Sebenarnya sekitar tiga atau empat minggu sebelum mencuatnya kasus
plagiarisme oleh salah satu penulis "besar" itu, selama beberapa hari
saya terpikir menulis cerita tentang plagiator. Sudah ada konsep
kasarnya di kepala, sebagaimana biasa. Tapi entah kenapa ide-ide lain
berasa lebih mendesak untuk ditulis, maka teruslah ditunda-tunda cerita
yang satu ini.
Suatu malam saat membuka Facebook, saya baca soal
kasus tersebut dan saya jadi berpikir, "Ah, telat!" Maksudnya, kenapa
tidak dari awal saja cerita plagiator yang baru berupa ide itu segera
saya buat?
Tapi saya tidak menyesal karena keterlambatan macam
ini. Toh lain waktu cerita itu bisa saya tulis dengan lebih mematangkan
konsep atau barangkali mencari serpihan-serpihan bahan dulu dari luar
biar cerita yang dihasilkan bakal bagus. Sebenarnya saya pernah menulis
cerita pendek tentang plagiator, tepatnya tahun lalu. Sayangnya cerita
itu belum menemukan jodoh hingga hari ini.
Lepas dari urusan
cerita pendek, soal plagiarisme memang sejak dulu selalu memprihatinkan
dan menyebalkan. Prihatin karena dari waktu ke waktu selalu saja ada
individu seperti ini yang tidak sabar dalam berkarya dan ambil jalan
cepat. Dan menyebalkan karena belum ada sangsi yang jelas selain
blacklist (yang masih mungkin bisa tercabut) selama orang itu minta
maaf. Mungkin saya salah berpendapat. Tapi sekalipun kita pandai
memaafkan, hendaknya tidak melupakan. Cobalah bohong sekali di kehidupan
sosial, selamanya kita dianggap tukang kibul.
Menurut saya,
kalau memang belum menemukan sesuatu yang mantap di hati untuk ditulis,
lebih baik break dulu dengan membaca atau ngobrol di banyak tempat. Ide
bagus ada di semua tempat. Jangan lantas kepala buntu, lalu tidak sabar
pengen segera membuat tulisan, dan akhirnya mengolah barang yang sudah
dibuat orang seolah itu asli buatannya. Seperti beli martabak dan
kemudian kita iris-iris, kita goreng ulang dan tambahkan sedikit bawang
goreng untuk disuguhkan ke teman dengan berkata, "Nih, buatanku loh!"
Makanya saya pernah bilang, plagiator tidak jauh dari penipu atau
pencuri. Teman itu makan martabak dari kita dan bilang 'enak', lalu kita
bahagia karena dia percaya itu buatan kita, padahal kalau boleh jujur,
dan kalau punya hati, pelakunya pasti merasa malu karena bohong.
Ini bukan soal individu tertentu. Ini soal plagiarisme yang harus kita
lawan, baik dari luar maupun dalam. Kalau dari dalam, maksudnya diri
kita sendiri agar jangan sampai melakukannya. Selama tiga tahun ini saya
sendiri menangkap basah tiga orang plagiator. Dua korbannya karya saya
dan satu lagi karya orang. Dua di antara pelaku ini saya kira belum tahu
arti tindakannya, maka saya beri tahu saja. Sedang yang terakhir, ia
menyadari tindakannya karena ia lebih dulu menulis ketimbang saya.
Setelah mengaku dan minta maaf, ia benar-benar tidak pernah menulis
lagi.
Jadi, mari berkarya dengan jujur. Tujuan menulis kita apa
sih? Cukup diingat saja: tujuan yang baik tidak akan menjadi berkah jika
kita memulainya dengan cara yang tidak baik.
Comments
Post a Comment