Skip to main content

[Cerpen]: "Kematian Raja Pelit" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 31 Maret 2019)

    Halaman rumah Ali Sapono tidak pernah seramai itu sejak bertahun-tahun lalu. Di siang yang cukup gersang itu, warga desa berbondong-bondong untuk melihat betapa si raja pelit itu, lelaki sebatang kara yang konon tidak pernah menikah seumur hidupnya itu, telah mati gantung diri.
    Kabar yang nyaris terdengar bagai dongeng belaka ini memang sempat diragukan. Orang-orang tidak percaya Ali Sapono mati begitu saja dengan cara gantung diri. Sejauh yang mereka tahu, orang-orang pelit akan tetap bertahan di muka bumi tanpa ingin cepat mati. Bukankah itu tujuan menjadi pelit? Agar tidak cepat mati.
    Sebagian orang percaya, karena yang membawa kabar itu adalah sosok yang cukup disegani dan tidak suka bohong: Mudakir, sang ahli ibadah.
    Pada mulanya seorang perempuan bermaksud ke rumah Ali Sapono untuk bertamu. Perempuan itu datang dari jauh. Dari sebuah kota di balik pegunungan yang hanya bisa dilihat jika siapa pun berdiri di titik tertinggi desa ini, di suatu bukit, yang berdiri kokoh di bagian paling utara desa. Titik terjauh itu cukup menggambarkan si tamu benar-benar datang dari tempat yang jauh.
    Si tamu tidak mendapat bantuan dari orang-orang yang mengenal tabiat Ali Sapono, untuk mengantarnya ke rumah yang bersangkutan. Mereka malah enggan untuk sekadar memberi arahan ke mana kiranya si tamu ini harus berjalan, karena tata letak jalanan di desa ini hampir-hampir menyerupai labirin. Siapa pun yang tidak akrab bisa tersesat dan butuh petunjuk dari warga sekitar.
    Warga yang menolak memberitahu si tamu itu bukan berbuat tanpa alasan. Si raja pelit terkenal kaya dan tidak sedikit para bajingan yang mau membobol rumahnya kudu pulang dengan membawa sial. Si raja pelit gemar membentengi diri dengan cara yang berlebihan. Parahnya, dia tidak pandang bulu.
    Suatu kali seorang bocah memanjat pagarnya hanya demi layang-layang, dan tentu saja bocah itu ditembak oleh Ali Sapono di bagian betisnya. Kejadian lain bahkan tidak kalah mengerikan, yakni saat Ali Sapono masih memelihara anjing galak dan ketika itu seorang tukang pos mengetuk pintu gerbang rumahnya. Tahu-tahu beberapa ekor anjing melompat keluar dari lubang kecil di dekat semak belukar, dan mengejar tukang pos itu sampai dapat.
    Kepelitan membuat orang-orang gila. Kepelitan melahirkan kegilaan di kepala Ali Sapono. Demikian yang orang-orang desa yakini. Bahkan, bukan hanya penjahat yang ingin membobol rumahnya saja yang kena; mereka yang tidak bermaksud menyenggol harta bendanya pun juga ketiban sial.
    Hanya saja, di desa itu, tidak semua orang berpikiran demikian. Mereka membenci Ali Sapono karena kepelitan dan kegilaannya, tetapi tidak dengan ahli ibadah itu. Lelaki bernama Mudakir itu tidak pernah ada urusan dengan raja pelit, tapi saat ada perempuan dari luar kota ingin bertamu ke rumah pria kaya raya tersebut, dia dengan senang hati mengantarnya.
    Mudakir mengantar si tamu tepat hingga ke depan gerbang rumah Ali Sapono yang megah dan memiliki tinggi nyaris sepuluh meter, dengan kawat dan segala tetek bengek pengamanan yang begitu mencolok dengan rumah-rumah kecil di sekitarnya. Tentunya, dahulu, rumah-rumah kecil itu masih dihuni oleh pemiliknya. Tetapi sejak kedatangan Ali Sapono, rumah-rumah itu jadi kosong karena sengaja dia beli demi rasa aman.
    Suatu kali orang pelit itu pernah berkata, "Lebih baik saya tinggal sendirian dalam radius setengah kilo daripada harus tinggal dekat dengan orang-orang yang bermaksud mencolong duit saya!"
    Alhasil, rumah Ali Sapono bagai istana di tengah hutan. Rumah-rumah kecil tidak berpenghuni itu bagaikan rimbun pepohonan yang dihuni hantu-hantu karena tak sekali pun si raja pelit terpikir untuk merawat mereka. Sebuah lubang khusus terlihat persis di dekat tombol bel di gerbang depan; lubang yang tersedia bagi siapa pun yang berniat mengantar barang-barang untuk Ali Sapono. Lubang ini dibuat usai kejadian tergigitnya tukang pos itu dan mengamuknya warga lantaran sikap berlebihan seorang yang terlalu mencintai harta bendanya.
    Karena keberadaan tombol bel yang dekat dengan lubang inilah, ketika Mudakir hendak memencetnya, dia sadari beberapa benda kiriman tergeletak begitu saja di tanah saking tidak muatnya lubang yang berupa saluran panjang ini demi menampung seluruh barang kiriman dari pos dan para kurir.
    "Berapa lamakah seseorang mengambil kiriman-kiriman untuknya dari kotak pos pribadi? Berapa lama sampai jadi sebanyak ini?" batin Mudakir. Ia memencet tombol bel.
    Tak seperti rumor yang selama ini kerap disebar; tak ada suara senjata terkokang dari dalam sana. Mudakir masih keheranan dengan situasi yang ganjil ini. Tamu yang berdiri di dekatnya terlihat gelisah. Mendadak saja perempuan itu meminta agar mereka membuka paksa gerbang rumah Ali Sapono.
    "Saya bukan maling. Kita bukan maling. Kita tunggu saja sampai pemilik rumah keluar," tukas Mudakir.
    "Saya tidak yakin itu bakal terjadi."
    Dari sinilah identitas perempuan misterius itu terkuak. Ternyata, si raja pelit tidak benar-benar sebatang kara di dunia. Dahulu dia pernah menikah dan tentu saja memiliki beberapa anak. Sebagian besar anaknya meninggal, lantaran ia terlalu pelit mengurus mereka. Sebagian bertahan. Dua anak yang bertahan itu salah satunya minggat ke Eropa dan tidak sudi kembali, karena muak dengan masa lalu dan muak dengan kenyataan soal dari benih manusia jenis apa dia bisa muncul ke muka bumi ini. Sedangkan, satu anak lagi, kini berdiri tepat di depan rumah ayahnya.
    Mudakir mendengar penjelasan wanita itu sambil terbengong-bengong, dan mereka tidak sadar telah duduk begitu lama di depan gerbang itu demi sebuah pengakuan dari seorang anak yang ingin menemui ayahnya sebelum ajal datang menjemput. Bagaimana si perempuan itu tahu betapa Ali Sapono akan mati dalam waktu dekat adalah dari satu telepon yang mengganggunya pada suatu siang yang bolong. Dalam telepon itu, lelaki yang lama tidak bertegur sapa dengan anaknya ini mengakui, jika dia tidak tahan hidup begini. Dia tidak tahan dikucilkan, tetapi sekaligus tidak tahan membiarkan orang-orang berkeliaran seenak mungkin di dekat hartanya.
    Pada suatu malam, Ali Sapono bermimpi kehilangan seluruh harta bendanya dan jatuh miskin dan hidup telantar di kota-kota. Dia tidak sudi mati dengan kondisi begitu, tapi yakin betapa mimpi itu akan jadi nyata. Untuk itu, Ali Sapono tahu, waktu kematian yang tepat adalah saat masih benar-benar bisa melihat hartanya berada dalam pelukan. Tentu saja anaknya ini tahu jika dia harus pulang untuk memastikan ayahnya baik-baik saja.
    Setelah sekian kali bel dipencet dan tidak ada reaksi apa pun dari dalam sana, dua orang ini sepakat untuk memanjat pagar rumah megah itu. Ada bagian yang tidak sarat jebakan di sisi samping yang berbatasan dengan sebuah pohon. Keduanya memanjat ke pohon itu, lalu dengan mudah berpindah ke bagian atas pagar dan turun ke sisi lain, yang berada tepat di halaman samping rumah Ali Sapono. Dari situ aroma tidak sedap terendus dan keduanya lari pontang-panting tanpa kata-kata mengikuti sumber bau, dan di sanalah Ali Sapono ditemukan; tergantung begitu saja dengan tubuh yang membusuk. Tergantung persis di bawah jendela kamarnya yang indah.
    Sejak bertahun-tahun lalu, seluruh bagian rumah itu sepi dan hanya dihuni oleh Ali Sapono. Siang itu, orang-orang berbondong mengikuti para polisi dan petugas forensik yang datang untuk mengurus jasad sang lelaki pelit. Orang-orang bukannya tertarik ke soal bagaimana kondisi jasad si raja pelit saat ini, tetapi mereka justru terpaku menatap betapa indah rumah yang dikurung benteng raksasa ini. Betapa sia-sianya setiap jengkal dari rumah ini, karena tak seorang pun boleh menikmatinya, meski sekadar melihatnya saja.
    Sampai sore, rumah Ali Sapono tidak henti disambangi orang-orang dari seluruh penjuru desa, dan mereka kini terpuaskan oleh rasa penasaran selama bertahun-tahun tentang bagaimana menjadi orang sekaya itu. Mereka kini dapat duduk di sofa, di meja makan, berbaring di kamar-kamar, dan bahkan memakai WC duduk Ali Sapono yang dibuat dengan biaya mahal. Mereka juga bisa makan dari kulkas dan meja makan si raja pelit. Mereka bisa duduk-duduk santai dan menonton televisi bagaikan menonton layar tancap saja. Mereka dapat merasakan apa pun yang dulunya hanya pernah dirasakan Ali Sapono seorang.
    "Sayang sekali, ya," celetuk seseorang kepada seorang yang lain di depan televisi.
    "Kenapa?"
    "Sayang sekali. Ali Sapono hidup dengan kondisi yang senikmat ini, tapi dia tidak pernah benar-benar menikmati hidupnya."
    "Memang," sahut orang ketiga yang tahu-tahu datang membawa satu stoples berisi keripik keju. "Sepatutnya kita bersyukur hidup miskin, tidak kaya seperti tetangga yang pelit ini, kalau sepanjang hidup hanya dihabiskan untuk menjaga harta bendanya."
    Tentu saja, obrolan semacam ini terjadi di banyak titik di rumah itu, kecuali di satu titik di mana perempuan yang bertamu dari tempat jauh tadi menangis tersedu-sedu dan ditemani oleh Mudakir serta seorang petugas kepolisian yang tidak bisa berkata apa pun tentang matinya Ali Sapono. [ ]
   
    Gempol, 22 Maret 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya berjudul Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri