Skip to main content

Posts

Showing posts with the label sastra

[Cerpen]: "Menjemput Gendis" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 31 Maret 2019)    Menjemput Gendis Oleh Ken Hanggara     Sengaja tidak saya dengarkan nasihat Ibu. Saya ke pasar menemui gadis penjaja kehangatan itu. Namanya Gendis, bukan nama asli. Saya tak pernah diizinkan membaca KTP-nya. Ia mengaku anak konglomerat yang bosan uang dan menjajal jalanan sebagai tempat berpesta. Sesekali ia bilang bahwa ia anak tukang becak yang mati dilindas truk, sehingga terpaksa berhenti sekolah dan di sini ia jual diri untuk hidup.     Tidak ada yang jelas soal kisah hidup Gendis. Ibu menolak bukan cuma perkara itu. Soal identitas dapat dicari. Lain dengan kesucian yang diobral ke mana-mana. Itu tidak mungkin dicari, apalagi dikembalikan ke asal, sebagaimana ketika seseorang kehilangan sandal.     Gendis memang sundal, tapi bukan sandal, kata saya. Dan dia manusia.     Ibu bilang, dengan amarah meluap, "Kalau kamu masih pengen mengawini Gendis, tidak usah anggap saya ibumu!"     Saya pergi malam itu

[Cerpen]: "Kematian Raja Pelit" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 31 Maret 2019)     Halaman rumah Ali Sapono tidak pernah seramai itu sejak bertahun-tahun lalu. Di siang yang cukup gersang itu, warga desa berbondong-bondong untuk melihat betapa si raja pelit itu, lelaki sebatang kara yang konon tidak pernah menikah seumur hidupnya itu, telah mati gantung diri.     Kabar yang nyaris terdengar bagai dongeng belaka ini memang sempat diragukan. Orang-orang tidak percaya Ali Sapono mati begitu saja dengan cara gantung diri. Sejauh yang mereka tahu, orang-orang pelit akan tetap bertahan di muka bumi tanpa ingin cepat mati. Bukankah itu tujuan menjadi pelit? Agar tidak cepat mati.     Sebagian orang percaya, karena yang membawa kabar itu adalah sosok yang cukup disegani dan tidak suka bohong: Mudakir, sang ahli ibadah.     Pada mulanya seorang perempuan bermaksud ke rumah Ali Sapono untuk bertamu. Perempuan itu datang dari jauh. Dari sebuah kota di balik pegunungan yang hanya bisa dilihat jika siapa pun ber

[Cerpen]: "Seandainya Peluru yang Kautembakkan ke Langit Jatuh Kembali ke Bumi" karya Ken Hanggara

(Dimuat di kurungbuka , Minggu, 31 Maret 2019)     Brenda membayangkan sebutir peluru yang pada suatu hari tertentu dilontarkan ke langit oleh seorang bajingan tengik mendadak saja jatuh ke bumi dan menimpa kepala mungil adiknya yang tak berdosa.     "Apa bisa begitu?"     Seandainya bisa, mungkin adiknya tewas seketika, dan itu membuat Brenda, bocah sembilan tahun ini, merinding ketakutan.     Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan macam ini, bahkan Ibu yang paling pintar di rumah.     Tak ada orang dewasa sepintar Ibu yang dapat menjawab setiap tanya yang Brenda dan adik lontarkan selama ini. Apa saja mereka tanyakan, dan Ibu tak pernah tak dapat menjawab semua. Ibu tahu hampir semua hal di dunia ini, tetapi sewaktu Brenda tanya soal peluru yang pada suatu hari ditembakkan ke langit oleh seseorang mendadak jatuh kembali ke bumi, Ibu cuma bilang, "Sebaiknya kita tidur."

[Cerpen]: "Jejak Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di cadik.co , Sabtu, 30 Maret 2019)     Sebenarnya aku sudah hampir bunuh diri, tetapi pikiran tentang ibuku membuatku urung. Aku langsung turun dari atap gedung pencakar langit itu sebelum orang-orang di sekitar sini menyadari niatku. Aku melamun sepanjang menunggu denting demi denting lift yang kutumpangi mengantarku ke lantai paling bawah. Tidak lama setelah itu, aku pergi ke sebuah kedai dan memesan es krim di sana. Aku pesan dua sekaligus sehingga membuat pelayannya yang cantik dan berkulit cokelat menatapku dengan kesan seolah diriku ini anak kecil yang sangat lucu.     Aku tidak peduli apa pun yang dipikirkan pelayan itu, jadi kusampaikan, "Ya, dua- duanya buat saya! Ada yang salah?"     "Oh, tidak," balasnya, lalu pergi ke belakang konter.     Selama menunggu es krimku datang, aku terus memikirkan ibu kandungku dan niat untuk bunuh diri tadi. Di suatu tempat, yang entah di mana, pasti dia sedang menantiku. Di suatu tempat yang barangkali saj

[Cerpen]: "Sabda Tuhan di Kepala Orang Gila" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Jawa Pos, Minggu, 17 Maret 2019)     Aku ingin makan, tetapi tidak punya uang. Jadi, kuminta uang kepada semua orang di pasar. Setiap kutemui punggung seseorang, aku berdoa supaya hati orang itu diketuk sedemikian rupa oleh-Nya, sehingga membantuku yang sedang kelaparan. Lalu kutepuk punggung itu, dan dengan wajah memelas, kukatakan kalimat ini dengan begitu syahdu: "Minta uang dong?"     Aku tahu, mungkin jika tidak makan hari ini aku masih hidup. Baru sampai besok lusa, jika aku benar-benar tidak makan apa pun, aku akan mati di pasar ini, atau di mana pun yang tidak jauh dari pasar ini.     Sulit membayangkan akan mati seperti apa dan di mana, jika Anda hidup sebatang kara di suatu pasar, dan bermata juling, dan berotak separuh sapi, dan berbadan sebesar badak. Itulah aku, dengan segala ciriku. Hidup sendiri di pasar, pindah dari satu kota ke kota lain, hanya untuk makan.     Seharusnya orang kasihan kepadaku dengan mata julingku yang sulit membuatku bek

[Cerpen]: "1000 Tahun Demi Maria" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Haluan edisi Minggu, 10 Maret 2019)     Ada alasan-alasan tertentu yang membuatku ingin tetap di sini. Aku tidak akan ke mana-mana dan terus di sini sampai tua. Aku akan tetap bertahan hingga seribu tahun di tempat yang sama dan mungkin sambil menyesali perasaan yang tak pernah dia dengar. Tentu, tidak ada cerita ini seandainya aku tidak pernah tahu di bumi ini pernah hidup seorang Maria.     Aku tidak tahu nama gadis itu sebenarnya. Aku hanya spontan menyebutnya Maria. Kupikir nama itu cocok untuknya dan mudah diingat. Jadi, tidaklah salah menyebutnya Maria. Dia begitu cantik dan menyerupai bidadari ketimbang manusia.     Ketika kukatakan soal Maria, tidak semua orang percaya. Di sini tidak ada bidadari. Ini sarang setan dan bidadari ada kalau engkau pergi seribu mil jauhnya. Itu pun kalau beruntung!

[Cerpen]: "Perempuan Seteguh Karang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1618/XXXI 25 Februari - 3 Maret 2019)     Kamarku berada di lantai dua. Ada balkon yang menghadap barat, sehingga setiap sore sepulang kerja, aku dapat menikmati sunset sekaligus memandangi foto anak-anak. Sesekali kuhirup aroma masakan dari jendela sebelah; tetanggaku, perempuan sebatang kara yang sudah cukup tua dan kuanggap sebagai tanteku sendiri, sedang membuat kue kering. Biasanya ia datang setiap sore untuk menikmati sunset bersamaku di sini sambil minum teh dan makan kue kering.     Foto-foto tadi kutata dengan rapi di meja dekat jendela menuju balkon. Tidak ada yang tidak bertanya foto siapa saja itu. Semua teman sesama pekerja yang mampir ke sini atau tetanggaku tadi, selalu bertanya-tanya bagaimana anak-anakku itu? Apakah selucu yang di foto? Atau, beberapa kali lebih lucu? Mereka memang lucu. Aku bahkan tidak bosan menangis karena rindu kepada mereka. Di antara foto anak-anakku, terdapat foto almarhum suamiku. Perbedaan foto suamiku de

[Cerpen]: "Sisa Cinta" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 24 Februari 2019)     Seorang pria berdoa kepada Tuhan supaya dia tidak lagi memiliki cinta di hatinya. Jika saja masih ada sisa-sisa cinta di seluruh bagian hatinya, biarlah itu berubah menjadi kebencian atau sekalian dihapus dan tak perlu menjadi apa-apa. Pria itu lalu memikirkan bentuk cintanya yang tiba-tiba menjadi segenggam debu; ia akan tertiup ke sana kemari dan tidak lama lagi hilang tanpa bekas. Debu-debu itu tentu tak benar-benar hilang dari semesta, melainkan akan menyisa sebagai butiran yang tiada punya arti, karena terpisah dari asalnya dan kini sendiri begitu saja. Sebutir debu, menurutnya, sama saja dengan bukan apa-apa.     Tapi, mungkin saja, sisa-sisa cinta itu berubah menjadi kebencian. Bagaimana jika Tuhan mengabulkan permintaan yang satu itu? Anggap saja bentuk cinta yang tersisa itu kini serupa setangkai mawar. Sesuatu yang terlihat indah, namun ia dapat melukai setiap orang dengan duri. Pria itu senang membayangkan cin

[Cerpen]: "Mengantar Utami Pulang" karya Ken Hanggara

Gambar dari deviantart.com (Dimuat di nyimpang.com pada 24 Februari 2019)     Akhirnya Utami pergi tanpa pamit. Aku mencarinya ke seluruh bagian kota busuk ini, karena tidak yakin gadis itu dapat menahan godaan bunuh diri. Dengan menumpang mobil butut pinjaman dari seorang teman, kutelusuri bagian-bagian kota yang selama ini tidak pernah kulewati.     Aku tidak terlalu yakin melakukan ini, tetapi sebagai laki-laki yang mengakibatkan dia datang ke kota ini dan berharap mendapatkanku sebagai suaminya, aku rasa akulah yang akan dimintai lebih banyak keterangan di kantor polisi jika saja Utami nanti bunuh diri. Dan bagiku, semua itu sangat kubenci. Pasalnya, Utami kemari bukan karena upaya menggoda yang kuperbuat, melainkan dorongan kedua orang tua kami. Inilah alasanku selalu membenci perjodohan.     Keterpaksaan ini menjadi siksaan tersendiri di kepalaku. Selama nyaris dua jam, di seluruh pojok-pojok tergelap, mobil yang kutumpangi berasa menyusut setiap detik, dan aku membayan

[Cerpen]: "Musuh Abadi" karya Ken Hanggara

Lukisan karya Affandi. Sekadar ilustrasi. (Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 24 Februari 2019)     Sudah lama aku dendam ke Mudakir. Sejak dulu orang itu selalu membuat hidupku kacau. Mudakir tidak berhenti menghalang-halangi setiap usaha yang kulakukan hanya karena tidak mau diriku terlihat lebih baik dari dirinya.     Tentu saja, karena persaingan ini dimulai sejak duduk di bangku SD, Mudakir tidak ragu menyebut namaku dalam urutan pertama jika saja seseorang bertanya padanya soal siapa saja kira-kira manusia yang seharusnya mampus saat berhadapan dengannya? Aku tidak heran dia akan menjawab begitu, meski soal kebenciannya padaku tidak pernah ia ungkapkan pada siapa pun dan dalam kesempatan apa pun.     Mudakir akan selalu membenciku dan ingin kehidupanku hancur separah mungkin, dan itu terlihat dari bagaimana dia melakoni perannya dalam menjegal langkahku. Tidak pernah Mudakir menonjolkan diri dalam insiden-insiden yang membuatku ketiban sial, tetapi pada akhirnya aku se

[Cerpen]: "Blusukan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 24 Februari 2019)     Tiba-tiba sekelompok orang berkerumun di depan warungku. Orang-orang kota itu sungguh harum. Bawaannya macam-macam. Ada poster, kalender, dan entah apa. Di antaranya ada wanita cantik yang bertanya siapa namaku. Lalu kusebutkan namaku. Dia bertanya tentang warung dan kondisi keuanganku. Setelah mengobrol singkat, aku dapat amplop darinya. Aku tidak kenal dia. Begitupun beberapa orang di sekitarku yang juga dapat amplop. Tak ada yang kenal dia. Tak lama, orang-orang bersorak, membuat bunyi klakson di jalan raya ujung pasar tak kedengaran jelas.     Kamera-kamera, semakin ke sini, semakin banyak jumlahnya. Mungkin belasan. Atau puluhan. Entah. Aku tidak pandai menghitung. Seorang bapak yang menjadi pusat perhatian, yang tadi membuat setiap penjual bersorak-sorai, melangkah masuk ke gang pasar yang becek. Aku pernah sekali waktu lihat si bapak tersebut di televisi. Dia calon pemimpin. Calon wakil rakyat yang kerap ber

[Cerpen]: "Jane" karya Ken Hanggara

(Dimuat di ideide.id , pada 12 Februari 2019)     Aku ingin tenggelam dan hilang selamanya di sebuah kolam atau danau atau apa pun itu. Kubayangkan tubuhku mengecil tanpa ada yang tahu, lalu dengan segenap ilmu sihir, seseorang mengubahku menjadi seukuran semut. Tidakkah itu menakjubkan?     Kalau aku benar-benar menjadi sekecil semut, aku harap bisa tenggelam dan hilang selamanya karena malu. Aku tidak sanggup menatap wajah Jane. Pacar terbaikku sejauh ini dia, tapi karena kesalahan yang kulakukan, ia layak mendapat yang lebih baik.     "Aku tidak peduli walau kamu orang paling dibenci di dunia ini atau orang yang paling berpenyakit. Selama kita bisa bersama, aku tetap di sini!" katanya selalu.     Jane sangat mencintaiku dan kurasa aku tidak bisa mengubah perasaan itu semudah orang-orang membongkar kebusukan masa laluku. Dulu aku sangat amoral dan saat ada kesempatan untuk memperbaiki diri, aku berkenalan dengannya. Ini terjadi sekitar satu tahun yang lalu. Aku da

[Cerpen]: "2000 Manusia Terakhir" karya Ken Hanggara

Lukisan karya Bob Bello (Dimuat di Tribun Jabar, Minggu, 10 Februari 2019)     Sebuah kota berdiri di tengah gurun. Kota gurun berisi orang-orang mati yang telah dihidupkan kembali sebagai manusia biasa dan bukan monster atau hantu atau siluman, sehingga konon mereka tak menginjak surga ataupun neraka begitu saja. Mereka hidup paling lama di dunia. Ketika bumi kelak hancur, seisi kota gurun menciptakan sebuah pesawat yang dapat mengantar manusia-manusia biasa ke planet lain. Namun, tentu saja, terjadi seleksi alam. Hanya orang-orang terpilih yang bisa melanjutkan hidup di planet lain ketika bumi tak lagi bisa dihuni.     Pada waktunya nanti, kota gurun yang dulunya dihuni oleh makhluk-makhluk yang durhaka pada Tuhan, tiada tertinggal di buku sejarah apa pun. Kota tersebut hilang dari catatan ingatan, kecuali mereka yang benar-benar berperan dalam terjadinya akhir dunia. Ketika itu seluruh planet hancur lebur dan di antara orang-orang terpilih yang tak lagi berkembang biak (s

[Cerpen]: "Undangan Makan Malam" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: keponews.com (Dimuat di Bangka Pos, Minggu, 10 Februari 2019) Tetanggaku yang seorang kutu buku sering mengundangku makan malam dan dia hampir selalu memaksa. Aku sendiri sudah mual dengan masakan istrinya. Suatu waktu aku mengatakan harus pergi ke rumah pacarku dan kutambahkan betapa aku sudah janji mengajak gadis itu jalan-jalan. Tentu aku tidak punya pacar dan si kutu buku tidak perlu tahu. Aku hanya bohong demi tidak mencicipi sup busuk buatan istrinya.     Sup itu, asal Anda tahu, betul-betul busuk. Aku tidak paham bagaimana kutu buku itu menjalani hari dengan sup busuk sepanjang waktu. Anehnya, dia tetap saja hidup dan dapat membaca setiap hari. Tetanggaku yang ini lumayan hebat. Koleksi bukunya ada seribu lebih. Aku heran. Bagaimana bisa orang sepintar itu bisa dengan mudah dibodohi sang istri dengan sup busuk?     Aku bukan menuduh istrinya kurang ajar atau ingin menghabisi suaminya pelan- pelan atau bahkan gila. Dia hanya perempuan yang tidak tahu

[Cerpen]: "Musuh Mudakir" karya Ken Hanggara

Sekadar ilustrasi. Salah satu lukisan seniman Affandi. (Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 20 Januari 2019)     Suatu saat Gusnaldi harus mati. Itu yang Mudakir impikan persis di malam tahun baru. Tanggal 3 Januari, Gusnaldi ditemukan tewas gantung diri. Tidak ada tanda-tanda perlawanan dan perkelahian, yang artinya dia bekerja sendirian. Mudakir melenggang ke sana kemari, karena meskipun semua tahu mereka bermusuhan, tidak ada yang bisa membuktikan kematian itu datang oleh ulahnya.     Pada momen yang lain, bertahun-tahun setelahnya, sebuah pertikaian terjadi. Bung Timo, lelaki bertato dan raja dari segala preman, menghajar Mudakir habis-habisan dan membuatnya masuk rumah sakit selama delapan hari. Mudakir sang ceking, maju lawan lelaki terkuat sekota, tentu saja sudah dapat ditebak hasilnya. Tangan dan salah satu kaki patah, perut koyak moyak, dan telinga kanan hilang entah ke mana.

[Cerpen]: "Pengarang dengan Kekasihnya yang Tukang Protes" karya Ken Hanggara

(Dimuat di basabasidotco pada Jumat, 18 Januari 2019)     Membayangkan Moni, mantan kekasihku, membuatku tidak bisa tidur. Dulu kami hampir selalu bertengkar karena masalah sepele. Biasanya karena aku yang tak berhenti merokok, sedang ia benci rokok. Atau karena aku yang jarang mengajaknya jalan karena kesibukanku sebagai pengarang.     Moni protes, "Aku curiga kamu selingkuh sama mereka!"     "Siapa?"     "Puisi-puisi dan cerita pendekmu!"     Ketika itu kukira ia bercanda. Cuma orang gila yang berpikir kekasihnya selingkuh dengan puisi dan cerita pendek.     "Kamu mengada-ada. Bilang saja mau kubelikan apa?" tukasku. Kurasa kami perlu jalan-jalan ke bioskop atau menikmati malam dari balkon rumahnya yang berdiri dekat pantai.     Moni membanting botol yang dari tadi dipegang. Ia pergi dan dua hari kami tidak ketemu. Ke mana-mana kucari, tidak ada. Kutelepon, tidak aktif. Keluarga dan teman- temannya juga tidak tahu di mana Moni.

[Cerpen]: "Asal-muasal Agama Sungai" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Tempo edisi akhir pekan, 12-13 Januari 2019)     Sejak bertahun-tahun lalu sungai itu merekam jejaknya sendiri di pikiranku. Pada suatu hari seorang pria dengan tubuh berdarah-darah merangkak ke halaman rumahku yang berada persis di tepi sungai. Aku berusaha sebisa mungkin dan bahkan keluargaku juga meluangkan waktu untuk membuatnya sembuh dan mampu bicara. Pada akhirnya lelaki itu mati setelah tiga hari tiga malam mengigau.     Pria tanpa nama tadi kami kubur dengan doa ala kadarnya dan upacara tersepi yang pernah ada. Tidak ada kejadian ganjil setelah beberapa minggu dikuburnya pria itu. Lalu, suatu malam, saat aku dan sepupu mencari adik terkecil kami yang belum juga pulang, seorang pria paruh baya menyeret-nyeret tubuhnya yang berlumuran darah dan meminta pertolongan.

[Cerpen]: "Pohon Berbisik" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 23 Desember 2018)       Pohon jambu di depan saya, di halaman rumah sahabat yang mati disembelih dua tahun lalu, seperti sedang mengajak bicara. Tentu saja saya tidak paham bahasa pohon, namun mengira ia berusaha bicara. Tentang apa, saya tidak tahu. Daun-daun jambu itu bergesekan seperti orang berbisik. Kalau benar apa yang saya duga, ia jelas membisiki saya sesuatu bernuansa purba dan ganjil. Sesuatu tentang kematian.     Mila, pacar saya, tidak terlalu percaya kata-kata itu. Padahal saya ceritakan dengan penuh semangat bahwa saya merasa pohon jambu itu berbisik. Memang saya tidak bisa buktikan atau paling tidak menirukan ucapan pohon itu, tetapi saya yakin apa yang saya rasakan tidak salah.     "Kebanyakan melamun kamu," celetuk Mila pendek.     Saya tidak bisa membela diri. Lagi pula, laki-laki—menurut Mila—adalah sumber kebohongan dan perempuan selalu benar. Saya tidak tahu apa semua perempuan di muka bumi berpikir demikian ataukah

[Cerpen]: "Hari-hari Yu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos, Minggu, 23 Desember 2018)     Yu memberiku sebungkus kue dan pergi setelah orang-orang pabrik pulang. Besok paginya dia kembali menemuiku, tetapi kali ini tidak membawa kue atau apa pun. Gadis itu bilang, "Tidak ada lagi kue."     Sebenarnya aku sangat lapar. Rasanya perutku tidak berisi apa pun, tetapi Yu tidak dapat kukalahkan. Kami tetap pergi sesuai dengan janji. Kami menerabas ilalang di area belakang pabrik, dan tetap di sana dari menjelang magrib hingga jam tujuh malam.     Yu sudah kukenal selama lima tahun. Dulu Yu adalah bulan yang indah dan pucat, yang tak mungkin kuajak bicara. Yu adalah segala sesuatu di luar angkasa, sedang diriku adalah sebutir kerikil di kandang sapi. Tapi, sebuah kejadian membalik segalanya.     Aku tidak perlu cerita kejadian apa itu. Lagi pula, semua sudah tidak lagi penting. Yang terpenting adalah: Yu dan aku dapat bertemu. Tidak ada yang tahu pertemuan ini, tentu saja, kecuali beberapa orang dari pabrik yang s

[Cerpen]: "Megalomania" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 9 Desember 2018)       Lelaki berbaju polisi menghentikanku. Aku baru keluar dari WC umum. Ia bilang, "Mari ikut saya!"     Kukatakan bahwa aku tadi ketiduran di terminal dan sekarang harus pulang. Sudah jam dua belas malam dan langit kini gerimis. Ia tidak peduli dan mengeluarkan sepucuk revolver.     "Pokoknya Anda harus ikut!"     Demi terhindar dari kesulitan, aku patuh. Kuikuti polisi itu, yang berkepala botak, dan di puncak kepalanya ada tahi lalat begitu besar. Aku melangkah dan melirik bagian itu, karena aku lebih tinggi darinya. Polisi itu sadar kelakuanku dan bilang, "Jika masih mau hidup, sebaiknya jangan berpikir mencoblos tahi lalat saya!"     Kalimat itu begitu jelas, tapi kurasa kepalaku sedang pusing. Aku baru bangun dari tidur dan belum sepenuhnya sadar selain mengingat bahwa aku harus pulang sekarang juga, jadi kupikir barangkali ada yang salah di otakku. Kutanyakan apa yang barusan si polisi katak