Skip to main content

Produktif Bukan Soal Seberapa Banyak Karya Dinikmati

Seorang teman menegur saya ketika ketemu di jalan, "Wah, penulis produktif, ya, sekarang!" Suaranya begitu lantang sampai beberapa orang di halte menoleh dan memandangi saya lamat-lamat. Dengan agak malu, saya menepi ke dekat telepon umum dan menyembunyikan wajah di sana--meski gagal, karena postur saya yang jangkung.

Lalu teman itu menjabat tangan dan saya membalasnya. Ia tanpa basa basi bicara tentang cerpen-cerpen saya yang beberapa kali terbit di koran lokal di tempat tinggalnya. Ia bilang belum baca semua, tapi turut senang karena sekarang saya produktif.

"Itu gimana caranya?" tanyanya setelah dua menit bicara panjang lebar soal cerpen dan produktivitas saya--dalam tanda kutip--akhir-akhir ini.

Dengan semangat dan mengontrol agar volume suara tidak membuat orang sehalte memperhatikan kami lagi, saya pun memberi penjelasan singkat, kultim istilahnya, kuliah tiga menit, berisi tata cara menulis cerpen di media, dan teman itu antusias mendengarkan.

Pada akhirnya, ia minta pin BB saya agar bisa lanjut konsultasi karena katanya dia pengen cari tambahan uang dari menulis. Maklum, kami lama tidak ketemu dan sekarang dia jenuh menghadapi pacarnya yang suka mengomel dan mempertanyakan apa yang bisa dia lakukan sebagai lelaki selain begadang tiada guna seminggu dua kali. Dia berharap, aktivitas menulis akan menolongnya dari ancaman diputus. Saya tersenyum saja. Saya ingatkan juga pastinya bahwa sebelum memulai menulis, lebih baik jangan pikirkan uang dulu, walau itu tidak salah; takutnya nanti kalau tujuan itu sulit dicapai, dia malah frustrasi. Pikirkan apa benar kamu mau menulis? Itu saja dulu. Karena menulis bukan hanya soal uang.

Maka dia pun melompat ke bus dan pergi entah ke mana. Halte agak sepi dan saya bisa duduk. Di dekat situ seorang gadis, mungkin anak kuliahan, memandangi saya malu-malu, sebelum akhirnya bertanya, "Mas Ken, ya?"

Saya kaget. Dua kali di tempat yang sama dalam waktu yang tidak terlalu jauh saya bertemu orang karena menulis. Gadis itu bertanya soal yang beda; katanya ia pernah melihat saya di suatu acara sastra di Surabaya dan waktu itu malu menyapa karena dikira saya galak. Kami bicara lumayan lama dan mungkin kalau di seberang jalan sana ada orang iseng, berpikir kami sedang pacaran. Tentu saja tidak begitu. Kami justru bicara soal buku dan aktivitas masing-masing, yang entah mengalir begitu saja, padahal ketemu juga baru sekali ini. Saya bilang padanya, jangan takut menyapa, karena saya ini bukan drakula. Dia tertawa dan minta maaf sambil tidak henti menahan geli, barangkali. Wajahnya agak merah malu.

"Soalnya sungkan, Mas. Apalagi Mas Ken produktif begitu," katanya setelah gejolak tawa reda.

Saya tersenyum dan menunduk. Mendadak saja saya bilang betapa saya heran dengan ungkapan produktif yang disematkan beberapa teman ke saya sejak cerpen-cerpen saya nyaris secara beruntun dimuat di media cetak sejak medio 2015 lalu.

"Kok...?" sela gadis itu.

"Ya, karena sebenarnya sejak 2014 lalu saya sudah mulai membiasakan diri menulis setiap hari. Berhubung ketika itu hanya sedikit yang terbit dan lebih sering memenangi beberapa perlombaan ketimbang mengirim ke media cetak, saya tidak dibilang seproduktif hari ini."

Gadis itu masih bingung. Saya lanjutkan pendapat saya tentang ini; bahwa bagaimana seseorang bisa disebut produktif itu bukan dari seberapa sering tulisannya bernasib baik dan dipublish, tetapi soal seberapa banyak yang ia buat walau tidak satu pun terbaca orang. Diakui atau tidak, orang seperti ini banyak. Tidak hanya di bidang menulis, bahkan contoh lain, di bidang musik. 

Di Jakarta, kata saya lagi--gadis itu mulai paham dan mengangguk lemah--saya kenal seorang musisi gagal dengan puluhan kaset hasil rekamannya sendiri. Label-label major menolaknya dan sampai hari ini baru segelintir orang yang mendengar beberapa lagu ciptaannya dari sekian puluh lagu yang sudah ia rekam. Hasilnya? Ia tidak disebut produktif, padahal kali itu kami dan rekan-rekan anak band angkat topi atas kreativitas, juga produktivitasnya.

Gadis itu menyatakan setuju pada saya. Entah mungkin ada yang tidak setuju dengan pendapat ini, tetapi saya mengimani bahwa sebenarnya di luar sana mungkin ada manusia-manusia hebat yang produktif, hanya saja belum mendapat kesempatan untuk publikasi hasil kerja kerasnya--hingga disebut tidak produktif. 

Kami pun berpisah setelah Chelsea menelepon saya dan bertanya di mana saja saya, kok lama, apa ngobrol dengan cewek cantik di halte?

Daripada mengambil risiko, saya sudahi saja. Saya dan gadis itu bertukar pin BB, sebagaimana yang saya lakukan dengan teman lama di awal tadi--dengan tujuan yang juga sama. Dan sesudah itu, bus membawa saya ke tempat yang jauh dari WC umum. Di dekat halte itu ada WC umum. Saya lupa menyebut di awal.

Demikianlah pada suatu hari di sebuah halte.

Comments

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri