Skip to main content

Posts

Showing posts with the label catatan

Kau Hantu... Tahu Apa Soal Asmara?

Pada suatu malam seorang lelaki berbaring lesu di dekat meja kerjanya. Di sana terdapat sebuah kasur lipat. Dengan laptop yang belum tertutup, lelaki itu berbaring begitu saja dan meninggalkan pekerjaannya. Seekor hantu datang dan menggoda, tapi si lelaki tidak peduli. Seharusnya kamu takut, kata si hantu. Tapi si lelaki itu seakan tidak sadar kalau yang mengajak ngobrol dirinya adalah hantu. Sebaiknya Anda pergi, kata si lelaki tiba-tiba, sebab dada saya sakit dan Anda justru menambah kesakitannya dengan banyak omong. Hantu bertampang sangar itu pun memperhatikan si lelaki. Tidak ada yang tidak beres di tubuhnya, begitu ia pikir. Ia amati dada si lelaki; terlihat normal dan tak ada darah atau apa pun yang sekiranya membuat bagian itu sakit. Wajah si lelaki juga tampak segar, bukan berwajah kuyu ala penderita penyakit organ dalam.

Jika Kau Menyakiti Hati Penulis...

Ada yang bilang, "Jika kau menyakiti hati seorang penulis, maka hati-hatilah. Kau akan diabadikannya sebagai sosok yang buruk dalam ceritanya." Saya tidak setuju dengan peringatan itu, walau barangkali ada penulis yang begitu. Tapi semua tergantung pribadi penulis yang mengalami.   Seandainya hati saya disakiti, siapa pun dia tidak saya abadikan dalam sosok buruk di cerita setengah fiktif. Lebih sering malah tidak saya tulis dalam bentuk apa pun. Kalaupun memang perlu suatu saat saya menulis tentang orang ini, saya lebih suka menuliskannya sebagai sesuatu yang baik.

Tidak Ada Masa Depan Tanpa Masa Lalu

Apa pun yang ada hari ini kita jalani dengan upaya terbaik. Saya tidak bisa melupakan kalimat luar biasa di salah satu novel yang baru-baru ini saya baca, yang berbunyi kira-kira begini: "Kau tidak akan memiliki masa depan jika tidak punya masa lalu." Maksud kalimat itu adalah: kelak kau tidak akan menjadi apa-apa, atau kelak kau akan jatuh dalam penyesalan, jika hari ini kau tak menggenggam dan memanfaatkan waktu yang Tuhan berikan untukmu dengan sebaik mungkin. Hari ini adalah masa lalu di masa mendatang. Hari ini adalah penentu siapa kita suatu hari nanti. Kau tidak akan memiliki masa depan, jika hari ini memilih kalah/menyerah.

Menyiasati Teror Hantu Jadi Cerita

Beberapa minggu belakangan ini saya sedikit menulis cerpen, karena harus mengurus beberapa hal penting lain. Meski begitu, tetap cerpen tidak bisa saya tinggalkan. Jadi sesibuk apa pun saya sempatkan menulis cerpen di waktu senggang. Membuka folder di email, saya sadari cerpen-cerpen saya belakangan berkaitan dengan hantu. Cerpen beride dasar apa pun, selalu membawa-bawa hantu. Suatu malam sengaja saya duduk di tempat yang katanya penuh hantu. Saya menulis tentang hantu di sana dan hasilnya lumayan lucu. Di waktu lain saya sedang kelaparan dan menulis tentang hantu, lalu hasilnya lumayan tragis. Hantu-hantu itu sengaja saya buat senatural mungkin. Jika kita pernah dengar hantu berbau tidak enak, maka saya sebut dalam suatu cerita kalau hantu itu berbau ikan busuk.

Garis Takdir: Jatuh Cinta Tidak Punya Rumus

Takdir setiap manusia itu garis. Satu garis bertumpukan dengan garis lain berarti satu pertemuan. Garis ketiga datang, tiga tumpuk garis. Garis keempat datang, empat tumpuk. Dan seterusnya. Pertemuan dan perpisahan membawa garis-garis kita ke sana kemari, menyatu dan menjauh dari garis-garis tertentu untuk menuju ke garis-garis berikutnya. Percintaan pun ada dalam garis-garis ini. 

Cinta Tak Pandang Bulu

Suatu hari di warung langgananku, aku duduk dan memesan makanan seperti biasa. Di samping kiriku ada seorang kakek sedang makan. Beliau seorang tunanetra dan didampingi istrinya. Keduanya makan mie rebus. Aku tidak pernah melihat sepasang suami istri tua ini, tetapi mereka membawa gumpalan kain, yang kuduga berisi pakaian. Mungkin mereka berkelana ke tempat yang jauh dari kampung, dan jelas mereka bukan pengemis, karena mereka tidak meminta-minta di beberapa bangunan dekat warung setelah pergi meninggalkan warung itu.   Ketika kakek itu makan, dan istrinya dengan sabar mengambilkan tisu serta mengusapi bibir si suami, hatiku mendadak pedih. Seperti seseorang menghantam hatiku dengan batu berkali-kali, dan hatiku menjadi bengkak karenanya. Kakek itu makan dengan lahap, (maaf) seperti orang yang tidak makan beberapa waktu lamanya. Di meja sisi kanan dan kirinya tumpahan kuah mie rebus itu terlihat jelas oleh mataku dan aku semakin pedih justru ketika si nenek semakin semangat membersi

(Nyaris) Tak Ada Metromini Sore Itu

Seorang bapak-bapak bertanya padaku ke mana arahku pulang, karena tampaknya para sopir metromini berdemo hari itu dan kami yang tinggal jauh dari Jakarta Barat bakal susah menemukan kendaraan. Kujawab, "Jakarta Selatan, Pak." Ini terjadi tahun 2011. Waktu itu aku pasrah. Seandainya memang tidak bisa pulang, aku bisa tidur di masjid dekat kantor. Semalam saja tak soal, karena toh baju kerja bisa kulipat dengan rapi dan kusimpan di tas. Aku tidak bisa membayar taksi karena uang di dompet sedang tipis. Tabunganku ada di koper, di kontrakan, di Jakarta Selatan. Aku benar-benar tidak membawa uang selain yang di dompet. Seandainya aku menginap malam itu di masjid dekat kantor, untuk makan besok dan ongkos pulang besok sorenya, aku bisa pinjam teman.

Dalam Segala yang Lucu, Tersimpan Banyak Hal Serius

Hidup ini lucu, tapi kamu harus bersyukur. Bayangkan, kau jatuh dan mencoba bangkit dan mendekatkan diri pada-Nya. Lalu Tuhan mengirim kado untukmu pada suatu malam ketika kau berharap ada sesuatu yang membuatmu lebih memiliki tujuan jelas dalam hidup. Kado itu tahu-tahu jatuh menimpa genteng rumahmu dan menjebol atap kamarmu, membuatmu berpikir barangkali seseorang menjatuhkan sesuatu dari pesawat. Kepalamu yang pusing meyakini itu, tapi tidak ada orang membuang sampah dari jendela pesawat, karena pesawat bukan metromini. 

Meninggalkan Hobi = Dosa Berat

Kalau saya hari ini dipertemukan dengan saya sepuluh tahun yang lalu, dan keduanya membawa gitar, lalu disuruh memainkan melodi lagu tertentu, bisa dipastikan saya yang hari ini jauh lebih payah. Pasalnya sudah bertahun-tahun saya berhenti memainkan gitar. Benar-benar berhenti, meski bukan karena benci atau niat berhenti, tetapi tidak sempat. Jika dulu waktu luang sehabis sekolah dan mengerjakan PR saya habiskan dengan main Playstation atau gitar atau main bola di luar, maka tahun-tahun terakhir gitar menempati urutan terbawah daftar hobi penghilang penat setelah saya menekuni dunia literasi. Kalau ditulis dalam angka, mungkin hobi main gitar dapat nilai nol koma nol-nol sekian. Nol di belakang koma barangkali ada tujuh belas, saking parahnya.

Kita Tidak Hidup Selama 2 Jam!

Tahun 2016 ini tahun paling berbeda bagi saya. Kalau melihat ke belakang, ke beberapa tahun silam sebelum saya menekuni dunia literasi, lalu mulai mengenalnya, menseriusinya, memperjuangkan agar tulisan saya dibaca orang, dan melalui semua proses itu, dari tahun ke tahun rasanya selalu saja ada perubahan. Sedikit demi sedikit memang, tidak instan, karena bahkan mendaki gunung pun tidak bisa sambil berlari. Sementara puncak mimpi lebih terjal dari gunung. Saya ingat perubahan yang 'sedikit demi sedikit' ini sudah saya yakini sejak awal dan selalu saya pegang. Itulah kenapa jika saya jenuh dalam menulis, saya tidak membenci kegiatan ini (apalagi sampai putus asa dan berhenti menulis), tetapi istirahat dulu entah dengan cara apa selama satu atau dua hari, lalu bersambung menulis kembali. Itu saya lakukan bertahun-tahun.

Masa Kecilku: Pendek, Bukan Pendekar

Ada teman bermain dari dusun sebelah yang dulu waktu kecil dipanggil Pendek (cara pengucapannya sama seperti saat kita menyebut kata 'pendekar', hanya saja tanpa huruf 'a' dan 'r'). Tidak tahu kenapa ia disebut Pendek. Yang jelas ia tidak bertubuh pendek, sebab waktu itu anak kecil yang paling kelihatan tua adalah si Pendek ini. Umurnya dua atau tiga tahun di atas saya dan badannya hitam besar. Saya hampir tidak pernah membuat masalah dengannya, begitupun sebaliknya, karena Pendek ini tidak pernah berlagak sok. Orangnya santai, meski kalau berkelahi kemungkinan besar pasti menang, karena ketika itu belum ada bocah berbadan sekekar dia. Pendek suka bermain layang-layang di sawah dan sesekali sepak bola. Saya sering meledeknya dengan maksud bercanda, dan ledekan itu juga tidak berlebihan. Semacam ledekan pertemanan. Pendek tidak pernah membalas selain melihat mata saya beberapa detik, seperti seorang lelaki tua menatap cucunya.

Pertanyaan tentang Orisinalitas yang Menyakitkan

Beberapa hari yang lalu ketika beberapa tulisan saya dimuat di beberapa media berbeda dalam sehari (dan tentu saja tulisan-tulisan tersebut juga berbeda), seseorang yang entah siapa mempertanyakan orisinalitas semua karya saya. Ya, semua, bukan hanya sebiji dua biji. Saya buka akun tersebut; tidak jelas pemiliknya siapa. Namun segera saya tanggapi dengan santai, bahwa: tentu tulisan saya orisinal. Jika dia ingin baca, saya sodorkan alamat blog saya (sekalian promosi, hehe), d an bacalah sebanyak yang ia sanggup, semua postingan yang saya buat di blog tersebut sejak tahun 2013 silam. Paling mendominasi cerita pendek dan resensi buku. Barangkali dengan membaca semuanya, pemilik akun misterius ini menemukan jawaban.

Secuil Kisah Penulis Cerita di Koran

Papa saya bertanya, setelah membaca cerpen saya di Republika kemarin, "Pak Kodir itu apa sosok dari dunia nyata?" Saya jawab tidak, kalau yang dimaksud individu tertentu. Tetapi saya yakin di luar sana ada banyak sosok seperti Pak Kodir. Lalu obrolan berlanjut ke soal cerita dan dunia literasi yang saya tekuni. Di keluarga kami, papa sayalah yang biasa mengapresiasi tulisan saya, sependek apa pun komentarnya, sesingkat apa pun ulasannya. Di rumah memang tidak banyak yang suka membaca karya fiksi. Bahkan saya pikir, saya dan Papalah yang paling banyak membaca di keluarga ini.

Masa Kecilku: Dari Bocah Nakal Hingga Anak Band

Saat SD, saya suka membuat gara-gara entah dengan siapa, hanya demi membuat orang itu jengkel. Asal umurnya tidak beda jauh dengan saya, boleh juga saya ganggu. Karena ini pula saya sering kena masalah, misal pertengkaran fisik dan bahkan kata-kata; dulu kami memakai nama orangtua lawan untuk menyerang, meski kedengarannya aneh. Jadi, anggap saja orangtua si A bernama Maman, maka musuhnya memanggil, "Man! Man!"  Tidak hanya di sekolah, di lingkungan rumah saya sering terlibat masalah serupa. Bedanya, di rumah kami tak pernah memakai pertengkaran jenis kedua. Jadi, saya harus benar-benar tangguh untuk menang, sebab tubuh saya kecil dan pendek waktu itu.

Produktif Tapi Jangan Lupa Waktu

Menulis setiap hari itu bagus. Tapi ingatlah waktu. Ada pekerjaan lain yang harus kita lakukan sebagai manusia normal. Kita bukan mesin, jadi menulis yang ideal per hari kurang lebih sekitar 3 jam. Itu pun tidak sekaligus. Bisa dua atau tiga kali duduk. Bila terbiasa melakukan, lama-lama mengubah kita jadi penulis produktif. Maksud 'menulis-tiap-hari' bukan full 12 jam kita duduk di depan laptop, misalnya. Itu bukan keren, tapi konyol. Kapan makan? Kapan minum? Kapan berinter aksi dengan manusia lain? Melakukan pekerjaan lain? Belajar jika kita pelajar/mahasiswa? Lalu, piknik? Bahkan, kapan ke kamar kecil?

Plagiarisme Harus Kita Lawan

Sebenarnya sekitar tiga atau empat minggu sebelum mencuatnya kasus plagiarisme oleh salah satu penulis "besar" itu, selama beberapa hari saya terpikir menulis cerita tentang plagiator. Sudah ada konsep kasarnya di kepala, sebagaimana biasa. Tapi entah kenapa ide-ide lain berasa lebih mendesak untuk ditulis, maka teruslah ditunda-tunda cerita yang satu ini. Suatu malam saat membuka Facebook, saya baca soal kasus tersebut dan saya jadi berpikir, "Ah, telat!" Maksudnya, kenapa tidak dari awal saja cerita plagiator yang baru berupa ide itu segera saya buat? Tapi saya tidak menyesal karena keterlambatan macam ini. Toh lain waktu cerita itu bisa saya tulis dengan lebih mematangkan konsep atau barangkali mencari serpihan-serpihan bahan dulu dari luar biar cerita yang dihasilkan bakal bagus. Sebenarnya saya pernah menulis cerita pendek tentang plagiator, tepatnya tahun lalu. Sayangnya cerita itu belum menemukan jodoh hingga hari ini.

Sebuah Awal: Memang Hidup Bukan Mie Instan

Tidak ada jalan mudah untuk sebuah mimpi yang besar. Saya mengangankan sesuatu yang belum pernah sekuat ini terangankan jika mampir ke pikiran. Seperti mendaki gunung yang butuh perjuangan, mimpi besar juga butuh berdarah-darah. Puncak tidak bisa dicapai dengan hanya selangkah dua langkah. Bermacam marabahaya menunggu, dan hanya soal waktu mereka bermunculan.  Begitu tubuh kita penuh luka, barulah puncak didapat. Kepala ini serasa penuh kelebat gambar-gambar tentang "dia", ten tang mimpi-mimpi lain, tentang suatu masa yang akan datang ketika seseorang mengingatkan saya minum susu dan membetulkan letak kemejaku--sekalipun saya bukan Soe Hok Gie. Membayangkan semua itu jantung ini berlompatan dibawa Spiderman ke sana kemari. Benar-benar tak terduga. Demikianlah. Sore ini terasa begitu dalam. Hidup memang bukan mie instan yang tinggal seduh 3 menit langsung matang, maka manusia harus berjuang.

Masa Kecilku: Kenakalan Semasa Belajar Ngaji

Mama saya biasa mengajar ngaji di masjid dusun sebelah, di dekat rumah lama. Masjid ini pembangunannya dimulai saat saya masih SD dan selesai 2-3 tahun kemudian. Saya kira, masjid inilah yang sampai hari ini semakin ramai digunakan sebagai tempat anak-anak belajar mengaji sehabis ashar, apalagi setelah di sampingnya didirikan sebuah TPQ. Sementara itu, masjid tua di dekat rumah saya, yang ada sejak zaman layar tancap dulu, atau mungkin sudah dibangun sejak zaman Belanda, sudah lama tidak ditemukan anak-anak kecil berkumpul selepas ashar di terasnya. Pasalnya, generasi 90an seperti sayalah yang dulu menyebabkan masjid tua ini menjadi TPQ yang paling diminati. Ketika kami jadi remaja dan tidak lagi mengaji di sana, pelan dan pasti masjid itu tidak lagi dipakai untuk mengajar membaca Quran.

Take It or Leave It!

Baca status seorang teman, jadi ingin tertawa. Mempromosikan karya itu wajar. Kalau tidak dipromosikan, bagaimana orang bisa tahu? Kalau diam saja, bagaimana buku/karya yang kita buat bakal dicari orang? Selama promosi itu di status kita sendiri, memang masalah? Sebenarnya bukan masalah. Hanya orang bermasalah di otak dan hatinya saja yang mempermasalahkan. Hehe. Kukira hanya pertapa, yang hidup di gua di suatu pedalaman, yang tidak memerlukan promosi andai dia berkarya, atau orang yang sok pertapa, atau barangkali orang yang sudah terkenal karena sudah memiliki banyak penggemar dan jaringan (bahkan mereka yang terkenal pun kita tahu gencar melakukan promosi).

Telusuri Dulu Kenyataannya, Baru Menilai Seseorang

Suatu ketika saya bertemu artis yang dulu sempat saya kagumi karena kepribadian dan aktingnya. Waktu itu kami sama-sama syuting di Persari, studio besar di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Saya masih peran kecil-kecilan dan dia peran utama.  Saya tidak sampai berpikir bakal ada jembatan antar-kasta, mengingat kebaikan dia di saat wawancara atau menghadiri undangan talkshow di layar kaca. Ternyata saya salah besar. Artis ini seratus delapan puluh derajat berbeda jika ditemui di dunia nyata. Ia tidak ramah dan bahkan cenderung menganggap saya tidak ada. Padahal saya cukup cerdik mengambil momen menyapanya ketika kami di musala selesai salat magrib; lagi pula saya menyapanya dengan wajar dan tidak dengan cara memalukan.