Skip to main content

Tips Menulis Cerpen yang Tak Biasa ala Ken Hanggara (Part 3): "Ending yang Membekas"

Dalam kesempatan ini saya akan bagikan tips menulis ending. Ending adalah akhir sebuah cerita. Ending yang baik adalah yang membekas di hati pembaca. Yang namanya membekas, bisa menyenangkan, bisa juga menyebalkan. Intinya kita butuh menulis cerpen yang tak biasa, maka buatlah sesuatu yang juga tak biasa. Coba ingat kejadian apa yang paling berkesan dalam hidupmu. Pasti kebanyakan yang nyebelin. Iya atau iya? :p Kejadian menyenangkan lebih jarang kita ingat. Maka buatlah ending yang menyebalkan bagi pembaca.
    Lha kok malah gitu? Aya-aya wae Kakak ini!
Ini gak main-main. Ending menyebalkan yang saya maksud adalah ending yang menampar, ngagetin, kurang ajar, dan nggantung.
Kover buku "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" karya saya.

    Berikut tips menulis ending:


1. Simpan rahasiamu, jangan sampai ketahuan!
    Maka kamu akan menemukan ending yang menampar dan ngagetin di cerpenmu. Penulis harus pintar menyimpan rahasia dalam sebuah cerita untuk nanti disajikan di akhir cerita. Namanya juga menulis cerpen yang tak biasa, maka tidak bisa kita buat yang biasa-biasa saja dong?

Contoh: Kamu nulis dari sudut pandang sepeda. Maka "aku" adalah sesosok sepeda. Dia hidup, bisa berpikir, punya perasaan seperti manusia. Hanya saja dia tidak bisa bicara. Si sepeda ini jatuh cinta sama manusia pemiliknya. Sayangnya, sepeda ini tidak bisa bicara.

    Nah, kamu buat seolah mereka sepasang sahabat, pergi ke mana-mana selalu bareng, gak peduli hujan atau panas. Pokoknya selalu bersama. Yang dimaksud menyimpan rahasia adalah: jangan sampai pembaca tahu wujud asli "aku". Gimana caranya? Ya jangan sebut bahwa "aku" itu sepeda. Sebut saja bahwa "aku" adalah teman baik manusia itu. Sepanjang cerita jangan sampai bocor rahasiamu, kecuali di akhir cerita. Kira-kira akhir cerita sepeda ini bisa begini:

     Malam itu aku masih sendiri, bertemankan hujan dan dingin. Dia meninggalkanku di sudut gang basah ini dengan serbuan rasa cemburu.
    "Gadis itu terlalu cantik untuk kucemburui. Tentu saja, aku tidak akan menang, karena aku hanya sebuah sepeda," kataku melihatnya duduk berdua dengan pacarnya.


    "Sepeda" adalah kata kunci yang jadi rahasiamu. Jadi apa pun caranya, sebisa mungkin jangan menyebut kata "sepeda" lebih dari satu kali. Kalau kamu sudah mahir melakukan ini, berarti sudah berpotensi menulis cerpen yang tak biasa. Tapi jangan lupa buat ceritamu selogis mungkin. Tidak mungkin manusia mengenalkan "aku" ke keluarganya dengan berkata, "Hei, ini kenalin sahabatku!" Itu gak logis. Walaupun menulis cerpen yang tak biasa harus melawan arus, logika tetap penting. Masa iya sepeda pake dikenalin segala? 

    Kisah sepeda (benda mati) ini hanya satu dari sekian banyak "cara" mengembangkan tips "rahasia". Ada banyak alternatif untuk menyimpan rahasia. Salah satunya dengan membuat cerita semacam penyamaran. Misal ada pencuri misterius yang meresahkan warga. Warga meminta bantuan detektif untuk mencari pelakunya. Sampai kapan pun pelaku tidak pernah ditemukan karena ternyata si detektiflah pelakunya. Ini bisa kamu bongkar di ending--bisa ketahuan oleh warga, atau bisa juga tidak ketahuan dan hanya pembaca saja yang kamu beri tahu, terserah. Tapi jangan sampai kebongkar di bagian tengah, apalagi awal cerita. Buat saja seolah si detektif itu sedang bekerja melacak pencurinya. Toh dia memang pura-pura jadi orang baik, 'kan?

2. Hindari ending yang sudah terlalu sering dipakai. Seperti opening, ending yang pasaran pun juga mesti kita hindari, agar cerita kita tidak lantas dilupakan oleh pembaca. Itulah gunanya tips menulis cerpen yang tak biasa: biar berkesan. Supaya berkesan, hindari membuat ending klise seperti ini:


"Baiklah, Juliet! Kalau ini maumu, aku juga akan mati! Ah!"

Atau malah begini:

Dan mereka pun hidup bahagia selamanya.



Itu basi beneran. Selain tidak berkesan, ending klise juga kurang menghibur. Hiburlah pembaca dengan ending yang menggigit dan tak biasa, seperti:

Sorenya, Sarbini mendapati istrinya berbaring dengan wajah kaku dan penuh darah. Tak jauh dari sana, tubuh Mak melingkar di kolam, mengambang, dengan puluhan semut dan kotoran kering di sekitarnya. Matanya tidak berkedip-kedip lagi.


Ending semacam inilah, yang menohok ulu hati perasaan jiwa dan raga, yang bakal membuat pembaca tidak melupakan cerpenmu.
                
3. Biarkan pembaca menyimpulkan sendiri. Ya, ending yang menggantung atau tidak jelas akan membuat pembaca menyimpulkan sendiri nasib tokohmu. Ini kadang nyebelin, tapi kamu bakal dapat nilai plus dari pembaca. Semakin sering kamu buat jengkel pembaca dengan ending menggantung, maka cerpenmu akan semakin ditunggu. Tapi dengan satu syarat: kalau bikin ending menggantung, ya jangan terlalu dipaksa. Ingat, logika selalu nomor satu!
Contoh ending menggantung:

Rasanya tenagaku habis. Tubuhku benar-benar tanpa daya. Akankah aku terus terjebak di sini, di tempat yang bahkan tidak ada seekor pun kadal bertahan hidup. Baiklah, aku akan bertahan sejauh yang aku mampu, walau bayang-bayang wajah itu selalu hadir.

"Kau harus hidup, Jack! Harus!" suara-suara itu menggema.

Kulihat tetes-tetes hujan di angkasa, bukan wajahnya lagi. Entahlah, apa besok pagi aku masih merasa haus?


Di contoh itu tidak jelas apakah "aku" selamat atau tidak dari terdamparnya dia di sebuah tempat. Perhatikan kalimat terakhir. Kalimat itu multitafsir; bisa berarti "aku" selamat atau malah masih terjebak.
Kalau ending menggantung yang dipaksain, contohnya ini:

Ardi tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ditelepon berkali-kali, di-SMS, bahkan didatangi rumahnya, tetap Rina tidak mau merespon. Padahal yang menghilangkan buku matematikanya bukan dia, tapi Norman.
Hingga akhirnya Ardi pun berteriak, "Apa salahku? Ini fitnah! Ini fitnah!"
"Tenanglah, Nak," kata seorang dokter. Di seragamnya, terdapat tulisan: Rumah Sakit Jiwa Sumber Waras.



Apa-apaan coba? Masa karena dituduh ngilangin buku matematika, terus bisa jadi gila gitu? Ckck. #ngelusdada. Sekalipun kita menulis cerpen yang tak biasa, bukan berarti juga seenak kita sendiri. 

Demikianlah tips menulis ending. Semoga di kesempatan berikut saya bisa membagi lagi tips menulis cerpen yang tak biasa untuk teman-teman.

 (Tulisan ini dikutip dari buku "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" karya saya. Insya Allah secara bertahap saya akan memposting tips menulis cerpen yang tak biasa lainnya di waktu yang tidak ditentukan. Semoga bermanfaat.)

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri