Skip to main content

Posts

Showing posts with the label catatan

Plagiarisme Harus Kita Lawan

Sebenarnya sekitar tiga atau empat minggu sebelum mencuatnya kasus plagiarisme oleh salah satu penulis "besar" itu, selama beberapa hari saya terpikir menulis cerita tentang plagiator. Sudah ada konsep kasarnya di kepala, sebagaimana biasa. Tapi entah kenapa ide-ide lain berasa lebih mendesak untuk ditulis, maka teruslah ditunda-tunda cerita yang satu ini. Suatu malam saat membuka Facebook, saya baca soal kasus tersebut dan saya jadi berpikir, "Ah, telat!" Maksudnya, kenapa tidak dari awal saja cerita plagiator yang baru berupa ide itu segera saya buat? Tapi saya tidak menyesal karena keterlambatan macam ini. Toh lain waktu cerita itu bisa saya tulis dengan lebih mematangkan konsep atau barangkali mencari serpihan-serpihan bahan dulu dari luar biar cerita yang dihasilkan bakal bagus. Sebenarnya saya pernah menulis cerita pendek tentang plagiator, tepatnya tahun lalu. Sayangnya cerita itu belum menemukan jodoh hingga hari ini.

Sebuah Awal: Memang Hidup Bukan Mie Instan

Tidak ada jalan mudah untuk sebuah mimpi yang besar. Saya mengangankan sesuatu yang belum pernah sekuat ini terangankan jika mampir ke pikiran. Seperti mendaki gunung yang butuh perjuangan, mimpi besar juga butuh berdarah-darah. Puncak tidak bisa dicapai dengan hanya selangkah dua langkah. Bermacam marabahaya menunggu, dan hanya soal waktu mereka bermunculan.  Begitu tubuh kita penuh luka, barulah puncak didapat. Kepala ini serasa penuh kelebat gambar-gambar tentang "dia", ten tang mimpi-mimpi lain, tentang suatu masa yang akan datang ketika seseorang mengingatkan saya minum susu dan membetulkan letak kemejaku--sekalipun saya bukan Soe Hok Gie. Membayangkan semua itu jantung ini berlompatan dibawa Spiderman ke sana kemari. Benar-benar tak terduga. Demikianlah. Sore ini terasa begitu dalam. Hidup memang bukan mie instan yang tinggal seduh 3 menit langsung matang, maka manusia harus berjuang.

Masa Kecilku: Kenakalan Semasa Belajar Ngaji

Mama saya biasa mengajar ngaji di masjid dusun sebelah, di dekat rumah lama. Masjid ini pembangunannya dimulai saat saya masih SD dan selesai 2-3 tahun kemudian. Saya kira, masjid inilah yang sampai hari ini semakin ramai digunakan sebagai tempat anak-anak belajar mengaji sehabis ashar, apalagi setelah di sampingnya didirikan sebuah TPQ. Sementara itu, masjid tua di dekat rumah saya, yang ada sejak zaman layar tancap dulu, atau mungkin sudah dibangun sejak zaman Belanda, sudah lama tidak ditemukan anak-anak kecil berkumpul selepas ashar di terasnya. Pasalnya, generasi 90an seperti sayalah yang dulu menyebabkan masjid tua ini menjadi TPQ yang paling diminati. Ketika kami jadi remaja dan tidak lagi mengaji di sana, pelan dan pasti masjid itu tidak lagi dipakai untuk mengajar membaca Quran.

Take It or Leave It!

Baca status seorang teman, jadi ingin tertawa. Mempromosikan karya itu wajar. Kalau tidak dipromosikan, bagaimana orang bisa tahu? Kalau diam saja, bagaimana buku/karya yang kita buat bakal dicari orang? Selama promosi itu di status kita sendiri, memang masalah? Sebenarnya bukan masalah. Hanya orang bermasalah di otak dan hatinya saja yang mempermasalahkan. Hehe. Kukira hanya pertapa, yang hidup di gua di suatu pedalaman, yang tidak memerlukan promosi andai dia berkarya, atau orang yang sok pertapa, atau barangkali orang yang sudah terkenal karena sudah memiliki banyak penggemar dan jaringan (bahkan mereka yang terkenal pun kita tahu gencar melakukan promosi).

Telusuri Dulu Kenyataannya, Baru Menilai Seseorang

Suatu ketika saya bertemu artis yang dulu sempat saya kagumi karena kepribadian dan aktingnya. Waktu itu kami sama-sama syuting di Persari, studio besar di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Saya masih peran kecil-kecilan dan dia peran utama.  Saya tidak sampai berpikir bakal ada jembatan antar-kasta, mengingat kebaikan dia di saat wawancara atau menghadiri undangan talkshow di layar kaca. Ternyata saya salah besar. Artis ini seratus delapan puluh derajat berbeda jika ditemui di dunia nyata. Ia tidak ramah dan bahkan cenderung menganggap saya tidak ada. Padahal saya cukup cerdik mengambil momen menyapanya ketika kami di musala selesai salat magrib; lagi pula saya menyapanya dengan wajar dan tidak dengan cara memalukan. 

Masa Kecilku: Kalau Sudah Besar Jadi Polisi?

Dulu semasa saya kecil, almarhum kakek yang pensiunan polisi selalu berkata pada teman-temannya, "Ini cucuku yang paling ganteng. Kalau sudah besar jadi polisi."   Tapi saya tidak ingin jadi polisi. Tentu saja saya tidak mengatakan itu pada Kakek, karena beliau suka menghibur saya dengan membuat skesta binatang-binatang seperti kuda dan macan, sampai saya menyimpan cita-cita ingin menjadi pelukis suatu hari nanti. Gambar skesta almarhum Kakek, yang dibuat di berbagai macam kertas seadanya, karena tiap meminta dibuatkan sketsa, saya tidak tahu waktu, suka saya pandangi. Lalu saya tiru gambar-gambar itu sesuai versi saya yang jadinya kelihatan lebih besar dan komikal.

Belasan Tahun Mengubah Segalanya

Kira-kira tujuh belas tahun lalu saya pernah dibentak seorang bapak berbadan gendut, karena tak sengaja ban sepeda saya menginjak jembatan kecil di selokan depan rumahnya yang baru diperbaiki. Karena semennya belum kering, bekas ban sepeda saya kelihatan. Saya dan seorang teman langsung mengayuh sepeda lebih kencang karena takut ditangkap. Sejak itu, saya tidak berani lewat jalan tersebut. Pengalaman ini sama persis dengan sebelumnya. Waktu itu hari sudah cukup terang dan saya takut terlambat sampai sekolah. Di tengah jalan sempit, di depan sebuah toko alat pancing, ada banyak sekali bebek berkeliaran yang entah milik siapa. Saya harus buru-buru, tetapi bebek-bebek itu kurang ajar. 

Kisah Nyata: Sosok Misterius di Busway

Beberapa tahun silam, ketika menjalani masa training di sebuah perusahaan nasional, saya pulang hingga malam. Busway kali itu berubah jalur dikarenakan keadaan darurat. Saya yang tidak hafal rute baru ini, menyadari busway mengarah terus ke utara, merasa waswas tidak bisa pulang tepat waktu. Di halte transit kawasan Jakarta Utara, penuh sekali manusia. Orang-orang antre berjubelan, mungkin ratusan, demi berpindah ke busway sesuai arah tujuan masing-masing. Saya masih ingat sa lah satu penumpang yang tadinya sebusway dengan saya; ia juga turun dan berdiri di dekat saya.  Ketika beberapa petugas di belokan halte transit itu memberi arahan membingungkan untuk tujuan Lebak Bulus, orang ini sempat salah belok. Tentu saja, sebelumnya kami sempat ngobrol dan saya tahu bapak ini searah pulangnya dengan saya. Jadi, ketika beliau berlari ke arah yang salah--sebagaimana para penumpang lain yang juga berlari jika ada celah, agar lebih cepat dapat busway--saya panggil bapak ini d

Flash Disk Sejarah: Dari Zaman 'Main-main' hingga Jadi Penulis

Flashdisk yang sampai sekarang saya gunakan, yang di dalamnya berisi ribuan file tulisan sejak beberapa tahun lalu memulai menekuni dunia menulis, dibeli di dekat pasar, persis di samping sebuah toko jamu. Tempat itu menjual berbagai aksesori komputer dan membuka jasa fotokopi. Saya ingat hari itu, pada suatu siang ketika membeli flashdisk ini, berpikir betapa benda ini akan menjadi sejarah suatu hari nanti. Entah sejarah macam apa; pokoknya ia bakal menjadi lebih dari sekadar benda untuk menyimpan lagu-lagu dan koleksi video klip. Flashdisk ini mulai saya gunakan untuk "main-main", karena waktu itu belum serius menggeluti dunia menulis, walau sudah membuat beberapa bab novel--yang mandeg berkat ucapan pedas seorang teman. Flashdisk ini hampir tiap hari selalu saya bawa dan ketika mampir ke warnet mencari lagu-lagu favorit, ia selalu siap menampung. Entah berapa banyak file lagu dan video klip band serta penyanyi kesukaan terkumpul. Suatu ketika tahu-tahu s

Ini Murid Bapak yang Tidak Suka Pelajaran Bahasa Indonesia

Tidak tahu kenapa sejak SMP dan SMA saya selalu bermasalah dengan guru bahasa Indonesia. Waktu SMP, saya yang baru masuk sudah dengar kabar dari kakak saya dan beberapa teman sedesa yang lebih dulu sekolah di sana, bahwa ada salah seorang guru yang memiliki indra keenam. Jadi, barangsiapa berbuat nakal, sekalipun pintar menutupi, konon beliau ini pasti tahu. Saya percaya saja, karena penampilan beliau mendukung. Dingin namun santai. Tidak galak namun disiplin. Kalau saja kita murid baik-baik, santai saja menghadapi beliau, karena orangnya suka bercanda, walau kalau sudah serius tidak mudah dibuat tersenyum. Saya juga tidak takut pada guru ini, dalam arti tidak menyembunyikan kenakalan apa pun; jadi kenapa takut? Tentu saja saya juga selalu sopan pada semua guru.

Masa Kecilku: Belajar Membaca Tanpa Paksaan

Dulu waktu kecil tidak ada yang benar-benar berniat mengajari saya membaca, atau tepatnya ketika itu memang belum waktunya bagi saya, sehingga orangtua pun belum berpikir ke arah sana. Tapi saya sering duduk manis di dekat kakak yang ketika itu sudah sekolah TK dan mulai diajari membaca oleh Mama. Dengan cara melihat dan membayangkan bentuk huruf demi huruf, saya mulai tahu keasyikan membaca. Tidak langsung lancar, karena tentu saja saya hanya menjadi penonton di sana. Mama saya tidak tahu betapa anak bungsunya ini diam-diam terus mendengar dan mengamati, lalu membayangkan segala huruf, bahkan setelah kakak menutup buku dan tidur. Ketika itu ada mainan semacam lego, ukurannya sekepalan tangan saya, yang terdiri dari banyak warna dengan hiasan 26 abjad plus contoh kata serta gambar agar mudah diingat. Misal untuk huruf 'A', saya ingat bergambar buaya dengan kata 'aligator'. Ditambah permainan ini, semakin hari saya semakin lancar.

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Tentang Pabrik Cerpen dan Selera Baca

Kira-kira seminggu lalu, setelah mencoba beberapa minggu, teman saya bisa juga meloloskan salah satu tulisannya. Bukan cerpen, tetapi esai. Dimuat di koran lokal tak berhonor, sebagai karya pertama di media, ia menganggap inilah sejarah. Saya tentu saja berpikir begitu. Sesepele apa pun pencapaian seorang kerdil di mata orang yang mungkin sudah besar, akan tetap istimewa di mata kami yang masih pemula ini. Sebagai sesama 'kerdil', saya jabat tangannya dan memberi ucapan selamat tiga kali, seperti memanggil Bento atau hantu Bloody Marry atau siapa pun yang minta dipanggil tiga kali guna memunculkan diri. Teman itu mengajak saya ke kafe seberang kantornya dan berniat menraktir jus buah naga kesukaan saya. Saya bilang itu berlebihan, karena ia sendiri tidak dapat honor. Tapi ia beranggapan ini harus dilakukan sebagai wujud rasa syukur dan bahagia. Saya pun mau. Ketahuilah, kalau dia telanjur senang, susah mengendalikan diri. Ia terus menerus berjingkrak dan berk

Membuat Banyak Peluang

Teman lama itu mengeluh, setelah mengaku mengirim kira-kira sepuluh tulisan ke berbagai media cetak, namun tidak satu pun mendapat kabar baik. Dia bilang mungkin menulis bukan jalannya. Saya baca tulisan-tulisannya, tidak buruk. Ini hanya soal kesempatan, kata saya padanya. Dan jangan lupa, setiap kita punya jatah nasib baik, yang entah kapan itu datangnya. Tapi nasib baik itu memang ada. Tanpa menanggapi saran saya, dia serahkan pada saya file itu untuk diperlakukan terserah saya. Boleh diprint lalu dibakar. Boleh juga dijadikan bungkus kacang. Atau langsung delete saja dari flashdisk. Ia benar-benar putus asa. Saya diam dan melihat seberang jalan. Sekiranya di sana ada cara menjelaskan sesuatu. Ketika itu kami duduk di depan lapak koran. Lapak itu ada sejak sebelum saya lahir. Yang jual sudah tua dan saya sering membeli majalah Bobo atau buku TTS atau buku cerita terbitan beberapa penerbit kecil kawasan Surabaya semasa sekolah dulu di sini.

Produktif Bukan Soal Seberapa Banyak Karya Dinikmati

Seorang teman menegur saya ketika ketemu di jalan, "Wah, penulis produktif, ya, sekarang!" Suaranya begitu lantang sampai beberapa orang di halte menoleh dan memandangi saya lamat-lamat. Dengan agak malu, saya menepi ke dekat telepon umum dan menyembunyikan wajah di sana--meski gagal, karena postur saya yang jangkung. Lalu teman itu menjabat tangan dan saya membalasnya. Ia tanpa basa basi bicara tentang cerpen-cerpen saya yang beberapa kali terbit di koran lokal di tempat tinggalnya. Ia bilang belum baca semua, tapi turut senang karena sekarang saya produktif. "Itu gimana caranya?" tanyanya setelah dua menit bicara panjang lebar soal cerpen dan produktivitas saya--dalam tanda kutip--akhir-akhir ini.

Tips Menulis Cerpen yang Tak Biasa ala Ken Hanggara (Part 3): "Ending yang Membekas"

Dalam kesempatan ini saya akan bagikan tips menulis ending . Ending adalah akhir sebuah cerita. Ending yang baik adalah yang membekas di hati pembaca. Yang namanya membekas, bisa menyenangkan, bisa juga menyebalkan. Intinya kita butuh menulis cerpen yang tak biasa, maka buatlah sesuatu yang juga tak biasa. Coba ingat kejadian apa yang paling berkesan dalam hidupmu. Pasti kebanyakan yang nyebelin. Iya atau iya? :p Kejadian menyenangkan lebih jarang kita ingat. Maka buatlah ending yang menyebalkan bagi pembaca.     Lha kok malah gitu? Aya-aya wae Kakak ini! Ini gak main-main. Ending menyebalkan yang saya maksud adalah ending yang menampar, ngagetin, kurang ajar, dan nggantung. Kover buku "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" karya saya.     Berikut tips menulis ending:

Tips Menulis Cerpen yang Tak Biasa ala Ken Hanggara (Part 2): Opening yang Menjerat

Kali ini giliran saya bagikan tips menulis opening cerpen. Kalau judul ibarat penampilan luar, maka opening adalah tingkah laku. Attitude! Bayangin, kamu ketemu orang baru, kenalan baru. Kelihatannya sih asyik, seru, baik, ramah, sopan... ah, pokoknya perfect lah. Eh, ternyata, setelah kenal beberapa menit aja, kamu udah bosen hanya karena cara bicara dia yang tidak sopan atau kurang ajar. Nah, judul yang bagus saja tidak cukup untuk cerpenmu. Itulah gunanya tips menulis cerpen yang tak biasa. Opening yang bagus itu penting. Karena sejak kalimat-kalimat pertama, orang akan tahu dia mau atau tidak meneruskan membaca cerpenmu. Maka, opening harus tak biasa, menjerat, nendang, mengundang penasaran, menggugah perasaan, dan menyimpan kejutan.

Tips Menulis Cerpen yang Tak Biasa ala Ken Hanggara (Part 1): Judul yang Memikat

Berikut ini akan saya bagikan satu tips menulis cerpen yang tak biasa . Pertama, tentu saja soal judul. Judul ibarat wajah, kepala, baju, dan segala asesoris yang dipakai "seorang" cerpen. Semua terlihat dari luar. Maka sepatutnya judul dibuat memikat, mengikat, mengundang rasa penasaran dengan sejuta tanda tanya. #jiaah... Kamu percaya cinta pada pandangan pertama? Love at the first sight? Bagi sebagian orang itu omong kosong. Tapi percayalah, bagi pembaca cerpen, cinta semacam itu wajib! Maka menulis cerpen yang tak biasa tentu juga butuh judul yang tak biasa. Cerpenmu gak akan menarik minat pembaca jika judul yang kamu buat ngebosenin, jadul, klise (itu-itu saja), bikin ngantuk, dan pasaran. Maka buatlah gebrakan baru soal judul. Dan satu lagi, jangan ikut-ikutan! Namanya juga menulis cerpen yang tak biasa , pasti dibutuhkan hal-hal baru dong. Kover buku "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" karya saya.   Tips menulis judul cerpen yang tak biasa ad

Menulis untuk Uang... Salahkah?

Menulis untuk mendapat uang? Kenapa tidak? Tidak ada yang salah dengan itu. Namanya juga tujuan. Selama menulis itu dilakukan dengan baik dan jujur, tidak ada salahnya orang punya misi mendapat uang. Yang jadi soal hanyalah: fakta bahwa uang tidak seinstan itu didapat dari menulis, sebab ada proses panjang yang perlu kita lalui. Mungkin ada beberapa orang yang kelihatannya cepat sekali "kaya" dari menulis, tetapi saya yakin itu memang takdir khusus yang sengaja Tuhan beri untuk orang-orang ini (peraih gelar best seller di karya pertama, misal) untuk inspirasi yang lain. Di sisi lain, tidak semua orang ditakdirkan menjadi inspirator. Tuhan adil? Tentu saja adil. Kalau semua orang di dunia ini jadi inspirator, bagaimanakah dunia disebut indah dan bermakna? Bayangkan saja itu.

Bahagia ala Mahmud dan Joni

Suatu ketika saya pernah menyewa rumah bersama beberapa kawan di kawasan Jaksel. Kami memberlakukan sistem patungan. Ketika itu kami pikir cara ini lebih hemat ketimbang per orang sewa kamar kost masing-masing. Di kawasan itu, rata-rata per kamar dibandrol 500 ribu per bulan (tahun 2010). Bagi kami yang hidup di tanah orang, jauh dari keluarga, jumlah itu lumayan besar. Maka ketimbang menyewa kamar, lebih baik sewa rumah sederhana saja, seharga 600 ribu per bulan, untuk berlima. Rumah itu cukup nyaman dan layak, meski dekat dengan kebun. Tentu saja, selain fasilitas air bersih dan listrik gratis, kami juga bebas memancing lele di depan. Di rumah inilah saya kenal seorang perantau asli Minang, sebut saja Mahmud (bukan nama sebenarnya). Dia tidak tinggal di rumah ini, tetapi sekali waktu mampir, sekadar membawakan nasi kotak dari lokasi shooting yang ia bawa untuk sahabatnya, yang tinggal serumah dengan saya. Tetapi kadang-kadang Mahmud juga kemari untuk ngobrol dengan saya.