Skip to main content

Posts

Showing posts with the label catatan

Menulis Membuatmu "Kaya"

Suatu hari, beberapa tahun silam, di dompet saya hanya ada beberapa ribu rupiah. Saya belum lama keluar dari pekerjaan yang sebetulnya enak, karena gajinya besar. Pada saat itu untuk lulusan SMA, gaji sebesar itu hampir mustahil didapat. Tapi karena tidak bahagia, saya memutuskan berhenti. Suatu hari itu, kejadiannya tidak jauh dari sekolah SMP saya. Karena belum dapat pekerjaan baru, saya mencari informasi lowongan kerja di warnet. Tidak tahu kenapa, mengingat kondisi dompet saya yang makin memprihatinkan, sementara uang tabungan tidak mungkin saya pakai terus-terusan, saya tiba-tiba berpikir ingin mencari tambahan uang dengan cara lain. Yang pertama melintas di pikiran: saya harus menulis. Ketika itu saya sadar, bahwa memang uang yang saya bayangkan tidak bisa langsung didapat. Menulis adalah menabung. Uang hasil jerih payah baru bisa dinikmati setelah menjalani proses panjang. Saya sudah tahu itu, meski belum benar-benar terjun ke dunia literasi. Siang itu, saya putuskan saya terju

Menulis Memang Harus Konsisten, Tapi ...

Menulis memang harus konsisten. Rasa malas memang harus dilawan. Namun, jika kita tidak sanggup, sebaiknya jangan dipaksa. Ada saatnya kita merasa kitalah ruh dari sebuah tulisan sehingga apa pun yang terjadi di sekitar kita, menulis jadi tidak terasa. Seperti mesin yang bekerja tak kenal lelah, kita terus dan terus menulis. Namun ada saatnya juga kita ditolak mentah-mentah oleh tulisan yang akan kita garap, sehingga bahkan separagraf pun terasa berat. Mau jadi ruh tidak bisa. Jangankan ruh, jadi kulit si tulisan saja tidak diizinkan. Maka, menulislah sesuai kemampuan. Memang harus dipaksa tubuh dan jiwa agar bangun dari rasa malas, tetapi jika semangat sudah ada lalu otak tidak mendukung secara maksimal, sebaiknya break dulu beberapa jam, atau mungkin sehari dua hari. Baca-baca buku yang kita sukai atau jalan ke tempat menyenangkan atau lakukan apa pun yang membuat otak rileks. Saya sendiri, meski bisa menulis 4-5 cerita per hari, ada saatnya tidak sanggup menulis sama sekali. Bila s

Buka Bersama Setelah Tiga Tahun Vakum

Acara buka bersama yang sejak sebulan lalu dirancang oleh teman-teman SMA di grup WA terlaksana juga hari ini. Walaupun sempat muter-muter dan tersesat di Perumahan Mutiara Citra Asri, Tanggulangin (padahal sudah bertanya ke seorang warga dan satpam), saya termasuk peserta yang tidak terlambat, sekalipun tiba sekitar lima belas menit sebelum bedug maghrib. Ya, memang tidak banyak yang hadir. Tapi belasan orang berkumpul setelah tiga tahun berturut-turut tidak ada acara buka bersama, cukup menggembirakan dan patut disyukuri. Tadinya saya berharap semua teman bisa hadir, tapi agaknya mustahil. Kesibukan membuat jarak beberapa dari kami kian jauh dan entah bagaimana bisa memenggal jarak itu dan mengembalikan seperti pada masa SMA dulu.

Lima Tahun Mengubah Banyak Hal

Kira-kira seminggu yang lalu saya membuat janji bertemu dengan seorang teman lama yang dulu saya kenal di Jakarta. Jam sembilan pagi, setelah mengurus perpanjangan SIM (Surat Izin Mengemudi) di Bangil, saya langsung bertolak ke Malang. Sudah sejak tahun 2012 lalu (kalau tidak salah), saya berjanji suatu hari akan mampir ke Malang jika sempat. Dan tentu, sejak 2012 hingga medio 2016 ini sudah tak terhitung lagi seberapa sering saya ke Malang. Hanya saja, saya tidak pernah sempat datang ke tempat kost teman saya yang satu ini. Dia bernama Yusuf. Asli Lamongan dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Brawijaya, Malang. Saya biasa memanggilnya Ucup. Kami berkenalan di Jakarta pada medio 2010, ketika saya masih menggeluti dunia akting. Sebagai artis pemula yang masih mendapat peran kecil-kecilan, tentu saja waktu itu duit saya juga belum banyak. Hahaha. Ketika itu Yusuf menjadi figuran dan merasa nasibnya tidak jelas. Suatu hari, akhir tahun 2010, ia mengajak saya mencari peke

Masa Kecilku: Gara-Gara Buku Kumpulan "Kliping" Cerpen

Kalau tidak salah, dua puluh tahun lalu, ketika masih berumur 5 tahun, pada suatu sore saya menemukan sebuah buku tulis yang di dalamnya berisi kumpulan cerpen koran yang dikliping dengan sangat rapi dan telaten di meja belajar kakak saya. Katanya buku itu milik sepupu kami dan ia sengaja "mewariskannya" ke kakak. Buku kumpulan cerpen "legendaris" itu. Cerpen ini jadi salah satu favorit saya. Saya yang suka membaca pun amat senang mendapati ada buku cerita semacam ini di rumah, karena sebenarnya pada saat itu belum satu pun buku cerita saya miliki. Paling hanya buku bergambar dan saya sudah bosan dengan buku cerita bergambar. Maka saya membaca cerpen-cerpen di buku ini seperti memainkan mainan baru; susah berpisah. Meski beberapa cerita di dalamnya agak membingungkan, karena beberapa kata belum saya pahami artinya, saya baca saja setiap cerita sampai habis.

Sebuah Akhir: Saya Ingin Pergi Sejauh Mungkin ke Luar Angkasa untuk Melupakanmu

Saya sudah mencoba lari mencari pintu lain, tapi tetap saja ujung-ujungnya kamu yang berdiri di sana. Kamu tidak menoleh pada saya, juga tidak menoleh pada siapa-siapa. Hanya memandang bayangan yang hilang ditelan gelapnya hari. Setiap hari saya dan kamu seakan diselimuti malam. Saya dan kamu serba tidak pasti. Di pintu itu kadang-kadang kamu adalah batu, tetapi di lain waktu kamu berubah jadi salju. 

Bersyukur dengan Diriku Hari Ini

Tahun 2016 hampir separuhnya kujalani. Bagiku separuh ini cukup banyak memberiku kejutan dan perubahan. Bagaimanapun, semua ini tak mungkin terjadi jika dulu pada suatu siang aku tak memutuskan menulis sesuatu dan berharap kelak, dengan menulis, aku bisa dikenal orang dan memberi manfaat pada sesama.

Menilai Sesuatu Jangan dari Kulitnya Saja

Tetangga saya itu orang kaya. Punya rumah dan mobil bagus. Pernah naik haji juga. Dulunya berasal dari keluarga tidak mampu. Setelah sukses dan menjadi kaya, penampilannya tetap sederhana. Bahkan sangat sederhana. Suatu hari ketika menjelang lebaran dan pergi ke mini market hendak membeli buah, oleh tiga orang pegawai, tetangga saya didatangi dan diberitahu, "Yang itu mahal lho, Bu." Ia hanya mengangguk.

Kau Hantu... Tahu Apa Soal Asmara?

Pada suatu malam seorang lelaki berbaring lesu di dekat meja kerjanya. Di sana terdapat sebuah kasur lipat. Dengan laptop yang belum tertutup, lelaki itu berbaring begitu saja dan meninggalkan pekerjaannya. Seekor hantu datang dan menggoda, tapi si lelaki tidak peduli. Seharusnya kamu takut, kata si hantu. Tapi si lelaki itu seakan tidak sadar kalau yang mengajak ngobrol dirinya adalah hantu. Sebaiknya Anda pergi, kata si lelaki tiba-tiba, sebab dada saya sakit dan Anda justru menambah kesakitannya dengan banyak omong. Hantu bertampang sangar itu pun memperhatikan si lelaki. Tidak ada yang tidak beres di tubuhnya, begitu ia pikir. Ia amati dada si lelaki; terlihat normal dan tak ada darah atau apa pun yang sekiranya membuat bagian itu sakit. Wajah si lelaki juga tampak segar, bukan berwajah kuyu ala penderita penyakit organ dalam.

Jika Kau Menyakiti Hati Penulis...

Ada yang bilang, "Jika kau menyakiti hati seorang penulis, maka hati-hatilah. Kau akan diabadikannya sebagai sosok yang buruk dalam ceritanya." Saya tidak setuju dengan peringatan itu, walau barangkali ada penulis yang begitu. Tapi semua tergantung pribadi penulis yang mengalami.   Seandainya hati saya disakiti, siapa pun dia tidak saya abadikan dalam sosok buruk di cerita setengah fiktif. Lebih sering malah tidak saya tulis dalam bentuk apa pun. Kalaupun memang perlu suatu saat saya menulis tentang orang ini, saya lebih suka menuliskannya sebagai sesuatu yang baik.

Tidak Ada Masa Depan Tanpa Masa Lalu

Apa pun yang ada hari ini kita jalani dengan upaya terbaik. Saya tidak bisa melupakan kalimat luar biasa di salah satu novel yang baru-baru ini saya baca, yang berbunyi kira-kira begini: "Kau tidak akan memiliki masa depan jika tidak punya masa lalu." Maksud kalimat itu adalah: kelak kau tidak akan menjadi apa-apa, atau kelak kau akan jatuh dalam penyesalan, jika hari ini kau tak menggenggam dan memanfaatkan waktu yang Tuhan berikan untukmu dengan sebaik mungkin. Hari ini adalah masa lalu di masa mendatang. Hari ini adalah penentu siapa kita suatu hari nanti. Kau tidak akan memiliki masa depan, jika hari ini memilih kalah/menyerah.

Menyiasati Teror Hantu Jadi Cerita

Beberapa minggu belakangan ini saya sedikit menulis cerpen, karena harus mengurus beberapa hal penting lain. Meski begitu, tetap cerpen tidak bisa saya tinggalkan. Jadi sesibuk apa pun saya sempatkan menulis cerpen di waktu senggang. Membuka folder di email, saya sadari cerpen-cerpen saya belakangan berkaitan dengan hantu. Cerpen beride dasar apa pun, selalu membawa-bawa hantu. Suatu malam sengaja saya duduk di tempat yang katanya penuh hantu. Saya menulis tentang hantu di sana dan hasilnya lumayan lucu. Di waktu lain saya sedang kelaparan dan menulis tentang hantu, lalu hasilnya lumayan tragis. Hantu-hantu itu sengaja saya buat senatural mungkin. Jika kita pernah dengar hantu berbau tidak enak, maka saya sebut dalam suatu cerita kalau hantu itu berbau ikan busuk.

Garis Takdir: Jatuh Cinta Tidak Punya Rumus

Takdir setiap manusia itu garis. Satu garis bertumpukan dengan garis lain berarti satu pertemuan. Garis ketiga datang, tiga tumpuk garis. Garis keempat datang, empat tumpuk. Dan seterusnya. Pertemuan dan perpisahan membawa garis-garis kita ke sana kemari, menyatu dan menjauh dari garis-garis tertentu untuk menuju ke garis-garis berikutnya. Percintaan pun ada dalam garis-garis ini. 

Cinta Tak Pandang Bulu

Suatu hari di warung langgananku, aku duduk dan memesan makanan seperti biasa. Di samping kiriku ada seorang kakek sedang makan. Beliau seorang tunanetra dan didampingi istrinya. Keduanya makan mie rebus. Aku tidak pernah melihat sepasang suami istri tua ini, tetapi mereka membawa gumpalan kain, yang kuduga berisi pakaian. Mungkin mereka berkelana ke tempat yang jauh dari kampung, dan jelas mereka bukan pengemis, karena mereka tidak meminta-minta di beberapa bangunan dekat warung setelah pergi meninggalkan warung itu.   Ketika kakek itu makan, dan istrinya dengan sabar mengambilkan tisu serta mengusapi bibir si suami, hatiku mendadak pedih. Seperti seseorang menghantam hatiku dengan batu berkali-kali, dan hatiku menjadi bengkak karenanya. Kakek itu makan dengan lahap, (maaf) seperti orang yang tidak makan beberapa waktu lamanya. Di meja sisi kanan dan kirinya tumpahan kuah mie rebus itu terlihat jelas oleh mataku dan aku semakin pedih justru ketika si nenek semakin semangat membersi

(Nyaris) Tak Ada Metromini Sore Itu

Seorang bapak-bapak bertanya padaku ke mana arahku pulang, karena tampaknya para sopir metromini berdemo hari itu dan kami yang tinggal jauh dari Jakarta Barat bakal susah menemukan kendaraan. Kujawab, "Jakarta Selatan, Pak." Ini terjadi tahun 2011. Waktu itu aku pasrah. Seandainya memang tidak bisa pulang, aku bisa tidur di masjid dekat kantor. Semalam saja tak soal, karena toh baju kerja bisa kulipat dengan rapi dan kusimpan di tas. Aku tidak bisa membayar taksi karena uang di dompet sedang tipis. Tabunganku ada di koper, di kontrakan, di Jakarta Selatan. Aku benar-benar tidak membawa uang selain yang di dompet. Seandainya aku menginap malam itu di masjid dekat kantor, untuk makan besok dan ongkos pulang besok sorenya, aku bisa pinjam teman.

Dalam Segala yang Lucu, Tersimpan Banyak Hal Serius

Hidup ini lucu, tapi kamu harus bersyukur. Bayangkan, kau jatuh dan mencoba bangkit dan mendekatkan diri pada-Nya. Lalu Tuhan mengirim kado untukmu pada suatu malam ketika kau berharap ada sesuatu yang membuatmu lebih memiliki tujuan jelas dalam hidup. Kado itu tahu-tahu jatuh menimpa genteng rumahmu dan menjebol atap kamarmu, membuatmu berpikir barangkali seseorang menjatuhkan sesuatu dari pesawat. Kepalamu yang pusing meyakini itu, tapi tidak ada orang membuang sampah dari jendela pesawat, karena pesawat bukan metromini. 

Meninggalkan Hobi = Dosa Berat

Kalau saya hari ini dipertemukan dengan saya sepuluh tahun yang lalu, dan keduanya membawa gitar, lalu disuruh memainkan melodi lagu tertentu, bisa dipastikan saya yang hari ini jauh lebih payah. Pasalnya sudah bertahun-tahun saya berhenti memainkan gitar. Benar-benar berhenti, meski bukan karena benci atau niat berhenti, tetapi tidak sempat. Jika dulu waktu luang sehabis sekolah dan mengerjakan PR saya habiskan dengan main Playstation atau gitar atau main bola di luar, maka tahun-tahun terakhir gitar menempati urutan terbawah daftar hobi penghilang penat setelah saya menekuni dunia literasi. Kalau ditulis dalam angka, mungkin hobi main gitar dapat nilai nol koma nol-nol sekian. Nol di belakang koma barangkali ada tujuh belas, saking parahnya.

Kita Tidak Hidup Selama 2 Jam!

Tahun 2016 ini tahun paling berbeda bagi saya. Kalau melihat ke belakang, ke beberapa tahun silam sebelum saya menekuni dunia literasi, lalu mulai mengenalnya, menseriusinya, memperjuangkan agar tulisan saya dibaca orang, dan melalui semua proses itu, dari tahun ke tahun rasanya selalu saja ada perubahan. Sedikit demi sedikit memang, tidak instan, karena bahkan mendaki gunung pun tidak bisa sambil berlari. Sementara puncak mimpi lebih terjal dari gunung. Saya ingat perubahan yang 'sedikit demi sedikit' ini sudah saya yakini sejak awal dan selalu saya pegang. Itulah kenapa jika saya jenuh dalam menulis, saya tidak membenci kegiatan ini (apalagi sampai putus asa dan berhenti menulis), tetapi istirahat dulu entah dengan cara apa selama satu atau dua hari, lalu bersambung menulis kembali. Itu saya lakukan bertahun-tahun.

Masa Kecilku: Pendek, Bukan Pendekar

Ada teman bermain dari dusun sebelah yang dulu waktu kecil dipanggil Pendek (cara pengucapannya sama seperti saat kita menyebut kata 'pendekar', hanya saja tanpa huruf 'a' dan 'r'). Tidak tahu kenapa ia disebut Pendek. Yang jelas ia tidak bertubuh pendek, sebab waktu itu anak kecil yang paling kelihatan tua adalah si Pendek ini. Umurnya dua atau tiga tahun di atas saya dan badannya hitam besar. Saya hampir tidak pernah membuat masalah dengannya, begitupun sebaliknya, karena Pendek ini tidak pernah berlagak sok. Orangnya santai, meski kalau berkelahi kemungkinan besar pasti menang, karena ketika itu belum ada bocah berbadan sekekar dia. Pendek suka bermain layang-layang di sawah dan sesekali sepak bola. Saya sering meledeknya dengan maksud bercanda, dan ledekan itu juga tidak berlebihan. Semacam ledekan pertemanan. Pendek tidak pernah membalas selain melihat mata saya beberapa detik, seperti seorang lelaki tua menatap cucunya.

Pertanyaan tentang Orisinalitas yang Menyakitkan

Beberapa hari yang lalu ketika beberapa tulisan saya dimuat di beberapa media berbeda dalam sehari (dan tentu saja tulisan-tulisan tersebut juga berbeda), seseorang yang entah siapa mempertanyakan orisinalitas semua karya saya. Ya, semua, bukan hanya sebiji dua biji. Saya buka akun tersebut; tidak jelas pemiliknya siapa. Namun segera saya tanggapi dengan santai, bahwa: tentu tulisan saya orisinal. Jika dia ingin baca, saya sodorkan alamat blog saya (sekalian promosi, hehe), d an bacalah sebanyak yang ia sanggup, semua postingan yang saya buat di blog tersebut sejak tahun 2013 silam. Paling mendominasi cerita pendek dan resensi buku. Barangkali dengan membaca semuanya, pemilik akun misterius ini menemukan jawaban.