Skip to main content

Masa Kecilku: Gara-Gara Buku Kumpulan "Kliping" Cerpen

Kalau tidak salah, dua puluh tahun lalu, ketika masih berumur 5 tahun, pada suatu sore saya menemukan sebuah buku tulis yang di dalamnya berisi kumpulan cerpen koran yang dikliping dengan sangat rapi dan telaten di meja belajar kakak saya. Katanya buku itu milik sepupu kami dan ia sengaja "mewariskannya" ke kakak.
Buku kumpulan cerpen "legendaris" itu. Cerpen ini jadi salah satu favorit saya.

Saya yang suka membaca pun amat senang mendapati ada buku cerita semacam ini di rumah, karena sebenarnya pada saat itu belum satu pun buku cerita saya miliki. Paling hanya buku bergambar dan saya sudah bosan dengan buku cerita bergambar. Maka saya membaca cerpen-cerpen di buku ini seperti memainkan mainan baru; susah berpisah. Meski beberapa cerita di dalamnya agak membingungkan, karena beberapa kata belum saya pahami artinya, saya baca saja setiap cerita sampai habis.

Saya ingat hari penemuan buku ini, yakni pada suatu sore ketika kakek saya yang di luar kota berkunjung ke rumah. Seharian itu saya merengek minta diajak Mama ke Kebun Binatang Surabaya, namun karena tidak dituruti, saya merasa sebal. Setelah menemukan buku ini pada sore bersejarah itu, saya jadi agak tenang. Sebelumnya saya merengek tiap lima menit sekali untuk diajak ke Kebun Binatang Surabaya. Setelah memegang buku cerpen ini, rengekan itu berubah jadi lima belas menit sekali.
Cerpen kuda nil ini membuat saya teringat akan kenakalan yang ketika itu sering saya lakukan.

Masih terang di ingatan saya ketika Kakek yang dari luar kota mendengar saya merengek sambil membuka-buka halaman buku ini. Waktu itu beliau duduk di ruang tamu dan saya duduk di lantai dekat pintu masuk. Beliau segera memberi saya uang sepuluh ribu bergambar Candi Borobudur untuk bekal kalau besok atau kapan pun itu kami benar-benar pergi ke Kebun Binatang Surabaya.

Tentu saja sore itu kami tidak ke sana, karena memang hari sudah gelap. Tapi saya sudah tidak peduli lagi pada kebun binatang setelah memegang buku ini beberapa lama. Buku ini kemungkinan sudah ada di meja belajar kakak saya selama beberapa tahun, namun belum pernah saya sadari. Ketika saya temukan di tumpukan buku lain milik Kakak (karena saya suka menjelajahi sudut-sudut rumah), buku ini menjadi penyelamat.
Cerpen ini juga termasuk favorit saya.

Saya sadar mimpi menjadi penulis cikal bakalnya adalah dari membaca buku ini. Waktu itu saya berpikir nama-nama yang tertera di bawah judul itu nama siapa? Orang mana? Kok bisa menulis cerita sebagus ini? Dan semacamnya.

Anak kecil memang suka bertanya-tanya. Dan pertanyaan saya tidak berhenti sampai di situ. Saya membayangkan bagaimana kalau nama itu namaku? Bagaimana caranya? Saya tahu di rumah Kakek rutin membaca koran dan semua orang di seluruh dunia sepertinya juga rutin membaca koran. Maka saya bayangkan kalau nama saya ada di sana, pasti terlihat keren.
Ketika itu saya berpikir, ingin menulis cerita "sehebat" detektif cilik ini ketika saya sudah dewasa kelak.
Cerpen "Sandal Butut" menempati urutan teratas yang saya favoritkan, dan tentu saja paling sering saya baca.

Itu hanya pikiran sepintas, tentu saja. Sebagai anak kecil, saya sering lupa pada hal ini, meski bertahun setelah hari penemuan buku cerpen ini, saya selalu berharap suatu hari karya tulis saya dibaca banyak orang.

Satu hal yang sampai hari ini membuat saya bahagia dan merasa Tuhan sangat baik kepada saya adalah: menemukan benang merah yang tak masuk akal dalam kisah ini.

Salah satu cerpen dalam buku ini (sengaja tidak saya sertakan di antara kelima foto di atas) membuat saya mengerutkan kening. Judulnya aneh dan ilustrasinya tampak sangat mengerikan (bagi saya ketika itu,orang berkumis lebat mengerikan). Saya baca nama penulisnya juga aneh. Tetapi saya ingat nama beliau, sebab namanya lumayan berbeda dengan nama orang kebanyakan. Pada saat itu saya pikir selamanya nama aneh beliau membuat kami berjarak dan tak mungkin bersua di masa depan. Tapi saya ingin menjadi seperti beliau suatu hari nanti.

Begitulah hal ini saya yakini. Waktu itu saya 5 tahun. Saya memang masih ingat nama beliau, sekalipun cerpen "aneh" karyanya itu sudah hilang di ingatan saya beberapa tahun kemudian. Ketika akhirnya saya menemukan jalan menjadi penulis, suatu ketika saya kaget membaca profil salah satu penulis di sebuah antologi puisi (terbit pada tahun 2013), yang mana puisi saya turut meramaikan. Nama "aneh" itu ternyata ada di sana. Nama yang dulu pernah membuat lidah saya keseleo karena saking sulit melafalkannya. Nama yang pernah saya harapkan dapat menularkan "nasib baik" berupa tulisan dibaca banyak orang kepada saya.

Tujuh belas tahun setelah mimpi pertama saya mulai diteguhkan dalam kepala dan dada, Tuhan menunjukkan kuasa-Nya. Seakan bilang, "Ini lho nama aneh yang dulu kamu omongin dalam hati!"

Saya merasa cukup aneh karena di antara sekian banyak nama, kenapa nama beliau yang menarik perhatian? Dan kenapa pula akhirnya tulisan kami dicetak dalam satu judul buku?

Tentu saja saya tidak menyebut siapa beliau di sini, karena beliau senior yang baik dan saya sungkan. Tapi saya yakin beliau tahu status ini saya tulis untuknya. Belum lama setelah awal-awal cerpen saya "menyerang" rubrik sastra di beberapa media hampir tiap minggu, beliau menginbox saya secara pribadi dan hangat. Isinya pengucapan selamat dan memberikan semangat agar saya tak berhenti serta sehat selalu.

Seandainya saya tak menemukan buku cerpen warisan sepupu saya ini, juga tak pernah berangan kelak jadi penulis, barangkali segalanya akan berbeda. Dan mungkin saya tak akan pernah tahu bahwa pemilik nama "aneh" yang hebat itu ternyata orangnya bersahaja.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri