Skip to main content

Membuat Banyak Peluang

Teman lama itu mengeluh, setelah mengaku mengirim kira-kira sepuluh tulisan ke berbagai media cetak, namun tidak satu pun mendapat kabar baik. Dia bilang mungkin menulis bukan jalannya. Saya baca tulisan-tulisannya, tidak buruk. Ini hanya soal kesempatan, kata saya padanya. Dan jangan lupa, setiap kita punya jatah nasib baik, yang entah kapan itu datangnya. Tapi nasib baik itu memang ada.

Tanpa menanggapi saran saya, dia serahkan pada saya file itu untuk diperlakukan terserah saya. Boleh diprint lalu dibakar. Boleh juga dijadikan bungkus kacang. Atau langsung delete saja dari flashdisk. Ia benar-benar putus asa.

Saya diam dan melihat seberang jalan. Sekiranya di sana ada cara menjelaskan sesuatu. Ketika itu kami duduk di depan lapak koran. Lapak itu ada sejak sebelum saya lahir. Yang jual sudah tua dan saya sering membeli majalah Bobo atau buku TTS atau buku cerita terbitan beberapa penerbit kecil kawasan Surabaya semasa sekolah dulu di sini.

Saat saya memandangi penjual obat gatal di seberang sana, teman saya berceloteh tentang pacarnya. Di waktu bersamaan, nenek yang menjaga lapak tidak memperhatikan kami ketika ia menyapu daun-daun kering yang berjatuhan ke atas dagangannya, sehingga daun-daun itu menimpa wajah teman saya.

Saya baru akan mengatakan penjual obat gatal yang kurus dan gondrong itu mungkin tidak makan selama empat tahun, karena saking kurusnya, tapi suara saya keduluan si nenek yang segera minta maaf. Saya menoleh dan mendapati wajah teman saya kotor penuh daun dan semut.

Saya tertawa kecil sementara teman saya sibuk menghalau semut-semut di leher dan mulutnya. Tidak banyak, namun cukup menambah kusut wajahnya. Dia bilang pacarnya masih kesal dan mereka terancam tidak bisa lanjut.

Tanpa membuang waktu, saya lanjutkan obrolan soal penjual obat gatal tadi. Saya tidak ingin omongan melantur ke soal lacar dan tulisan jelek, padahal tidak sejelek yang dia pikir. Saya jelaskan sedikit yang saya tahu tentang penjual obat itu. Sering saya lihat orang itu duduk tepekur di bangkunya, sementara barang jualannya teronggok di trotoar begitu saja, jarang disentuh. Di sana tertulis: bahan biawak asli. Tetapi orang di kawasan sini telah maju dan lebih percaya pada apotek.

"Mungkin menulis beda dengan jualan obat," kata saya padanya, setelah teman ini diam mendengar sedikit deskripsi saya soal si penjual obat. "Tapi pernah nggak kamu hitung berapa uang yang didapat orang itu?"

Teman saya agaknya paham. Ia tidak minta penjelasan karena jelas orang-orang tidak terlalu mau memberi penjual obat itu kesempatan, atau sebut saja mulai sekarang: kepercayaan. Itulah kenapa dia sangat kurus seolah tidak pernah makan selama, mungkin, dua puluh empat tahun--bukan lagi empat tahun. Anehnya, kenapa ia masih jualan obat?

"Karyaku belum dipercaya," katanya lesu. Ya, saya mengangguk. Maka buatlah redaktur-redaktur itu percaya. Caranya tidak lain cuma satu: istiqamah. Lakukan terus menerus tanpa henti, dan lupakan soal rasa pesimis.

Saya tahu tulisan teman ini bahkan lebih baik dari beberapa karya yang saya baca di media tertentu. Dia bisa tapi tidak yakin.

"Yang pertama, percayalah pada dirimu sendiri. Kalau ke diri sendiri saja tidak yakin, bagaimana orang yakin?" tutup saya. Ini membawa saya melesat ke belakang, beberapa tahun silam, saat hanya segelintir tulisan saya ditolak, saya sudah nyaris gantung sepatu. Untunglah, walau tidak ada yang mendorong saya ketika itu, saya bisa bangkit karena tidak ingin menyerah. Satu kata itu: 'menyerah', seakan setan laknat yang suka membuatmu bodoh.

Kami pun bicara lagi soal karyanya. Saya serahkan lagi flashdisk itu padanya dan menyemangatinya untuk mencoba buat cerpen yang lebih baik lagi.

"Pindahkan dulu filenya ke komputer dan berikan flashdisk kosong itu padaku, baru aku mau," kata saya berlagak serius.

Dia pun mulai bisa tertawa. Dia bilang flashdisk itu dibeli dengan uang, bukan daun. Nenek penjual koran melongok seakan-akan kami baru saja membicarakan dirinya.

Hari sudah agak siang dan kami pindah ke warung es campur dekat situ. Di sini agak teduh, maka menyinggung soal redaktur saya kira sudah tepat waktunya. Saya katakan pada teman itu, "Aku kenal seorang redaktur budaya. Dia biasa menerima kiriman cerpen di salah satu koran lokal."

Belum selesai saya bicara, dia memotong, "Cerpenmu pasti sering dia muat, 'kan?"

Saya tertawa dan bilang tidak. Memang pernah dimuat, tetapi cuma sekali--tak peduli sesering apa saya kirim naskah padanya. Inilah yang perlu kamu tahu, kata saya, bahwa tidak semua redaktur seperti yang kamu pikirkan.

Dia benar-benar tidak percaya. Teman saya kira selama ini seorang penulis harus kenal dulu dengan redakturnya, baru bisa dimuat. Saya tekankan: itu salah besar. Mungkin memang ada yang begitu, tetapi kebanyakan tidak. Buktinya, redaktur yang saya kenal secara pribadi dan dua arah (maksudnya, dia juga kenal saya sejak beberapa tahun lalu dan kami pernah mengobrol) hanya sekali memuat cerpen saya. Lainnya, saya tidak kenal sama sekali.

Setelah kami berpisah, saya tahu teman itu tidak sesedih tadi. Sekarang ia berpikir, nasib baiknya mungkin belum datang dan ia harus mengejarnya. Kesuksesan hanya akan ada kalau kita membuat sebanyak mungkin peluang. Dan itu tidak cukup dengan sepuluh cerpen saja. Saya tidak bisa menggambarkan ekspresi herannya saat saya katakan betapa banyak cerpen saya yang ditolak sebelum akhirnya dimuat.

"Ada berapa?" tanyanya antusias.

"Dua ratus, mungkin."

Entahlah, barangkali, lalat masuk mulut pun tidak akan dia gubris saat itu. Dia terlalu asyik melongo, dan tidak akan berhenti kalau tidak saya sadarkan bahwa saya harus cabut. Ada pekerjaan yang harus saya selesaikan.

Comments

  1. intinya jangan menyerah. Terima kasih kak, memotivasi ^-^
    saya juga nggak punya kenalan redaktur sama sekali :3

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri