Suatu hari, beberapa tahun silam, di dompet saya hanya ada beberapa ribu rupiah. Saya belum lama keluar dari pekerjaan yang sebetulnya enak, karena gajinya besar. Pada saat itu untuk lulusan SMA, gaji sebesar itu hampir mustahil didapat. Tapi karena tidak bahagia, saya memutuskan berhenti. Suatu hari itu, kejadiannya tidak jauh dari sekolah SMP saya. Karena belum dapat pekerjaan baru, saya mencari informasi lowongan kerja di warnet. Tidak tahu kenapa, mengingat kondisi dompet saya yang makin memprihatinkan, sementara uang tabungan tidak mungkin saya pakai terus-terusan, saya tiba-tiba berpikir ingin mencari tambahan uang dengan cara lain. Yang pertama melintas di pikiran: saya harus menulis.
Ketika itu saya sadar, bahwa memang uang yang saya bayangkan tidak bisa langsung didapat. Menulis adalah menabung. Uang hasil jerih payah baru bisa dinikmati setelah menjalani proses panjang. Saya sudah tahu itu, meski belum benar-benar terjun ke dunia literasi. Siang itu, saya putuskan saya terjun. Saya pikir saya harus total jika ingin memperoleh tabungan ekstra di masa mendatang. Itu pun jika saya sukses menjadi penulis. Untuk itu, saya bertekad tidak ingin berhenti.
Maka, siang itu juga, saya berjanji akan mencintai dunia literasi sampai tua dan bahkan sampai mati. Ini bukan main-main. Saya merasakan gejolak yang luar biasa. Semacam jatuh cinta jenis lain. Ada motivasi-motivasi tersendiri, selain tabungan ekstra tadi, yang saya kejar dengan menulis: saya ingin berguna bagi orang lain. Sebelumnya, saya merasa belum begitu berarti di kehidupan ini. Kadang saya bertanya, "Untuk apa saya lahir ke dunia ini?" Tahun-tahun itu masa kelabu saya. Kesedihan akibat kegagalan bertubi-tubi membuat saya merasa hidup di badan manusia lain.
Siang itu, di sebuah warnet tua, saya mendapat pencerahan. Bahwa saya harus menulis untuk lepas dari keresahan. Saya harus bangkit dan menolak kalah. Saya merasa saya belum berbuat apa-apa, jadi saya harus segera berbuat. Mumpung kesadaran ini muncul.
Tidak butuh waktu semenit, setelah "hidayah" tadi mampir, saya segera mencari informasi lomba menulis di Google. Hasilnya saya digiring ke perkenalan dengan grup-grup menulis online yang pada saat itu ada yang sudah besar, ada pula yang baru berdiri. Sampai sekarang, grup-grup tersebut (yang ketika itu saya kenal) masih aktif dan terus melahirkan bibit-bibit penulis baru.
Sejak itu saya mulai lebih paham apa saja yang harus dan penting penulis lakukan agar mau sukses: konsisten. Oleh teman sekomunitas, di masa-masa awal menulis, saya sudah dianggap produktif hanya karena mencoba menulis setiap hari (minimal sehari satu halaman dari jenis tulisan apa pun). Saya tidak tahu kenapa hati saya jadi jauh lebih bahagia, meski uang di dompet masih segitu-gitu saja. Ketika akhirnya dapat job, saya lebih "gila" lagi dalam menulis. Mengenal lebih banyak teman dari komunitas-komunitas lain, saya lebih "gila" dan "gila".
Apa yang saya dapat? Kegagalan dalam lomba? Sering juga. Kemenangan? Ada beberapa. Uang? Sedikit demi sedikit, alhamdulillah. Jadi korban penipuan? Oh, tentu saja pernah. Saya bahkan pernah nyaris mendapat hadiah penghargaan bergengsi, yang luar biasa, namun dibatalkan sepihak hanya karena miskomunikasi antara dewan juri. Penghargaan yang batal itu, barangkali dapat membuat sebagian keluarga dan tetangga saya, yang meragukan aktivitas menulis saya, menjadi takjub. Bahkan, seorang teman pun sempat mengaku, "Jujur saja. Gue masih heran. Kok bisa kamu menang?" Saya memang menang. Tapi "level" hadiah diturunkan, namun sampai sekarang hak saya belum saya dapatkan. Tentu saja, bagi kawan yang membaca status ini dan tahu maksudnya, saya minta tidak perlu dibahas. Ini sekadar berbagi pengalaman, sebab beberapa rekan di luar sana, terkadang meributkan sesuatu yang harusnya dapat disederhanakan, atau meributkan sesuatu yang nilainya tidak lebih berharga ketimbang waktu yang nantinya terbuang percuma. Bukankah lebih baik kembali berkarya? Jika misal suatu hari kita terluka oleh pihak tertentu, jauhi saya perselisihan.
