Suatu hari di warung langgananku, aku duduk dan memesan makanan seperti biasa. Di samping kiriku ada seorang kakek sedang makan. Beliau seorang tunanetra dan didampingi istrinya. Keduanya makan mie rebus. Aku tidak pernah melihat sepasang suami istri tua ini, tetapi mereka membawa gumpalan kain, yang kuduga berisi pakaian. Mungkin mereka berkelana ke tempat yang jauh dari kampung, dan jelas mereka bukan pengemis, karena mereka tidak meminta-minta di beberapa bangunan dekat warung setelah pergi meninggalkan warung itu.
Ketika kakek itu makan, dan istrinya dengan sabar mengambilkan tisu serta mengusapi bibir si suami, hatiku mendadak pedih. Seperti seseorang menghantam hatiku dengan batu berkali-kali, dan hatiku menjadi bengkak karenanya. Kakek itu makan dengan lahap, (maaf) seperti orang yang tidak makan beberapa waktu lamanya. Di meja sisi kanan dan kirinya tumpahan kuah mie rebus itu terlihat jelas oleh mataku dan aku semakin pedih justru ketika si nenek semakin semangat membersihkan pipi suaminya.
Di dunia ini mungkin sangat jarang terjadi cinta seperti itu. Di dunia ini cinta sering kali berjalan melawan hati nurani manusia. Orang memang layak mencari segala sesuatu yang terbaik baginya, tetapi perasaan cinta yang paling sejati tidak pernah berpihak pada segala yang bersifat material/fisik.Sampai entah berapa jauh jarak sepasang suami istri tua itu pergi, aku merasa sulit menelan makanan yang kupesan. Aku merasa sesak dan ingin pulang dan menulis sesuatu dengan segera. Tapi, bahkan kedua kakiku pun sulit kugerakkan. Aku tidak tahu ke arah mana mereka pergi, karena tertegun cukup lama di bangku warung. Ketika akhirnya aku keluar warung dan berdiri di tepi jalan raya, tentu saja sepasang suami istri itu telah sampai di tempat yang jauh.
Di Jakarta banyak sekali kutemui pelajaran seperti ini. Hidup sebagai pemuda keras kepala yang melihat berbagai hal, membuatku paham arti beberapa hal yang dulu selalu kutolak. Aku bersyukur di hari-hari itu kekuatan menulisku hari ini memiliki pondasinya. Ketika kesakitan melumatku habis sampai ke akar-akarku, aku masih tegap berdiri dan yakin suatu hari nanti semua akan baik-baik saja. Bahwa di luar sana ada begitu banyak derita, sepatutnya membuatku selalu bersyukur.
Comments
Post a Comment