sendirian karena tak makan dua hari. Karena takut ada yang melaporkan ini ke polisi, Bunda mengantar anak itu ke sekolah dengan mobil. Bunda menyuruh anaknya pulang sendiri jika nanti sudah waktunya pulang.
    Bunda memberi Sani sejumlah uang untuk ongkos pulang, ketika mobil mereka itu sampai di depan gerbang sekolah, dan Bunda dengan tegas mengingatkan, "Awas kalau telat. Hukumanmu dua kali. Putar roda dua kali biar dosa-dosamu cepat hilang!"
    Sani mengangguk.
    Siang itu, Sani ingin pulang, tetapi ia tak tahu jalan. Ia juga tak tahu harus bertanya kepada siapa agar tidak tersesat. Seingat Sani, di jalan pulang ada sungai di sebelah kanan, dan tidak jauh dari sana ada toko mainan. Ia sering membayangkan Bunda menyuruh Pak Kusno, sopir pribadinya, menepi. Sekadar membeli sesuatu di toko itu. Sesuatu yang tentu saja membuat Sani bahagia.
    Sani tidak pernah punya mainan, kecuali seekor kura-kura yang ia beri nama Peter Parker, tetapi siang ini hingga selamanya Peter tidak mungkin menolongnya. Peter tidak pernah bisa menjadi sesosok Spiderman yang dapat menolong Sani dari derita fisiknya. Sani paham Bunda dan Oma melakukan semua ini demi menghilangkan dosa di rumah mereka, tapi tidak tahu kenapa dosa-dosanya tidak pernah hilang?
    Kata Bunda, Pak Kusno sudah berdosa karena mengambil foto itu tanpa izin. Pak Kusno sudah direbus otaknya di neraka sana, dengan sandal besi yang sangat panas itu. Sani membayangkan Pak Kusno yang sudah tua, dan punya istri yang juga sudah tua itu, menjerit kesakitan di neraka. Sani membayangkan wajah Pak Kusno ikut meleleh bagai karet dipanaskan. Sani tidak tega dan merasa pusing, maka ia berhenti memikirkan soal sopir malang itu.
    Karena tidak tahu jalan pulang, Sani masuk ke sebuah toko barang antik. Ia tidak pernah melihat toko ini, tetapi daripada kepanasan di luar dan pusing, lebih baik masuk saja. Di dalam, Sani tiba-tiba menangis, karena sedih melihat tubuh beberapa laba-laba kecil dipajang di pigura.
    Oleh pemilik toko, Sani yang menangis ditanyai alamat rumahnya, tapi Sani hanya bilang, "Di rumahku ada dua manusia pilihan Tuhan, tapi karena mungkin dosa-dosaku kelewat banyak, aku tidak diterima lagi di sana."
    Pemilik toko barang antik tidak mengerti, tapi akhirnya ia menelepon polisi. Dalam kondisi begini, polisi bisa diandalkan. Begitu polisi datang, Sani mengatakan hal yang sama. Dan polisi segera paham apa yang harus dilakukan, untuk menghentikan kegilaan keluarga tersebut. [ ]

    Gempol, 10 Juli 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri