Skip to main content

Masa Kecilku: Kenakalan Semasa Belajar Ngaji

Mama saya biasa mengajar ngaji di masjid dusun sebelah, di dekat rumah lama. Masjid ini pembangunannya dimulai saat saya masih SD dan selesai 2-3 tahun kemudian. Saya kira, masjid inilah yang sampai hari ini semakin ramai digunakan sebagai tempat anak-anak belajar mengaji sehabis ashar, apalagi setelah di sampingnya didirikan sebuah TPQ.

Sementara itu, masjid tua di dekat rumah saya, yang ada sejak zaman layar tancap dulu, atau mungkin sudah dibangun sejak zaman Belanda, sudah lama tidak ditemukan anak-anak kecil berkumpul selepas ashar di terasnya. Pasalnya, generasi 90an seperti sayalah yang dulu menyebabkan masjid tua ini menjadi TPQ yang paling diminati. Ketika kami jadi remaja dan tidak lagi mengaji di sana, pelan dan pasti masjid itu tidak lagi dipakai untuk mengajar membaca Quran.

Dulu zaman saya kecil, belum ada TPQ-TPQ seperti sekarang. Yang ada hanyalah kelas mengaji untuk anak-anak yang dibuka di rumah seorang haji atau mereka yang dikenal pintar melantunkan ayat suci. Cukup banyak juga kalau dihitung. Di satu RW saja bisa berdiri tiga atau empat kelas, dan kami para "murid"-nya merasa seakan tempat-tempat ini sekolah kedua.

Saya pernah mengaji di dua tempat. Pertama masjid tua itu. Dan kedua di rumah seorang warga yang punya saudara santri. Di masa-masa ini saya sungguh nakal. Tubuh saya masih kecil dan pendek, jadi sering bocah-bocah lain yang lebih besar mengganggu. Entah mencopot kopiah saya atau sekadar menempel tulisan aneh-aneh di punggung.

Saya tidak suka diganggu. Saya juga tidak mau kalah dan disebut penakut, hanya karena lawannya besar-besar. Tentu saja saya mikir, kalau digulat, pasti saya kalah total. Dan kalau saya kabur, saya selamat. Maka cara membalas yang baik dan benar bagi saya ketika itu adalah: melakukan sesuatu yang menjengkelkan musuh, lalu lari secepat kilat menuju rumah.

Hal yang sering saya lakukan adalah meninju keras-keras lengan lawan atau menepuk telapak tangan ke punggung dengan kekuatan seorang petarung. Ujung-ujungnya, saya harus lari lebih cepat dari siapa pun. Sesekali saya cukup menyembunyikan sandal mereka ke got kalau malas berlari. Dan bila sedang berada di puncak kenakalan, saya bisa mengerjakan berbagai kenakalan tanpa harus mereka mulai. Sesekali tak apalah jadi pembuat gara-gara.

Dari semua "duel" ini, paling sering saya melakukannya dengan teman sekelas saya di SD. Dia anak tentara tapi tidak begitu berani berkelahi, padahal badannya sudah kekar. Untuk.ukuran anak SD, dia terlalu tua dalam beberapa hal. Inilah yang membuat saya sering memulai gara-gara dengannya dan saya selalu menang. Dengan teman lain pun saya selalu menang. Lari saya tak terkalahkan. Hanya sekali saja kalah, karena waktu itu tidak siap. Saya tahu-tahu ditinju oleh bocah yang 3-4 tahun lebih tua, di bagian dada, sampai saya menangis kesakitan. Itu benar-benar tinjuan pertama yang saya terima sepanjang hidup.

Seiring berjalannya waktu, kelas-kelas mengaji itu tutup dan berjamuran TPQ di beberapa tempat dengan kapasitas murid yang tentu saja lebih banyak. Kami para generasi 90an tidak lagi mengaji di sana tapi masih salat berjamaah di masjid tua. Ketika duduk di bangku SMP, badan saya mulai molor alias mencuat bagaikan tiang. Teman-teman mulai segan.

Beberapa tahun berikutnya, mereka yang dulu sering membuat gara-gara dengan saya, tidak lagi berkacak pinggang atau melempar ledekan karena sungkan. Jelas saja, bos mereka yang paling tua dan paling besar dulu, tinggi badannya sudah saya lampaui. Berkat ini pula, kenakalan saya banyak berkurang. Tidak ada yang mengganggu, bukan berarti saya punya alasan membuat gara-gara. Kalau kata Uncle Ben kepada Peter Parker, "Di balik kekuatan yang besar, tersimpan tanggung jawab besar." Kira-kira begitu. Sayangnya, tidak ada Spiderman di dunia nyata.

Biasanya, jam-jam segini sepulang ngaji, bila saya tidak "bentrok" dengan salah satu teman, saya ikut berkumpul bersama mereka di tepi sawah. Melihat sunset sekaligus bicara soal film-film kartun dan mainan terbaru. Lebih menyenangkan bila ini terjadi di akhir hari Sabtu, karena besok paginya kami libur dan bisa bersepeda ke kaki gunung Penanggungan atau sekadar bermain bola di dekat rumah. Bila musim layang-layang tiba, tentu saja sore begini beberapa dari kami mengadu senar di udara. Dan bila musim hujan, tidak ada satu pun bocah keluar. Masing-masing menonton TV di rumah atau mungkin berkumpul di teras rumah nenek saya yang sejak zaman orangtua kami kecil, sudah jadi markas para bocah.

Sekarang semua banyak berubah. Tempat duduk di dekat sawah sudah berganti rumah seseorang. Teras rumah nenek saya juga jauh lebih sempit (dulu tempat itu sepertinya sangat luas). Dan sawah perlahan berubah menjadi perumahan. Masa kecil tidak bisa dikenang, kecuali dengan sedikit kejelian menuliskannya macam ini.

Tiba-tiba saya merasa rindu. 
 

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri