Skip to main content

[Cerpen]: "Jejak Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di cadik.co, Sabtu, 30 Maret 2019)

    Sebenarnya aku sudah hampir bunuh diri, tetapi pikiran tentang ibuku membuatku urung. Aku langsung turun dari atap gedung pencakar langit itu sebelum orang-orang di sekitar sini menyadari niatku. Aku melamun sepanjang menunggu denting demi denting lift yang kutumpangi mengantarku ke lantai paling bawah. Tidak lama setelah itu, aku pergi ke sebuah kedai dan memesan es krim di sana. Aku pesan dua sekaligus sehingga membuat pelayannya yang cantik dan berkulit cokelat menatapku dengan kesan seolah diriku ini anak kecil yang sangat lucu.
    Aku tidak peduli apa pun yang dipikirkan pelayan itu, jadi kusampaikan, "Ya, dua- duanya buat saya! Ada yang salah?"
    "Oh, tidak," balasnya, lalu pergi ke belakang konter.
    Selama menunggu es krimku datang, aku terus memikirkan ibu kandungku dan niat untuk bunuh diri tadi. Di suatu tempat, yang entah di mana, pasti dia sedang menantiku. Di suatu tempat yang barangkali saja tidak jauh dari sini, wanita tua itu pasti percaya di suatu tempat yang barangkali tidak jauh dari tempatnya, anak satu-satunya yang pernah dia lahirkan masih hidup.
    Ya, aku memang memikirkan itu, karena aku bahkan tidak pernah tahu di mana Ibu berada. Aku tidak pernah mengenalnya dan hanya tahu namanya saja dari sebuah benda yang diberikan oleh petugas panti asuhan kepadaku.
    Sekarang umurku 30. Aku tidak menjalin hubungan apa pun dengan nyaris semua manusia. Aku hanya berinteraksi dengan orang-orang di tempat kerjaku yang tidak lebih dari enam orang. Itu pun dikenal sebagai sosok pendiam dan kurang asyik diajak gaul, sehingga tidak ada di antara mereka yang benar-benar menganggapku teman.
    Aku mau bunuh diri karena mengira hidupku sia-sia. Aku bekerja penuh waktu di sebuah kantor dan itu perlahan dan pasti membunuh jiwaku dari dalam. Aku memang bernapas dan makan dan berak dan bahkan kadang-kadang pergi ke tempat pelacuran, tapi aku merasa tidak ada kehidupan dalam diriku. Jiwaku benar-benar kosong.
    Itulah yang membuatku ingin mati.
    Tetapi, aku tidak pernah tahu siapa ibuku dan juga tidak pernah berniat mencarinya sejak awal. Bagaimana jika ibuku ternyata adalah orang yang sangat hangat, yang tidak pernah benar-benar membenciku dan dahulu menaruhku di pintu rumah panti asuhan adalah karena demi kebaikanku sendiri? Bagaimana jika ternyata sekarang hidup ibuku lebih baik dari dulu?
    Aku menimbang keadaan ini saja sebelum melompat dari puncak gedung tadi: ada kemungkinan hidupku membaik jika kucoba menemui ibuku. Aku memang tidak dapat memastikan di manakah dia, tapi nama Ibu selalu kuingat. Nama itu tercetak di kalung yang dibebatkan ke sekeliling tubuhku bersama selimut tiga puluh tahun silam. Kalung itu sampai sekarang kusimpan.
    "Bagaimana jika ibuku masih hidup dan bersamanya aku dapat melewati semua ini dengan baik?"
    Kurasa kalimat itu tadi yang muncul secara mendadak dan membuatku turun kesini dan memesan es krim jumbo untuk dua orang sekaligus.
    Saat memikirkan semua ini, mungkin pelayan wanita tadi terus saja memandangiku, sebab ketika kuarahkan tatapanku pada matanya, persis ke bola matanya, tiba-tiba saja dia terlihat gugup dan merasa bersalah. Aku tahu dia memang memandangiku dari tadi. Saat gadis itu mengantar pesananku, kukatakan dia boleh duduk di sini begitu jamnya untuk beristirahat tiba.
    "Tadi Anda bilang semua untuk Anda sendiri?"
    "Saya tidak bisa makan es krim sendiri dan saya rasa Anda boleh duduk di sini dan biarlah saya yang traktir," kataku.
    Aku agak heran dengan kalimatku barusan, karena biasanya aku tidak begini. Pada situasi normal aku tidak pernah bisa berbicara dengan wanita asing secara lancar, tetapi kali ini tidak. Mungkin karena aku masih shock dan merasa seakan-akan jiwaku balik lagi ke tubuh yang kubawa setelah batal melompat, maka sikapku menjadi berbeda dari biasanya.
    Apa benar jiwaku kembali?
    Aku pikir, kalau itu benar, penyebabnya adalah pikiran soal ibuku yang barangkali masih hidup. Pikiran itu membuatku melayang ke berbagai kemungkinan baru yang tak pernah kubayangkan. Kemungkinan-kemungkinan itu, misal, aku jauh lebih percaya diri karena ternyata tidak sebatang kara di dunia ini. Aku juga jauh lebih bahagia, karena masih ada yang dapat kusayangi dan menyayangiku. Aku tidak memikirkan soal apakah ibuku ternyata adalah orang dengan watak keras dan sulit menyayangi anaknya sendiri. Aku membuang pemikiran itu sejak dalam lift. Aku hanya memikirkan hal-hal positif yang melahirkan harapan dalam kepalaku.
    Gadis itu pun tidak menolak tawaranku. Dan rupanya dia baru saja memulai waktu istirahatnya, jadi dia duduk dan menikmati es krimnya tanpa sedikit pun menatapku. Aku sebenarnya sangat jarang menatapnya dan hanya fokus memandang jalanan di luar kedai, persisnya di bagian bawah gedung pencakar langit tadi, yang penuh orang-orang berdasi dengan masa depan dan rencana-rencana yang kuyakin sangatlah mewah.
    Pada satu momen, kukatakan pada gadis itu, "Saya sudah lama kerja di gedung itu, tetapi tidak pernah tahu siapa ibu saya."
    "Hmm?"
    "Saya tidak pernah tahu siapa ibu saya," kataku.
    Gadis itu belum meresponsku dengan serius sampai kuakui bahwa belum lama ini aku sempat nyaris bunuh diri. Dia terlihat kaget dan bertanya itu kapan. Kujawab saja kalau itu terjadi beberapa menit sebelum kupesan es krim di kedai tempatnya bekerja ini. Gadis itu terlihat jauh lebih kaget.
    Setelah itu, dia sedikit berbicara dan mengatakan bahwa ibunya juga tidak tahu di mana rimbanya. Katanya, itu terjadi tujuh belas tahun lalu, setahun setelah dia lahir. Dia ditaruh di bawah bangku sebuah bus dan ditemukan oleh seorang kakek pengamen. Dia dirawat sampai umur tiga tahun, namun kakek itu mati pada suatu sore.
    "Setelah dia mati, aku sebatang kara, berjalan ke sana kemari sendirian, cari makan sendirian, sampai nyaris diculik beberapa penjahat. Tetapi aku diselamatkan oleh orang yang baik dan dia pun menjadi ibuku sampai hari ini."
    Kubilang betapa dia sangat beruntung mendapat ibu, walau bukan ibu kandungnya. Aku sendiri memang mendapat banyak perhatian di panti asuhan selama beberapa tahun, tapi tidak pernah ada yang berniat menjadikanku anak angkat dengan kasih sayang yang tulus. Memang sempat tiga kali aku dibawa oleh dinas sosial untuk diasuh oleh orangtua angkat, tetapi mereka tidak ada yang serius dan hanya mengharap uang kompensasi saja, sedang di sisi lain mereka memperlakukanku seperti budak.
    Untuk beberapa lama aku dan gadis itu bertukar cerita pahit masa lalu kami berdua, sampai dia pun kembali bekerja dan aku memutuskan menunggunya hingga jam pulang. Dia terlihat heran waktu kujemput dari pintu belakang kedai begitu jam pulangnya tiba. Kami berjalan bersisian di bagian kota yang gelap dan dingin. Dia bilang, aku tidak dapat mampir ke rumahnya karena ada ibunya. Ibunya tidak senang dia membawa-bawa lelaki.
    "Saya cuma mau mengantarmu," kataku pendek.
    Begitulah. Perkenalanku dengan Ineke berlanjut dengan pertemuan kami di waktu selanjutnya, di kedai tempatnya bekerja atau di tempat-tempat lain seperti perpustakaan, stadion, museum seni, hingga konser band terkenal. Itu hiburan yang sama-sama kami gemari. Aku cepat melupakan kalau aku pernah mau bunuh diri.
    Suatu hari kutunjukkan kalung berisi nama ibuku itu padanya dan dia bilang tidak pernah bertemu wanita usia lima puluh ke atas dengan nama tersebut. Lalu Ineke bilang, dia berjanji membantuku mencari ibu kandungku. Ke mana pun itu, kita memang harus mencoba, begitu katanya.
    Sejak itu aku sering mampir ke rumah Ineke. Lebih tepatnya empat kali aku ke sana dan bertemu ibunya yang agak ketus. Dia sering bertanya-tanya soal diriku seakan aku adalah bajingan yang siap menipu Ineke demi mendapatkan seks dengan gratis dan semau-maunya. Aku tidak seperti itu, tapi wanita tua itu mengerti pada akhirnya.
    Sampai sejauh itu, ibu Ineke belum tahu niatan kami mencari ibu kandungku yang telah hilang sejak 30 tahun silam. Suatu kali, karena sakit, Ineke dimarahi oleh ibunya. Aku minta maaf berulang kali, karena gara-gara aku, putrinya sakit.
    "Memangnya kalian dari mana? Jangan-jangan anakku kamu gagahi, ya?!" sembur wanita tua itu.
    "Ibu jangan begitu," sela Ineke. "Kami tidak pernah begitu. Aku mengantar Mario mencari seseorang yang lama meninggalkannya."
    Akhirnya kami menjelaskan perkaranya. Kutunjukkan kalung dengan nama ibuku pada ibu Ineke. Sejak itu, ibu Ineke tidak lagi bertanya apa pun. Dia jadi jauh lebih lunak padaku dan bersikap lebih baik, seakan diriku juga anaknya sebagaimana Ineke. Aku bahagia dan tidak lagi merasa kosong seperti dahulu. Hanya saja, masih ada bagian yang belum lengkap selama ibuku belum ditemukan.
    Suatu hari, ibu Ineke jatuh sakit. Kami menghentikan usaha kami menelusuri setiap nama yang persis dengan yang tercetak di kalung itu. Kami menungguinya di kamarnya yang terang dan sejuk. Di sana, wanita itu memintaku menjaga Ineke dengan baik. Dia meminta agar kami segera menikah saja, karena kelihatannya kami saling menyukai.
    Ineke menangis tersedu-sedu. Sebelum meninggal, wanita tua itu memberiku surat. Sebuah surat yang harus kubaca setelah dia dikebumikan nanti. Aku tidak tahu isi surat itu, begitupun Ineke. Kami baru tahu betapa ternyata perempuan itu adalah ibu kandung yang dahulu meninggalkanku di pintu panti asuhan. Dia melakukan itu karena terdesak masalah ekonomi. Begitu kembali lagi tujuh belas tahun lalu untuk menjemputku, aku sudah tidak ada di panti. Dari situlah dia kemudian merawat Ineke untuk mengobati rasa bersalahnya.
    Sepanjang malam kami menangis bersama. Tak ada yang terlambat dari pertemuan ini. Tak ada. Tetapi, yang jelas aku tidak lagi merasa kosong dan hidupku kini jauh lebih berarti, setidaknya bagi diriku dan Ineke. [ ]

    Gempol, 2014-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya berjudul Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri