Skip to main content

[Cerpen]: "Musuh Mudakir" karya Ken Hanggara

Sekadar ilustrasi. Salah satu lukisan seniman Affandi.
(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 20 Januari 2019)

    Suatu saat Gusnaldi harus mati. Itu yang Mudakir impikan persis di malam tahun baru. Tanggal 3 Januari, Gusnaldi ditemukan tewas gantung diri. Tidak ada tanda-tanda perlawanan dan perkelahian, yang artinya dia bekerja sendirian. Mudakir melenggang ke sana kemari, karena meskipun semua tahu mereka bermusuhan, tidak ada yang bisa membuktikan kematian itu datang oleh ulahnya.
    Pada momen yang lain, bertahun-tahun setelahnya, sebuah pertikaian terjadi. Bung Timo, lelaki bertato dan raja dari segala preman, menghajar Mudakir habis-habisan dan membuatnya masuk rumah sakit selama delapan hari. Mudakir sang ceking, maju lawan lelaki terkuat sekota, tentu saja sudah dapat ditebak hasilnya. Tangan dan salah satu kaki patah, perut koyak moyak, dan telinga kanan hilang entah ke mana.

    Mudakir masih bisa tertolong, namun suatu malam, dengan sakit hati yang belum lunas, dia bermimpi si jagoan mati. Besoknya, Bung Timo mengerang-ngerang setelah sebuah truk oleng dan melibas sebagian tubuhnya hingga terbelah menjadi dua. Ususnya berserakan, pinggulnya hancur tak keruan, namun tak ada yang berani menolong hingga ambulans datang. Bung Timo melewati sisa napasnya dalam seperempat jam ke depan sembari menyesali seluruh dosanya.
    Tak ada yang tahu pasti berapa jumlah musuh Mudakir sepanjang dia hidup. Andai saja seseorang dicipta Tuhan ke muka bumi demi tugas sepele itu, barangkali dia dapat menyebutkan sejumlah angka, namun tentu saja itu sudah tak lagi penting. Itu sudah tak perlu digaung-gaungkan, sebab beberapa orang mulai menyadari bahwa musuh-musuh Mudakir selama ini selalu berakhir dengan cara yang mengerikan. Jika saja mereka mati karena perbuatan Mudakir, itu lain soal. Bahkan, Mudakir saja tak pernah bisa melukai ayam.
    Orang-orang mulai membangun rumor soal Mudakir yang memelihara suatu ilmu. Tak ada yang tahu pasti ilmu apa itu, jika memang betul ada. Tak juga ada yang percaya andai saja ada yang sengaja melindungi Mudakir dari luar sana dengan hal-hal gaib. Tak ada yang tak tahu betapa Mudakir sangat tertutup dan tak dapat bergaul dengan banyak orang. Orang-orang yang berinteraksi dengannya sebagai hubungan penjual dan pembeli tak ada yang benar-benar bisa mengenalnya. Meski rumor ini beredar begitu luar biasa, toko Mudakir tak kehilangan pelanggan. Tentu saja, setiap orang jadi berpikir, jika saja mereka membuat masalah dengannya, bisa jadi merekalah korban berikutnya. Pilihan terbaik bagi mereka hanyalah menjalani hidup sehari-hari seperti biasa.
    Benarkah demikian?
    Mudakir tak ambil pusing, meski dia tahu bisik-bisik tetangga soal itu. Seisi dusun, bahkan seluruh desa, mulai mengenalnya, meski tak semua benar-benar tahu tampang si Mudakir yang ceking dan pengusaha pakan ternak ini. Tak semua juga tahu bagaimana Mudakir dihajar habis-habisan oleh Bung Timo sampai bersimbah darah dan membuat banyak orang di TKP berpikir dirinya sudah mampus. Mereka hanya tahu bahwa setiap orang yang bermasalah dengannya, akan berakhir dengan kematian mengerikan.
    Gusnaldi mungkin bukan "korban" pertama. Mungkin saja, jauh sebelum pindah ke desa ini, dulu semasa mudanya, sudah banyak pula orang yang menjadi "korbannya". Di desa ini setidaknya Mudakir dianggap sebagai lelaki sakti yang tidak bisa disepelekan, apalagi kematian dukun santet bernama Pamuji juga diyakini sebagai akibat dari perang dingin antara mereka berdua.
