(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 31 Maret 2019)
Menjemput Gendis
Oleh Ken Hanggara
Sengaja tidak saya dengarkan nasihat Ibu. Saya ke pasar menemui gadis penjaja kehangatan itu. Namanya Gendis, bukan nama asli. Saya tak pernah diizinkan membaca KTP-nya. Ia mengaku anak konglomerat yang bosan uang dan menjajal jalanan sebagai tempat berpesta. Sesekali ia bilang bahwa ia anak tukang becak yang mati dilindas truk, sehingga terpaksa berhenti sekolah dan di sini ia jual diri untuk hidup.
Tidak ada yang jelas soal kisah hidup Gendis. Ibu menolak bukan cuma perkara itu. Soal identitas dapat dicari. Lain dengan kesucian yang diobral ke mana-mana. Itu tidak mungkin dicari, apalagi dikembalikan ke asal, sebagaimana ketika seseorang kehilangan sandal.
Gendis memang sundal, tapi bukan sandal, kata saya. Dan dia manusia.
Ibu bilang, dengan amarah meluap, "Kalau kamu masih pengen mengawini Gendis, tidak usah anggap saya ibumu!"
Saya pergi malam itu ke pasar, ke suatu sudut dekat Salon Asmara, yang tidak lain tempat Mami Kanti biasa menjajakan anak buahnya. Tidak ada tempat khusus prostitusi di sini, sehingga orang pasar mafhum mengetahui berbagai aktivitas Mami Kanti dan beberapa germo dadakan.
"Mereka biasa nyalon dari pagi sampai sore. Malamnya jualan daging," begitulah yang bisa didengar seandainya seorang pendatang terheran-heran melihat suasana pasar, yang di malam hari mendadak remang-remang dan penuh preman serta para perempuan berbaju serba-minim.
Saya tahu itu sejak dulu. Dari kami kecil, kebiasaan itu sudah ada. Kami yang saya maksud adalah para pemuda. Sampai belasan tahun saya tak peduli, walau teman-teman sesekali mengajak. Buat uji coba, kata mereka. Ada juga yang menjadikan salon-salon sebagai ajang judi; siapa terlama, dialah yang menang. Uangnya buat makan bakso dan bayar biaya kuliah. Kebiasaan ganjil dan aneh ini dianggap seru. Berbagai macam dosa dan anjloknya moral saya lihat dengan mata kepala, tetapi saya bisa membentengi diri.
Saya tidak terpengaruh dan sempat dianggap banci, sampai akhirnya Gendis datang. Ia beda. Saya kira Tuhan salah menempatkan perempuan itu di Salon Asmara. Di tempat Mami Kanti, para pelanggan bukan cuma orang-orang berdompet tebal seperti golongan juragan, melainkan juga para tukang becak. Saya sedih membayangkan tubuh halus dan sintal Gendis, juga wajahnya yang serupa bidadari itu, dilumat habis para hidung belang berbibir tebal hitam kering.
Seharusnya Tuhan menaruh Gendis di sebuah masjid, di mana ia berperan sebagai guru mengaji muda, atau setidaknya calon istri seorang guru. Hal-hal berkenaan dengan wajah Gendis adalah nirwana abadi di kepala saya. Bahkan, dalam mimpi-mimpi yang setiap malam sering sambang, saya lihat Gendis duduk dekat pancuran sambil dengan fasih melantunkan tembang-tembang Jawa. Ia berkebaya dan pakaiannya tertutup rapat ala perempuan-perempuan rumahan.
Saat bangun dan menyadari kenyataannya sangat lain, saya menangis begitu lama di kamar mandi. Ibu sampai bertanya, apa kamu sakit perut, Le? Tentu saja saya jawab: Iya, Bu. Padahal yang sakit adalah hati saya.
Saya akui, saya jatuh cinta pada Gendis. Cinta tak biasa yang sering kali membuat saya seolah melukai diri dengan pisau setiap malam.
Saya bayangkan Gendis, dengan dandanan sundalnya, pergi dari kamar kost yang sempit dan bau apek ke Salon Asmara guna melayani nafsu bejat entah berapa banyak lelaki yang asal-usulnya terkadang tidak jelas.
Saya merasa sebilah pisau tiba-tiba mencuat dari balik selimut, persis tiap malam pukul dua puluh dua lewat nol-nol. Saat itulah Gendis pergi membelah malam. Bunyi high heels-nya, cetak-cetok-nya, seakan menggempur gendang telinga saya dengan bom berdaya ledak tinggi berulang-ulang sampai kuping saya berdarah dan berubah tuli, tapi anehnya otak saya dapat terus menangkap suara-suara itu. Dan, tentu saja, pisau tadi itu perlahan saya genggam, dan tanpa sadar, sembari membayangkan pelanggan berwajah hitam kelam bau, saya toreh rajah panjang di lengan sendiri, berkali-kali, sampai darah yang entah seberapa banyak mengalir dari tubuh ini.
Saya memang tidak pernah membawa pisau ke kamar dan lengan saya tidak pernah terluka oleh apa pun selama memendam cinta kepada Gendis. Tetapi pisau khayalan itu seperti rutin diletakkan seseorang ke balik selimut, lebih-lebih setelah saya tahu dari mulut Gendis pada suatu pagi, bahwa ia tidak berharap jatuh cinta pada siapa pun. Dan itu berlaku sampai kiamat kelak.
"Saya perempuan tidak jelas, Mas," katanya datar, "Gak ada yang mau sama saya, kecuali daging dan kehangatan. Cuma itu yang bisa saya kasih buat para lelaki, bukan cinta. Dan saya butuh uang buat hidup."
Wajah Gendis selalu diliputi kelelahan; saya tahu dia melayani para lelaki biadab sampai subuh. Tidak saya hitung ada berapa, tetapi yang pasti banyak.
Sumpah demi Tuhan, hati saya sangat sakit membayangkan soal angka. Entah itu bayaran yang Gendis dapatkan atau sekadar jumlah motor yang parkir di depan salon Mami Kanti setiap malam. Karena perkara inilah, sering kali bunyi knalpot berdentum di mana pun itu (tidak selalu di area salon-salon atau pasar), bisa membuat dada saya begitu sesak tak keruan dan tak jarang pula saya kesusahan tidur lantaran sesak tersebut.
Dentum knalpot-knalpot motor busuk selalu mengingatkan saya akan datang dan perginya para lelaki demi seorang wanita berparas ayu yang bernama Gendis. Dentuman mereka membawa saya ke pikiran-pikiran soal tubuhnya yang telah dijajah sedemikian rupa tanpa henti. Tubuh yang harusnya terjaga dari kejamnya dunia.
Orang sudah pasti mendukung penuh kata-kata Ibu. Mereka tidak setuju saya, yang menjelang lulus kuliah dan mendapat pekerjaan bagus di luar kota atas rekomendasi dari seorang paman, bermaksud menikahi Gendis. Mantan pelacur tak lebih baik ketimbang mantan janda, kata mereka, walau sudah mau taubat.
Saya kira mereka mencari-cari alasan. Jatuh cinta tidak butuh yang namanya alasan. Jatuh cinta hanya butuh tindakan.
Demikianlah.
Maka saya jemput Gendis di Salon Asmara. Saya mungkin selamanya jadi durhaka pada Ibu, tetapi kawin lari dengan Gendis adalah satu-satunya cara buat mengobati luka saya, sekaligus membebaskan perempuan bertampang surgawi itu dari cengkraman iblis laknat. Apa pun alasan Gendis melacur, ia berhak hidup lebih baik dari hari ini.
Hanya saja, membawa Gendis pergi bukan soal mudah. Saya tidak tahu bagaimana harus memulai ini; bagaimana harus mengatakan padanya soal dirinya yang akan saya ajak pergi untuk saya nikahi; bagaimana kami akan memulai hubungan ini? Selama ini, saya sendiri tak pernah benar-benar sering bertemu dengannya. Bertegur sapa pun amat jarang.
Obrolan tempo hari yang terjadi juga berlangsung dengan tanpa rencana. Waktu itu kami berada di pasar dan sama-sama antre untuk membeli sesuatu di toko kelontong. Saya mencoba basa-basi dan begitulah obrolan itu sempat mengalir sampai kami pergi meninggalkan toko dan berjalan terus hingga tiba di tempat yang agak sepi. Karena tak ada banyak kesempatan bertemu, saya beranikan saja untuk bicara seketika itu juga soal saya yang ingin mengajaknya pergi. Tapi, dengan tegas, saat itu Gendis menolak saya. Menurutnya, cinta sejati itu tidak pernah ada. Saya percaya itu ada. Sampai dia percaya, barangkali saya tak akan pernah tenang menjalani hidup ini.
Untuk usaha terakhir ini, saya coba pergi menemuinya langsung ke Salon Asmara. Meski dada saya sakit, saya tetap melangkah masuk dan menemui Gendis sebagaimana cara yang orang-orang lain lakukan padanya. Saya membayar Mami Kanti tanpa berani menatap wajahnya yang heran karena untuk kali pertama saya benar-benar pergi ke situ demi membeli jasa mereka. Saya membayar khusus untuk pertemuan dengan Gendis.
"Dia lagi sama Pak Hendro tuh," kata Mami Kanti. "Kamu bisa tunggu di sini."
Selama menunggu, saya lihat entah berapa banyak lelaki keluar masuk lewat gang kecil di bagian tengah bangunan yang tak terlalu luas ini. Tembok yang tak sepenuhnya dibangun mencapai atap untuk setiap kamarnya membuat suara beberapa orang dari situ terdengar hingga ke ruang tunggu, dan saya lebih memilih menutup kuping ketika suara lelaki buncit bergigi tonggos bernama Hendro menyebut-nyebut nama Gendis dengan penuh semangat. Tak berapa lama, lelaki itu keluar dengan senyum di wajah, yang mana itu sangat membuat saya tak tahan hingga secara mendadak saya bangkit berdiri untuk meninju perutnya beberapa kali.
Saya tak terlalu ingat apa yang terjadi berikutnya. Saya tahu saya digebuki banyak preman di situ sampai tak sadarkan diri, lalu saya ingat sempat melihat wajah Gendis di antara sekian banyak wajah yang berbaris melingkar di atas saya. Saya tidak tahu harus berkata apa begitu melihat Ibu duduk di sisi saya sewaktu saya sadar sedang berbaring di kamar rumah sakit. Ibu sendiri juga tidak banyak bicara selain menyuruh saya tidur saja sampai sembuh. Suster yang datang setelahnya mengatakan kalau kaki saya retak dan tak bisa bepergian jauh seorang diri dulu, jika memang itu yang saya inginkan.
"Dari mana Suster tahu?" tanya saya.
"Sejak kemarin kamu pingsan, selalu mengigau mau pergi sejauh mungkin dari sini. Tunggu sembuh dulu. Baru pergi."
Sampai beberapa hari kemudian, saya masih berbaring di rumah sakit dan tidak tahu kabar Gendis. Orang-orang tidak memberitahu apa-apa. Sampai saya pulang, tidak lagi ada kabar wanita itu. Saya nekat ke Salon Asmara, tetapi Mami Kanti bilang, "Gendis sudah pergi."
"Ke mana?"
"Tidak tahu. Pokoknya dibawa pergi orang lain. Sudah, kamu jangan ke sini lagi!"
Saya memaksa Mami Kanti untuk memberiku info berharga itu, tetapi dia menolak dan mengancam akan memanggilkan para preman itu sekali lagi jika saya tidak kunjung pergi dari situ. [ ]
Gempol, 2016-2018
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).