Semua kejadian itu lekat di kepala saya. Saya tidak akan lupa. Tapi, saya tidak terlalu terbawa emosi dengan semua itu. Saya biarkan mengalir. Semua yang terjadi saya anggap proses dan saya menikmatinya meski harus berdarah-darah. Saya jalani saja kecintaan pada menulis ini, dan menyimpan keyakinan bahwa kelak kehidupan saya akan jauh lebih baik ketimbang jika saya memutuskan berhenti menulis.
Tidak sedikit juga cibiran saya dapatkan. Pertanyaan tentang kualitas dan kuantitas juga tentu saya alami. Apalagi sekadar muncul pihak-pihak yang seolah sengaja datang untuk membuat masalah, misal secara terang-terangan menulis tentang diri saya (bukan karya saya) dengan sudut pandang subjektif dan tidak seratus persen sesuai fakta. Seorang teman berkomentar tentang tulisan macam itu. Ia bilang itu menjijikkan dan benar-benar menghina saya. Tapi, apa yang saya lakukan? Saya abaikan saja dan saya kembali berkarya.
Tentu saya tidak akan mengabaikan jika tulisan yang dibuat adalah untuk mengkritik karya saya, bukan menghina/melecehkan secara personal. Kritik untuk karya ini lumayan sering saya dapat. Dari yang paling tajam, sampai yang kelewat halus (untuk tidak menyebutnya munafik), semua saya dapat. Dengan senang hati, saya terima semua itu. Saya resapi, karena toh berguna juga untuk perbaikan karya ke depan. Di antara para"kritikus" ini, tidak bisa dimungkiri, beberapa sengaja datang hanya untuk menghina karya saya. Lalu, apa saya marah? Oh, tidak. Hinalah sesuka hati karya seseorang, tapi jangan sampai menghina orangnya. Yang seperti ini bisa saya terima.
Suatu kali, dalam pertemuan dengan beberapa teman lama, saya dipuji karena kini dianggap sukses jadi penulis. Saya bilang, "Saya belum apa-apa, karena masih butuh banyak belajar." Memang begitulah kenyataannya. Setiap hari kita butuh belajar. Hari demi hari kita dipersilakan memilih antara mendaki puncak cita-cita, ataukah berhenti karena lelah? Saya rasa kita tidak perlu berhenti, karena sebenarnya puncak itu ada di akhir jatah hidup.
Orang bijak berkata, "Jangan salahkan Tuhan jika Anda mati dalam keadaan miskin." Maka, marilah menjadi kaya. Kaya itu bukan sekadar soal uang seperti yang dibahas di atas, tetapi juga soal hati.
Ketika itu saya sadar, bahwa memang uang yang saya bayangkan tidak bisa langsung didapat. Menulis adalah menabung. Uang hasil jerih payah baru bisa dinikmati setelah menjalani proses panjang. Saya sudah tahu itu, meski belum benar-benar terjun ke dunia literasi. Siang itu, saya putuskan saya terjun. Saya pikir saya harus total jika ingin memperoleh tabungan ekstra di masa mendatang. Itu pun jika saya sukses menjadi penulis. Untuk itu, saya bertekad tidak ingin berhenti.
Maka, siang itu juga, saya berjanji akan mencintai dunia literasi sampai tua dan bahkan sampai mati. Ini bukan main-main. Saya merasakan gejolak yang luar biasa. Semacam jatuh cinta jenis lain. Ada motivasi-motivasi tersendiri, selain tabungan ekstra tadi, yang saya kejar dengan menulis: saya ingin berguna bagi orang lain. Sebelumnya, saya merasa belum begitu berarti di kehidupan ini. Kadang saya bertanya, "Untuk apa saya lahir ke dunia ini?" Tahun-tahun itu masa kelabu saya. Kesedihan akibat kegagalan bertubi-tubi membuat saya merasa hidup di badan manusia lain.
Siang itu, di sebuah warnet tua, saya mendapat pencerahan. Bahwa saya harus menulis untuk lepas dari keresahan. Saya harus bangkit dan menolak kalah. Saya merasa saya belum berbuat apa-apa, jadi saya harus segera berbuat. Mumpung kesadaran ini muncul.
Tidak butuh waktu semenit, setelah "hidayah" tadi mampir, saya segera mencari informasi lomba menulis di Google. Hasilnya saya digiring ke perkenalan dengan grup-grup menulis online yang pada saat itu ada yang sudah besar, ada pula yang baru berdiri. Sampai sekarang, grup-grup tersebut (yang ketika itu saya kenal) masih aktif dan terus melahirkan bibit-bibit penulis baru.
Sejak itu saya mulai lebih paham apa saja yang harus dan penting penulis lakukan agar mau sukses: konsisten. Oleh teman sekomunitas, di masa-masa awal menulis, saya sudah dianggap produktif hanya karena mencoba menulis setiap hari (minimal sehari satu halaman dari jenis tulisan apa pun). Saya tidak tahu kenapa hati saya jadi jauh lebih bahagia, meski uang di dompet masih segitu-gitu saja. Ketika akhirnya dapat job, saya lebih "gila" lagi dalam menulis. Mengenal lebih banyak teman dari komunitas-komunitas lain, saya lebih "gila" dan "gila".
Apa yang saya dapat? Kegagalan dalam lomba? Sering juga. Kemenangan? Ada beberapa. Uang? Sedikit demi sedikit, alhamdulillah. Jadi korban penipuan? Oh, tentu saja pernah. Saya bahkan pernah nyaris mendapat hadiah penghargaan bergengsi, yang luar biasa, namun dibatalkan sepihak hanya karena miskomunikasi antara dewan juri. Penghargaan yang batal itu, barangkali dapat membuat sebagian keluarga dan tetangga saya, yang meragukan aktivitas menulis saya, menjadi takjub. Bahkan, seorang teman pun sempat mengaku, "Jujur saja. Gue masih heran. Kok bisa kamu menang?" Saya memang menang. Tapi "level" hadiah diturunkan, namun sampai sekarang hak saya belum saya dapatkan. Tentu saja, bagi kawan yang membaca status ini dan tahu maksudnya, saya minta tidak perlu dibahas. Ini sekadar berbagi pengalaman, sebab beberapa rekan di luar sana, terkadang meributkan sesuatu yang harusnya dapat disederhanakan, atau meributkan sesuatu yang nilainya tidak lebih berharga ketimbang waktu yang nantinya terbuang percuma. Bukankah lebih baik kembali berkarya? Jika misal suatu hari kita terluka oleh pihak tertentu, jauhi saya perselisihan.
Semua kejadian itu lekat di kepala saya. Saya tidak akan lupa. Tapi, saya tidak terlalu terbawa emosi dengan semua itu. Saya biarkan mengalir. Semua yang terjadi saya anggap proses dan saya menikmatinya meski harus berdarah-darah. Saya jalani saja kecintaan pada menulis ini, dan menyimpan keyakinan bahwa kelak kehidupan saya akan jauh lebih baik ketimbang jika saya memutuskan berhenti menulis.
Tidak sedikit juga cibiran saya dapatkan. Pertanyaan tentang kualitas dan kuantitas juga tentu saya alami. Apalagi sekadar muncul pihak-pihak yang seolah sengaja datang untuk membuat masalah, misal secara terang-terangan menulis tentang diri saya (bukan karya saya) dengan sudut pandang subjektif dan tidak seratus persen sesuai fakta. Seorang teman berkomentar tentang tulisan macam itu. Ia bilang itu menjijikkan dan benar-benar menghina saya. Tapi, apa yang saya lakukan? Saya abaikan saja dan saya kembali berkarya.
Tentu saya tidak akan mengabaikan jika tulisan yang dibuat adalah untuk mengkritik karya saya, bukan menghina/melecehkan secara personal. Kritik untuk karya ini lumayan sering saya dapat. Dari yang paling tajam, sampai yang kelewat halus (untuk tidak menyebutnya munafik), semua saya dapat. Dengan senang hati, saya terima semua itu. Saya resapi, karena toh berguna juga untuk perbaikan karya ke depan. Di antara para"kritikus" ini, tidak bisa dimungkiri, beberapa sengaja datang hanya untuk menghina karya saya. Lalu, apa saya marah? Oh, tidak. Hinalah sesuka hati karya seseorang, tapi jangan sampai menghina orangnya. Yang seperti ini bisa saya terima.
Suatu kali, dalam pertemuan dengan beberapa teman lama, saya dipuji karena kini dianggap sukses jadi penulis. Saya bilang, "Saya belum apa-apa, karena masih butuh banyak belajar." Memang begitulah kenyataannya. Setiap hari kita butuh belajar. Hari demi hari kita dipersilakan memilih antara mendaki puncak cita-cita, ataukah berhenti karena lelah? Saya rasa kita tidak perlu berhenti, karena sebenarnya puncak itu ada di akhir jatah hidup.
Orang bijak berkata, "Jangan salahkan Tuhan jika Anda mati dalam keadaan miskin." Maka, marilah menjadi kaya. Kaya itu bukan sekadar soal uang seperti yang dibahas di atas, tetapi juga soal hati.
Comments
Post a Comment