    Sejak rumor itu berkembang biak hingga sulit dihentikan lajunya, orang-orang tak lagi pernah membuat masalah dengan Mudakir. Preman kelas wahid pun, yang dahulu kala digadang-gadang sebagai penerus Bung Timo dalam soal tukang bikin onar di desa, tak berkutik sama sekali ketika bertemu muka dengan Mudakir. Pelan dan pasti, desa ini bebas dari gangguan sampah masyarakat yang secara tak sengaja membuat warga mulai menyukai keberadaan Mudakir.
    Memang aneh; mereka menyukai, tapi tak pernah benar-benar mengakrabinya. Tak pernah Mudakir mempersoalkan ini. Baginya sendiri, selama hidupnya tak diganggu, ia tak harus merepotkan orang-orang. Ia sendiri merasa dirinya sudah tercukupi, karena tak ada yang menjegal bisnisnya. Sekarang dia juga mempunyai bisnis baru berupa depot di tepi jalan raya, dekat gerbang desa.
    Pada suatu hari, empat tahun usai kematian musuh terakhirnya, Mudakir mendapati masalah sekali lagi, dengan seorang anak pejabat. Anak pejabat itu mendatangi pesta di sebuah penginapan di atas bukit. Pulangnya, nyetir mobil sambil mabuk-mabukan, yang membuatnya menabrak bocah perempuan sampai mati. Bocah itu tewas seketika dengan kepala pecah dan membuat Mudakir, yang kebetulan berada di lokasi kejadian, terbakar emosi. Bocah itu bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang bocah, tapi Mudakir tak mampu mengendali amarah. Dia bergelut dengan si anak pejabat untuk beberapa menit sampai tubuhnya harus mengalami luka tusuk di beberapa bagian. Anak pejabat itu kabur tanpa ada saksi.
    Beberapa hari kemudian, Mudakir dikabarkan meninggal karena kehabisan darah. Ia tidak segera ditolong warga karena kejadian itu larut, dan entah bagaimana pula jasad seorang gadis dari desa sebelah ditemukan mati tak jauh dari tempat Mudakir berbaring dengan tubuh berdarah-darah.
    Segala misteri mengudara dan membuat setiap orang kembali berspekulasi, bahwa sang gadis ada kaitannya dengan ilmu gaib yang Mudakir bawa. Sayangnya, dugaan itu keliru setelah orang tua gadis tersebut ditemukan dan mereka tahu bahwa si gadis sudah menderita penyakit mental tertentu yang membuatnya sering kabur dari rumah.
    Mudakir dimakamkan dua hari kemudian dengan upacara pemakaman yang begitu biasa dan tak ada air mata, karena memang dia hidup sendirian tanpa anak-istri, apalagi saudara. Orang-orang tak ada yang mendengar (dan jika pun mereka dengar, tak bakal peduli juga) kabar kematian "korban" terakhir, yakni si anak pejabat, setelah mobilnya terperosok ke jurang di malam yang sama usai Mudakir ditikam. Mereka tak mendengar kabar tentang sebuah kuburan yang tiba-tiba hilang beberapa tahun kemudian. Kuburan itu berisi jasad sosok tertentu yang dianggap sakti, yang mampu membunuh tanpa harus menyentuh lawan, yang disegani dan dicintai tanpa diakrabi. Kuburan itu hilang tanpa bekas dan kelak, entah berapa tahun lagi, akan terjadi sebuah kuburan baru dari jasad itu pula, yang mati dengan entah cara yang bagaimana. Namun, tentu saja, sebelum maut itu kembali datang, kematian demi kematian para musuh Mudakir kembali harus terjadi, dengan alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk dunia yang lebih aman dan damai.

    Gempol, 2 Januari 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri