Skip to main content

Masa Kecilku: Kalau Sudah Besar Jadi Polisi?

Dulu semasa saya kecil, almarhum kakek yang pensiunan polisi selalu berkata pada teman-temannya, "Ini cucuku yang paling ganteng. Kalau sudah besar jadi polisi."
 
Tapi saya tidak ingin jadi polisi.

Tentu saja saya tidak mengatakan itu pada Kakek, karena beliau suka menghibur saya dengan membuat skesta binatang-binatang seperti kuda dan macan, sampai saya menyimpan cita-cita ingin menjadi pelukis suatu hari nanti.

Gambar skesta almarhum Kakek, yang dibuat di berbagai macam kertas seadanya, karena tiap meminta dibuatkan sketsa, saya tidak tahu waktu, suka saya pandangi. Lalu saya tiru gambar-gambar itu sesuai versi saya yang jadinya kelihatan lebih besar dan komikal.

Pada masa itu saya memenangkan beberapa lomba gambar walau belum sekolah. Dan Kakek semakin sering saja berkata pada teman-temannya, "Ini cucuku yang paling ganteng. Kalau sudah besar jadi polisi!"
Saya tidak pernah membayangkan bagian mana enaknya menjadi polisi? Mungkin karena belum pernah melihat langsung polisi berseragam, kecuali foto hitam putih Kakek.

Ketika akhirnya kesempatan melihat polisi berseragam tiba, yakni ketika saya TK, saya malah tidak ingin jadi polisi karena polisi di mata saya menakutkan. Waktu itu saya enggan senam dan jongkok saja, sementara teman-teman lain senam. Seorang guru lalu membujuk saya dan gagal, lantas ia bawa seorang polisi sambil berkata, "Kalau tidak senam, nanti ditangkap lho."

Biarpun begitu, saya masih tidak menyahut 'tidak' saat Kakek kembali bertemu teman-temannya dan berkata, "Ini cucuku yang paling ganteng. Kalau sudah besar jadi polisi!" Respons saya pada saat itu hanya diam dan membayangkan sebuah cita-cita lain yang lebih menyenangkan, yang sudah lumayan lama saya pertimbangkan sejak sebelum masuk TK. yaitu menjadi dokter.

Tentu saja waktu kecil saya pernah sakit. Dibawa Mama ke Rumah Sakit Delta Surya, Sidoarjo, saya bertemu dokter berwajah penuh jerawat namun sabar. Saya lupa namanya. Dokter ini seperti malaikat yang diutus Tuhan untuk menyulap penyakit-penyakit itu menjadi berbungkus cokelat dan permen, yang boleh saya makan seandainya saya sembuh. Sejak itulah saya ingin jadi dokter.

Saya juga ingin jadi penulis buku cerita ketika mulai "tertangkap basah" bisa membaca oleh orangtua, dan dibelikan berbagai bahan bacaan anak. Kakek saya tahu saya suka membaca, tapi masih berharap saya bisa jadi polisi suatu hari nanti, bukan penulis buku.

Kepada teman-temannya, Kakek memang suka membanggakan saya, terutama ketika diajak ke rumah mereka. Saya selalu duduk manis di kursi sementara para pensiunan bicara soal lain yang tidak saya pahami. Keinginan menjadi penulis cerita juga sedikit banyak lahir dari fragmen ketika sepulang dari rumah teman Kakek; kami mampir di dekat warung soto depan Pusdik Porong, dan saya melihat lapak koran di sana menjual berbagai macam buku cerita anak. Dalam pikiran saya, buku itu bagus dan saya harus membaca semua. Begitu keinginan membaca berbagai buku bagus terpenuhi, saya mulai bertanya-tanya, "Bagaimana aku bisa membuat buku?"

Sampai almarhum Kakek tiada, beliau belum melihat terwujudnya satu cita-cita masa kecil sebagai penulis. Beliau juga tidak melihat saya memakai seragam polisi, karena jauh-jauh hari beliau mengerti saya tidak ingin menjadi polisi. Tetapi beliau sempat bangga karena saya pernah terpilih sebagai pasukan pengibar bendera yang gagah dan berseragam. Tentu saja beliau mengatakan, "Ini cucuku yang paling ganteng. Kalau sudah besar jadi orang sukses!"

Betapa, masa kecil sesederhana itu membuat dada ini sesak mengenangnya.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri