Skip to main content

Tentang Pabrik Cerpen dan Selera Baca

Kira-kira seminggu lalu, setelah mencoba beberapa minggu, teman saya bisa juga meloloskan salah satu tulisannya. Bukan cerpen, tetapi esai. Dimuat di koran lokal tak berhonor, sebagai karya pertama di media, ia menganggap inilah sejarah. Saya tentu saja berpikir begitu. Sesepele apa pun pencapaian seorang kerdil di mata orang yang mungkin sudah besar, akan tetap istimewa di mata kami yang masih pemula ini. Sebagai sesama 'kerdil', saya jabat tangannya dan memberi ucapan selamat tiga kali, seperti memanggil Bento atau hantu Bloody Marry atau siapa pun yang minta dipanggil tiga kali guna memunculkan diri.

Teman itu mengajak saya ke kafe seberang kantornya dan berniat menraktir jus buah naga kesukaan saya. Saya bilang itu berlebihan, karena ia sendiri tidak dapat honor. Tapi ia beranggapan ini harus dilakukan sebagai wujud rasa syukur dan bahagia. Saya pun mau. Ketahuilah, kalau dia telanjur senang, susah mengendalikan diri. Ia terus menerus berjingkrak dan berkata, "Nggak nyangka masuk! Sumpah, aku nggak nyangka!"

Di kafe, bersama beberapa teman wanitanya, kami duduk semeja. Lalu teman ini bilang bahwa lelaki yang ia ajak ini memiliki pabrik cerpen di kepalanya. Tiga wanita di depan kami melongo. Bukannya takjub, tetapi menganggap kami orang yang aneh. Saya tidak menjelaskan tentang pabrik itu, sebelum wanita-wanita tadi pergi, sedang teman saya yang telanjur senang memaksa saya memberinya penjelasan. Ia ingin tulisan berupa cerpen juga segera menembus media, bukan cuma esai.

Kira-kira lima menit, saya pun buka mulut. Teman-teman wanitanya tadi sudah pergi. Saya bilang, "Pabrik itu hanya aku sendiri yang tahu bentuk dan wataknya, tetapi menggambarkan cara kerjanya agak susah."

Saya lalu berpikir saat-saat yang datang selalu mendadak. Ide berhamburan di jalan, tahu-tahu tersedot masuk ke kepala saya melalui selang rahasia yang menjuntai dari dalam kuping. Selang itu tidak pernah memberi jeda lebih dari dua detik sehingga saya bisa menggapai dan merasakan terbuat dari apa dia. Tetapi berkat selang aneh itu, ide-ide selalu bertumpuk di pojok belakang kepala saya.

"Bagaimana itu semua kau jadikan cerpen? Dari mana kau dapat gagasan mendirikan pabrik macam itu?" tanya teman ini penasaran.

Yang pertama, saya bilang, cerpen itu terjadi begitu saja tanpa saya rencanakan. Mungkin terdengar aneh dan tidak masuk akal, mengingat sebuah cerita yang bagus harus benar-benar disusun secara matang melalui outline. Benarkah begitu? Saya kira tidak selalu. Kadang-kadang, bagian terbaik dari cerita itu justru muncul secara mendadak, hasil kreasi tangan-tangan gaib di pabrik cerpen yang belum tentu ada ketika saya berusaha keras memikirkan bagaimana sebuah cerita harus beres dengan baik.

Teman saya mulai paham maksudnya. "Mungkin," ia berkata, "kau terlalu sering membuat cerpen. Jadinya cerita-cerita dari pabrikmu selalu sempurna walau ditulis tanpa otak sekalipun?"

Saya tertawa. Ternyata saya salah. Ia tidak sepenuhnya paham. Jus buah naga yang tersaji masih berkurang entah sepertujuh atau seperdelapan; saya belum bisa menikmati jus ini karena teman saya begitu ingin mendapat jawaban sekarang juga.

Sebelum menyahutnya, saya kecap dulu satu hirupan jus di dalam mulut, lalu menjawab, "Tidak! Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kau tahu. Lagi pula tidak semua orang suka jus buah naga, misalnya. Atau tidak semua orang suka makan nasi goreng. Intinya hal-hal di dunia ini tidak mungkin mampu memuaskan segala lapisan manusia. Selalu ada ketidakpuasan, termasuk dari diriku."

Teman saya heran, ketidakpuasan macam apa yang bisa melanda orang yang konon katanya memiliki pabrik cerpen di kepalanya ini?

"Memang benar, cara kerja para pegawai pabrik yang tertata, bertumpuknya ide dari sembarang tempat, serta ketelitian dan kerja keras dalam mengolah cerita bisa menghasilkan sesuatu yang memuaskan, minimal bagi kami yang hidup di pabrik ini. Tetapi itu tidak selalu berhasil. Kadang ada juga produk gagal yang kami rasa tidak layak untuk didistribusikan ke mana pun."

"Jadi tidak selalu yang terbaik bisa kau hasilkan, dan tidak semua hasil produksi bisa disebut tidak berguna?" tanyanya berlagak bingung.

Saya diam memerhatikan wajahnya dan dia tersenyum jenaka. Saya tahu maksudnya. Baru-baru ini ada yang bilang segala hasil produksi pabrik itu tidak berguna. Lalu kami tertawa kecil dan saya menjawab, "Itu hak setiap orang untuk menilai. Bahkan mengatakan tidak berguna, yang artinya lebih buruk dari sampah, bagi saya tak soal. Tetapi satu yang selalu saya tekankan pada seluruh anak buah saya di pabrik ini adalah: kerjakan segalanya dengan hati dan hasilkan yang terbaik menurut ukuran kalian. Tentu saja, bila kelak di luar sana ada yang tidak suka dan mengatakan itu lebih buruk dari sampah--karena bagaimanapun sampah masih bisa berguna lewat pendauran ulang--itu sah saja. Orang bebas berpendapat atau mengkritik atau mencela, selama ia berani melakukannya secara jantan."

Teman ini pun sepakat dan berkata bahwa di setiap ajang pencarian bakat, seperti Indonesian Idol atau X-Factor dan semacamnya, kritik dan celaan adalah hal biasa bagi para kontestan. Para pengkritik melakukan itu secara terang-terangan dan tidak bersembunyi. Saya membayangkan alangkah tidak serunya bila komentar juri di-keep untuk kalangan dalam dan para penonton tidak boleh tahu komentar mereka. 

Tetapi apa pun itu, kata teman saya, para juri ini adalah orang yang kredibel dan bisa mempertanggungjawabkan pendapat mereka, karena mereka sendiri punya kemampuan mumpuni.

Saya tatap teman saya lekat. Ia tertawa dan berkata, "Sorry. Sejujurnya aku juga tersinggung." Spontan saja saya katakan, saya tidak seperti yang kau pikirkan. Saya justru diam dan berpikir untuk membuat lebih banyak karya bagus menurut standar pabrik kami. Mendekam dalam sakit hati akibat tersinggung sungguh membuang waktu berhargamu.

Kami kembali menikmati jus. Selagi memandangi suasana sekitar, saya jawab soal gagasan mendirikan pabrik macam itu. Dulunya tidak ada niat. Ia tahu-tahu berdiri begitu saja setelah saya didatangi Chekov dan Hemingway dalam suatu mimpi. Saya tidak mau membeberkan mimpi langka ini, tetapi teman saya juga tidak memaksa saya bercerita soal itu. Ia beralih ke topik kritik karya. Ia mengaku sedih juga karyanya dibanding-bandingkan dengan karya penulis lain yang dianggap lebih baik.

Saya jawab, "Tidak apa. Masih lebih baik karyamu dibanding-bandingkan dengan karya orang. Yang menyebalkan adalah ketika dirimu pribadi dibanding-bandingkan dengan orang lain dan kau dibilang tidak tulus dalam menulis; itulah yang pernah terjadi padaku."

"Tuduhan menyakitkan," katanya lemah.

Teman ini pun mengaku ia butuh menata mentalnya agar kebal terhadap berbagai omongan. Saya katakan saya sering mendapat itu dan biasanya menganggapnya angin lalu bila nol pencerahan. Sedang kalau masih ada manfaat dari omongan itu, saya akan menampung untuk perbaikan ke depan.

Selesai menikmati jus, kami pun beranjak. Soal pabrik cerpen, teman ini juga ingin punya, khusus di kepalanya.

"Sebenarnya tidak serumit membangun pabrik nyata. Kita tinggal mengatur waktu minimal dua jam per hari. Tak peduli berapa pun hasil usahamu, selama kau mulai bisa menikmati, maka pabrik itu telah ada."

"Kukira, kalau benar begitu kenyataannya, di kepalaku mulai ada pondasinya."

"Tetap jaga sampai berdiri gagah pabrik itu dan selalu pertahankan. Kalau soal kualitas, percayalah, dunia ini tak sempurna. Perbanyak saja bekal menulis dengan membaca. Teknik diasah terus menerus dan kelak yang namanya kualitas itu pasti ada. Sebagai sesama 'kerdil', kita hanya bisa melakukan yang terbaik. Tak peduli segala usaha itu mendapat celaan dari orang-orang tertentu. Bukankah lebih baik terus berkaca dan mengoreksi diri? Kita patut berterima kasih pada para pengkritik dan pencela."

Teman saya mengangguk dan berterima kasih juga pada saya--yang katanya mendadak Mario Teguh. Saya tertawa dan melempar gumpalan tisu kepadanya. Ia setuju, memang tidak semua orang benci jus buah naga ataupun nasi goreng. Tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa tidak ada sama sekali yang suka keduanya. Ini perkara selera. Dan soal isi kepala dan hati orang, serahkan saja pada yang bersangkutan.

Comments

  1. Semoga aku juga bisa ngebangun pabrik kayak gitu ya? Hehehe
    Makasih mas, atas u untaiannya :)

    ReplyDelete
  2. Semoga aku juga bisa ngebangun pabrik kayak gitu ya? Hehehe
    Makasih mas, atas u untaiannya :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri