Skip to main content

[Cerpen]: "Seandainya Peluru yang Kautembakkan ke Langit Jatuh Kembali ke Bumi" karya Ken Hanggara

(Dimuat di kurungbuka, Minggu, 31 Maret 2019)

    Brenda membayangkan sebutir peluru yang pada suatu hari tertentu dilontarkan ke langit oleh seorang bajingan tengik mendadak saja jatuh ke bumi dan menimpa kepala mungil adiknya yang tak berdosa.
    "Apa bisa begitu?"
    Seandainya bisa, mungkin adiknya tewas seketika, dan itu membuat Brenda, bocah sembilan tahun ini, merinding ketakutan.
    Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan macam ini, bahkan Ibu yang paling pintar di rumah.
    Tak ada orang dewasa sepintar Ibu yang dapat menjawab setiap tanya yang Brenda dan adik lontarkan selama ini. Apa saja mereka tanyakan, dan Ibu tak pernah tak dapat menjawab semua. Ibu tahu hampir semua hal di dunia ini, tetapi sewaktu Brenda tanya soal peluru yang pada suatu hari ditembakkan ke langit oleh seseorang mendadak jatuh kembali ke bumi, Ibu cuma bilang, "Sebaiknya kita tidur."
    Brenda tidak mengantuk saat Ibu berkata begitu, tetapi pertanyaan mengerikan ini tetap dia simpan di kepala. Demikianlah, karena belum mendapat jawaban, nyaris setiap hari Brenda selalu kepikiran dan membayangkan adiknya yang baru berumur tiga tahun itu mati seketika karena kejatuhan peluru.
    "Jika adikku mati, Ibu dan aku akan bersedih. Dan aku juga tidak bisa bermain lagi. Sebenarnya aku bisa bermain dengan teman-teman di sekolah, tapi mereka jahat dan tak seperti adikku yang pendiam," pikir Brenda. Betapa dunia berubah menjadi mengerikan tanpa adanya permainan-permainan, dan itu bisa terjadi hanya karena sebutir peluru!
    Brenda tahu betapa adiknya sangat berarti, dan karena itulah pikiran soal peluru yang mungkin jatuh ke bumi, setelah beberapa lama melayang di langit, menjadi mimpi buruk. Sering Brenda bangun tengah malam dan mencari adiknya, yang ternyata masih tidur dengan manis di sisi Ibu. Di mimpi, ia melihat kepala sang adik bolong.
    Brenda menyayangkan kepergian ayahnya setahun silam, ke surga, karena konon ia dengar dari sang ibu bahwa Ayah terlalu baik. Ayahmu terlalu baik, dan Tuhan butuh begitu banyak orang baik di surga sana, guna membagi-bagi makanan enak untuk para penghuni surga, begitulah tutur Ibu.
    Kalau saja Ayah masih ada dan tidak ke surga, ia tidak akan terlalu cemas, karena adiknya ada yang menjaga. Ibu juga bisa menjaga adik, tetapi Ibu tidak tahu soal peluru yang mungkin jatuh dari langit.
    "Saya pikir ayahmu lebih paham, karena dia laki-laki," kata Bang Dakir, tetangga yang dikenal kurang waras.
    Sebenarnya, selain bersama sang adik, Brenda sesekali juga bermain dengan Bang Dakir. Mereka biasa tebak-tebakan, atau kalau sedang malas, lelaki usia tiga puluhan itu bercerita panjang lebar sebagaimana tukang dongeng, dengan nada bicara yang begitu berirama dan meyakinkan, dan Brenda serta adiknya duduk manis untuk mendengarkan. Biasanya, cerita- cerita Bang Dakir soal kejayaan di masa mudanya, yang tentu hanya semacam khayalan orang sinting.
    Pada suatu hari Bang Dakir pernah bercerita bahwa ia terjun ke medan perang. Tak ada di antara dua kakak beradik yang masih kecil itu, yang protes atau menyangkal tiap kalimat yang Bang Dakir katakan. Semua mereka telan mentah-mentah hanya karena si pendongeng adalah lelaki yang sangat ramah dan tidak punya teman. Brenda amat suka berteman dengan Bang Dakir yang tidak pernah mengejeknya sebagai anak tidak jelas atau bocah pesek dengan kulit belang-belang. Intinya, Brenda tahu Bang Dakir adalah sahabat yang baik. Adakah sahabat tega berdusta?
    Di perang tadi—begitu cerita Bang Dakir—terjadi baku tembak antara tentara dari Jepang dan pejuang Indonesia. Suatu kali Bang Dakir yang mengaku ikut berperang ini tidak sengaja menembakkan peluru ke langit, padahal di sana tidak ada apa-apa selain beberapa ekor burung.
    "Burung-burung itu mati?" tanya Brenda antusias.
    "Oh, tidak. Tidak ada burung yang mati, karena tidak ada bangkai burung jatuh."
    Bang Dakir meyakini bahwa peluru yang ia tembakkan ke langit tadi tersesat di luar angkasa, ke suatu tempat yang tidak terjangkau oleh manusia, sebab manusia bukan burung yang memiliki sayap. Kenyataan bahwa peluru tersebut mungkin saja bisa jatuh tanpa diduga, membuat Bang Dakir menyatakan ia harus berhenti berperang.
    "Kenapa?" tanya Brenda.
    Dan Bang Dakir memberikan jawaban yang membuat Brenda berpikir apakah bisa peluru yang pada suatu hari ditembakkan ke langit, mendadak jatuh kembali ke bumi? Ia tak yakin dan terus bertanya-tanya, dan karena Bang Dakir orang yang baik, ia tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Bahwa sebutir peluru mungkin saja bisa jatuh, boleh jadi itu benar, tetapi bukan peluru yang dulunya ditembakkan oleh Bang Dakir ke langit secara tidak sengaja, melainkan sebutir peluru yang dulunya ditembakkan oleh seorang bajingan tengik.
    Berapa orang yang tidak sengaja menembakkan peluru ke langit tanpa mengenai burung-burung?
    Berapa banyak pahlawan atau bajingan yang menembakkan pelurunya ke langit tanpa sengaja?
***

    Brenda sulit tidur setelah beberapa kali mimpi buruk mengganggunya, sedang Ibu tidak dapat memberi penjelasan apa-apa. Adiknya memang tampak tak peduli, karena ia amat kecil dan belum paham bahwa kepala bolong dapat membuatmu mati. Brenda tahu kepala seekor ikan milik temannya bolong, karena dipaku oleh temannya yang lain, dan ikan itu kemudian mati seketika. "
    Kalau kepala orang bolong karena kejatuhan peluru, sudah pasti dia mati."
    Itulah yang Brenda yakini. Dan kalau kepala adiknya yang kena, anak itu juga pasti mati.
    Bagaimanapun, adiknya adalah teman bermain selain Bang Dakir. Kematian sang adik akibat peluru yang mungkin jatuh dari langit dapat mengubah seluruh hidupnya ke arah yang jauh lebih buruk. Dengan adanya Adik dan Bang Dakir, sekolah yang neraka dapat diimbangi dengan keadaan rumah yang seperti surga.
    Brenda takut, jika adiknya mati terkena peluru jatuh, pada akhirnya seluruh surga di hidupnya yang sederhana akan tercerabut. Dan ia juga tidak akan enak bertemu lagi dengan Band Dakir, yang tak berani membayangkan peluru yang mengenai kepala adik Brenda adalah peluru yang dahulu ia tembakkan ke langit semasa perang.
    Semua ini benar-benar rumit dan mengerikan di kepala Brenda yang masih berusia sembilan tahun dan kurang kasih sayang seorang Ayah. Memang sebelum ayahnya mati oleh suatu kecelakaan, jarang sekali Brenda bicara dengan sang ayah. Bahkan, ayahnya nyaris tak pernah mengajaknya bicara. Ayahnya selalu duduk diam dan membaca koran atau buku atau sekadar menonton berita, dan berbicara pelan-pelan dengan Ibu sesekali, atau keluar entah ke mana sampai malam hari.
    "Seandainya ada Ayah di sini, seperti kata Bang Dakir, aku tidak ketakutan seperti ini. Aku bisa tanya apa benar peluru bisa begitu. Maksudku, apa benar peluru bisa jatuh dari langit?" keluh Brenda di depan Bang Dakir.
    "Ya, sayangnya ayahmu sudah di surga, dan biasanya kalau sudah ke sana, orang tidak mungkin pulang."
    Karena tidak enak melihat ketakutan Brenda semakin menguat, pada suatu hari saat mereka bertemu lagi, Bang Dakir menjelaskan bahwa peluru yang sudah tersesat di luar angkasa sana tidak akan bisa balik ke dunia. Peluru tersebut sudah mengenai beberapa benda langit dan kemudian hancur berkeping-keping.
    "Kok begitu?" tanya Brenda dengan heran.
    "Anggap saja begitu. Saya juga lebih senang menganggapnya begitu, karena kalau peluru yang ditembakkan ke langit bisa kembali lagi ke bumi pada suatu hari nanti, tak ada orang yang bisa hidup tenang. Semua orang takut adiknya mati dengan kepala yang bolong. Kamu mau adikmu begitu?"
    "Tidak mau!"
    "Ya, sudah. Anggap saja peluru yang pernah ditembakkan ke langit tidak akan bisa jatuh kembali ke bumi."
    Brenda menatap mata Bang Dakir yang tampak cemas dan kebingungan, dan tentu saja anak itu jauh lebih kebingungan, karena bukankah selama ini Bang Dakir sahabat yang bisa dipercaya dan dapat menceritakan segala macam hal?
    Brenda pulang dan tidak bicara cukup lama. Ibu sering melihat anak sulungnya ini diam sejak bertanya soal peluru dari langit. Bukannya tidak mau menjawab. Ibu hanya tidak tahu saja bagaimana cara menjawab pertanyaan semacam itu dengan benar. Tidak semua orang bisa mendengar cerita tentang peluru yang ditembakkan ke langit pada hari tertentu, terutama anak kecil.
    Mulai hari itu, Ibu berpikir untuk menjauhkan Brenda dan adiknya dari Bang Dakir, yang tentu harus dilakukannya dengan cara khusus, supaya anak-anaknya tidak bersedih karena dilarang berteman, padahal mereka tak punya terlalu banyak teman. [ ]
   
    Gempol, 2017-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, puisi, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri