Skip to main content

Lima Tahun Mengubah Banyak Hal

Kira-kira seminggu yang lalu saya membuat janji bertemu dengan seorang teman lama yang dulu saya kenal di Jakarta. Jam sembilan pagi, setelah mengurus perpanjangan SIM (Surat Izin Mengemudi) di Bangil, saya langsung bertolak ke Malang.

Sudah sejak tahun 2012 lalu (kalau tidak salah), saya berjanji suatu hari akan mampir ke Malang jika sempat. Dan tentu, sejak 2012 hingga medio 2016 ini sudah tak terhitung lagi seberapa sering saya ke Malang. Hanya saja, saya tidak pernah sempat datang ke tempat kost teman saya yang satu ini.

Dia bernama Yusuf. Asli Lamongan dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Brawijaya, Malang. Saya biasa memanggilnya Ucup. Kami berkenalan di Jakarta pada medio 2010, ketika saya masih menggeluti dunia akting. Sebagai artis pemula yang masih mendapat peran kecil-kecilan, tentu saja waktu itu duit saya juga belum banyak. Hahaha. Ketika itu Yusuf menjadi figuran dan merasa nasibnya tidak jelas. Suatu hari, akhir tahun 2010, ia mengajak saya mencari pekerjaan.
Mencari pekerjaan di Jakarta gampang-gampang susah. Saya ingat betapa Yusuf dan saya waktu itu serius ingin bekerja di Pizza Hut. Kami mengikuti proses interview, yang lumayan seru, namun akhirnya tidak diterima.

Yusuf tidak menyerah. Ia yakin kami bakal dapat kerja, dengan terus mencari informasi apa pun yang kiranya bisa memberi kami pekerjaan yang bagus. Akhirnya, suatu bursa kerja dibuka di Salemba. Kami datang bersama seorang teman lain, yang bernama Hendra, asli Bandung.

Saya dan Hendra dapat panggilan dari perusahaan yang lumayan bergengsi, tetapi Ucup, satu-satunya yang tekun mencari informasi lowongan kerja, justru belum berhasil. Waktu pun berjalan dan beberapa bulan kemudian saya memutuskan resign dari pekerjaan saya yang bergaji besar itu. Ketika itu gaji saya sudah melebihi UMR, berkat kemampuan saya. Untuk ukuran lulusan SMA, itu adalah sesuatu yang lumayan membanggakan. Tapi saya tidak bahagia dan memutuskan berhenti.

Ucup dapat kerja di sebuah dealer mobil Toyota. Saya tidak tahu ia bertahan berapa lama, tapi suatu hari, di tahun 2011, ia memberi kabar bahwa ia sudah tidak di Jakarta. Saya kira ia pulang ke kampungnya di Lamongan dan melanjutkan hidup di sana. Tapi ia bilang, "Aku kuliah di Brawijaya."

Sejak hari itu, saya membayangkan kapan-kapan kami bisa reunian. Dan mengenang masa tidak enak waktu di Jakarta menjadi penggiat dunia entertain yang serba tidak jelas.

Hanya saja, waktu bergulir, tak terasa beberapa kali lebaran, kami tak juga "jadi" bertemu. Hanya janji dan janji yang tak tertepati.

Bersama Ucup, perjalanan awal menulis saya lakukan ketika kami masih di Jakarta dulu. Waktu itu tahun 2010 dan saya mulai menggarap draft awal novel pertama. Itu benar- benar langkah awal yang saya ambil demi mimpi menjadi penulis. Tentu saja ketika itu saya belum tahu cara mengirim tulisan ke penerbit atau media massa. Saya benar-benar masih buta dunia literasi.

Sampai akhirnya tahun 2012 saya kenal dan paham seluk beluk dunia ini, saya dan Ucup sudah tidak bertemu selama satu tahun. Waktu menggelinding bagai bola salju dan kami sadar kami semakin tua dengan bertambahnya angka usia. Perjalanan menulis saya mulai membuahkan hasil. Dan, saya masih juga belum tahu, setua apa wajah Ucup saat itu?

Entah pikiran apa yang akhirnya mendatangi saya sebelum puasa Ramadhan tahun 2016 ini. Saya pikir sudah lima tahun lebih kami tidak bertemu dan saya penasaran ingin tahu perjuangannya meraih mimpi. Dulu kami sama-sama pemimpi sejati yang ingin mencapai banyak hal dan meraih banyak tujuan. Saya ingin mendengar ia bercerita pencapaian apa saja yang sudah ia dapat.

Bertepatan dengan tanggal ulang tahun saya yang ke-25, tepatnya 21 Juni 2016 lalu, kami jadi bertemu setelah beberapa kali menunda selama lima tahun belakangan. Tempat pertemuan saya yang tentukan. Di Malang Town Square, di toko buku Gramedia, karena dulu saya dan Ucup pernah bertekad ingin menjadi penulis best seller.

Sekitar jam 11 saya sampai di lokasi dan menunggu kurang lebih satu jam di dalam toko buku, sampai akhirnya saya melihat Ucup berdiri dengan wajah sendunya di depan pintu masuk. Saya tertawa dari jauh dan menunjuk mukanya; ia benar-benar terlihat seperti orang berumur 40-an ke atas. Saya ke kasir sambil berpikir, "Alangkah tua kau, Cup!" Setelah membayar buku yang menarik hati saya, saya salami dia dan kami pergi keluar untuk mencari masjid.

Saya katakan pendapat saya tentang Ucup yang kelihatan jauh lebih tua ini ketika kami melintasi food court yang penuh dengan muda-mudi. Kami tentu berpuasa dan dengan kesengajaan melewati tempat penuh makanan dan orang makan itu, kesannya kami seakan juga ingin cari makan, namun gengsi.

Saya dan Ucup tertawa-tawa sepanjang jalur food court yang ditutup tirai demi tirai di tiap lorongnya itu. Ketika akhirnya kami sampai di masjid, Ucup bertanya apakah benar ia terlihat setua itu? Saya tertawa dan mengiyakan. Dengan agak ragu, ia membalas ucapan saya, "Kau juga lebih tua. Semua juga lebih tua, karena kita lama tidak ketemu."

Saya sela ucapan dia, "Lima tahun, lho!"

Untuk sesaat, Ucup tertegun. Barangkali ia berpikir, alangkah tak terasa lima tahun sudah lewat.

Selesai wudhu, kami salat. Dan sesudah salat, tentu saja kami ke teras untuk mengobrol panjang lebar. Apa yang kami obrolkan saya rasa tidak perlu terlalu saya ungkap di sini, karena itu tidak terlalu penting bagi pembaca. Tetapi satu hal yang menarik, Ucup yang ini seakan beda dengan Ucup yang dahulu kala saya kenal.

Ucup seakan bermetamorfosis menjadi semacam orang yang paham kehidupan ini hanya sesuatu hal yang tak berarti. Ia agak religius dan saya dibuatnya menahan tawa beberapa menit. Ia berkata, "Mau tidak mau, kita semua juga akan menua. Umur kita sekarang ini, sudah saatnya membuat kita berpikir hal-hal yang lebih konkret."

Untuk ucapan itu, saya jelas setuju. Lalu ia bertanya target menikah saya kapan. Saya jawab pertanyaan itu dengan jujur dan lancar. Lalu saya balik bertanya pertanyaan yang sama. Ia jawab, "Aku nikah umur 30-an ke atas saja. Untuk saat ini aku masih ini bertualang ke sana kemari mencari makna hidup."

Tentu tidak sepersis ini kalimat yang Ucup lontarkan, tetapi kira-kira bunyinya seperti itu. Kami pun sama-sama mengangguk dan sepakat jika target itu hanyalah rencana manusia, dan pada akhirnya Allah-lah yang menentukan ending setiap hamba-Nya.

Kami juga membahas beberapa hal soal buku dan penerbitan. Ucup mengaku tidak lagi berhasrat menulis fiksi seperti dulu, karena sekarang fokus pada skripsinya tentang hiu martil. Kami tak luput membahas kekonyolan di area syuting ketika masih di Jakarta dulu dan bagaimana kami berjalan kaki begitu jauh demi menemukan lokasi syuting.

Karena ada janji lain, saya tidak bisa lama-lama mengobrol dengan Ucup. Maka saya katakan kalau ada waktu lagi, saya akan berkunjung dan saya juga mengajak beberapa teman saya agar suasananya lebih ramai. Nanti kami bisa membahas rencana-rencana yang mungkin saja terdengar lumayan luar biasa. Semoga itu terjadi.

Kami pun ke tempat parkir motor dan Ucup, yang berjalan kaki dari tempat kostnya, saya antar ke depan kampus. Sewaktu menyerahkan helm kepada saya, sejenak saya tersentak. Wajah Ucup bertambah tua beberapa tahun dari pertama saya lihat tadi, di depan pintu masuk Gramedia Malang Town Square.

Siang hari itu saya berpikir, waktu tidak kenal kompromi. Bahkan, Ucup yang dulu lebih muda dari saya, kini terlihat lebih tua. Seorang teman lain, teman kami juga, yang hingga kini masih di Jakarta dan bekerja di salah satu kantor provider ternama, setelah saya kabari kalau saya dan Ucup barusan kopi darat, berkata, "Ya, wajar. Dia terlalu banyak pikiran."

Diam-diam saya bersyukur. Sepelik apa pun hidup saya, dengan menulis, kepelikan itu serasa bukan apa-apa. Memang benar apa kata orang, betapa menulis membuatmu awet muda. Hehehe.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri