Skip to main content

(Nyaris) Tak Ada Metromini Sore Itu

Seorang bapak-bapak bertanya padaku ke mana arahku pulang, karena tampaknya para sopir metromini berdemo hari itu dan kami yang tinggal jauh dari Jakarta Barat bakal susah menemukan kendaraan. Kujawab, "Jakarta Selatan, Pak."

Ini terjadi tahun 2011. Waktu itu aku pasrah. Seandainya memang tidak bisa pulang, aku bisa tidur di masjid dekat kantor. Semalam saja tak soal, karena toh baju kerja bisa kulipat dengan rapi dan kusimpan di tas. Aku tidak bisa membayar taksi karena uang di dompet sedang tipis. Tabunganku ada di koper, di kontrakan, di Jakarta Selatan. Aku benar-benar tidak membawa uang selain yang di dompet. Seandainya aku menginap malam itu di masjid dekat kantor, untuk makan besok dan ongkos pulang besok sorenya, aku bisa pinjam teman.
Untuk sesaat bapak yang bertanya tadi tampak cemas. Ia terus melongok ke arah barat, sebagaimana yang kebanyakan para calon penumpang lain lakukan. Mereka sama-sama takut tidak bisa pulang. Tapi aku tenang. Duduk di depan sebuah warung, kuamati seekor kucing dan kubayangkan kucing itu bisa bicara. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa ada orang sebanyak ini berkumpul di tepi jalan? Kucing itu mengorek-ngorek sesuatu di tong sampah untuk dimakan. Ia kelaparan. Seekor kucing kelaparan, mencari makan di mana pun.

Ketika itu aku memegang sebotol teh dingin, yang nyaris habis isinya. Botol itu kuputar-putar dengan tangan kanan dan kembali kuamati semakin banyak orang. Beberapa dari mereka memutuskan naik taksi. Benar-benar tidak ada metromini. Ketika satu unit kendaraan itu tampak di kejauhan, tentu saja yang lebih dekat menyerbu lebih dulu. Aku dari sini, dari jarak belasan meter, hanya berharap semoga tidak ada yang sial sore itu. Semoga semua orang dapat kendaraan yang sesuai isi dompet mereka. Semoga tidak perlu ada yang memutuskan menginap di masjid...

Tidak lama kemudian sebuah metromini datang. Tak banyak isinya. Karena kebanyakan calon penumpang yang tadi berkumpul di tepi jalan sudah berkurang, aku bisa mendapat tempat di bangku paling belakang, menghadap punggung seorang lelaki berbau asam. Aku memilih berdiri untuk menghirup udara segar dekat pintu. Maka metromini pun berangkat, membawa entah berapa banyak manusia. Aku ingat truk pengangkut ayam potong. Aku ingat kucing kelaparan tadi. Aku ingat rumahku di kampung halaman. Aku ingat mimpiku sebagai penulis.

Tiba-tiba aku tersenyum. Ingat janjiku bersama dua sahabatku beberapa bulan sebelumnya: barangsiapa menerbitkan buku lebih dulu, dia wajib memberikan bukunya secara cuma-cuma untuk yang lain. Tentu saja ketika itu aku belum tahu dunia literasi seperti yang sekarang kugeluti. Ketika akhirnya aku yang lebih dulu menerbitkan buku, kukira mereka benar-benar melupakan mimpi itu.

Hari ini aku tidak tahu bagaimana kabar mereka. Keduanya jarang aktif di Facebook. Mungkin dalam waktu dekat salah satunya kutemui. Dan salah satunya lagi mungkin awal tahun depan. Penasaran "setua" apa wajah orang-orang itu.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri