Kalau saya hari ini dipertemukan dengan saya sepuluh tahun yang lalu, dan keduanya membawa gitar, lalu disuruh memainkan melodi lagu tertentu, bisa dipastikan saya yang hari ini jauh lebih payah. Pasalnya sudah bertahun-tahun saya berhenti memainkan gitar. Benar-benar berhenti, meski bukan karena benci atau niat berhenti, tetapi tidak sempat. Jika dulu waktu luang sehabis sekolah dan mengerjakan PR saya habiskan dengan main Playstation atau gitar atau main bola di luar, maka tahun-tahun terakhir gitar menempati urutan terbawah daftar hobi penghilang penat setelah saya menekuni dunia literasi. Kalau ditulis dalam angka, mungkin hobi main gitar dapat nilai nol koma nol-nol sekian. Nol di belakang koma barangkali ada tujuh belas, saking parahnya.
Tentu saja ini bukan akibat buruk saya menulis. Hanya mungkin tidak bisa membagi waktu atau mungkin kecintaan saya pada gitar menurun drastis. Padahal dulu senar-senar gitar itu berteman akrab dengan isi kepala dan jari jemari saya. Setiap mendengar lagu apa, rasanya ingin memetik gitar dan memainkan lagu tersebut. Inilah kenapa saya tidak pernah berniat berhenti menulis. Sebab sekalinya berhenti, kita tidak tahu suatu hari nanti ketika kita mau mengembalikan kebersamaan dengan hobi tersebut, malah tidak selancar masa lalu. Kalau sudah begitu, kita sendiri yang rugi.
Jadi, meninggalkan hobi tidak ada bedanya dengan melakukan dosa berat. Paling tidak, itulah menurut saya. Dan itu sangat tidak enak.
Comments
Post a Comment