Skip to main content

[Cerpen]: "Undangan Makan Malam" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: keponews.com
(Dimuat di Bangka Pos, Minggu, 10 Februari 2019)

Tetanggaku yang seorang kutu buku sering mengundangku makan malam dan dia hampir selalu memaksa. Aku sendiri sudah mual dengan masakan istrinya. Suatu waktu aku mengatakan harus pergi ke rumah pacarku dan kutambahkan betapa aku sudah janji mengajak gadis itu jalan-jalan. Tentu aku tidak punya pacar dan si kutu buku tidak perlu tahu. Aku hanya bohong demi tidak mencicipi sup busuk buatan istrinya.
    Sup itu, asal Anda tahu, betul-betul busuk. Aku tidak paham bagaimana kutu buku itu menjalani hari dengan sup busuk sepanjang waktu. Anehnya, dia tetap saja hidup dan dapat membaca setiap hari. Tetanggaku yang ini lumayan hebat. Koleksi bukunya ada seribu lebih. Aku heran. Bagaimana bisa orang sepintar itu bisa dengan mudah dibodohi sang istri dengan sup busuk?
    Aku bukan menuduh istrinya kurang ajar atau ingin menghabisi suaminya pelan- pelan atau bahkan gila. Dia hanya perempuan yang tidak tahu bagaimana cara memasak dan mengurus makanan agar tidak cepat busuk.
    Sup itu selalu dingin dan berlendir dan terkadang lengket di lidah. Setiap kali aku diundang makan dan dijamu sup tersebut, ketika kusendok kuahnya sedikit demi sedikit, rasanya seperti bunuh diri saja. Di sisi lain, tetanggaku si kutu buku malah santai saja menelan supnya seakan santapan itu sehat.
    Sebenarnya lama kutahan satu keinginan terbesarku, semacam hasrat yang muncul dari watak welas asih; aku ingin memperingatkan si kutu buku itu bahwa jika ia terlalu sering makan sup busuk ini, ia bisa mati.
    Ingin kukatakan, "Bung, Anda boleh terus-terusan begini. Anda boleh mengundang siapa saja makan malam dengan sajian begini rupa, tetapi ingatlah malaikat maut ada di mana-mana dan kita termasuk dalam daftar antrean. Maksud saya, daftar malaikat maut yang ditulis di kertas seperti ketika Bung harus antre dan seseorang memanggil Bung dengan nomor sesuai urutan. Sup itu, asal Bung tahu, bisa jadi semacam legalisasi bagi malaikat maut buat mempercepat giliran kita!"
    Tentu aku paham kalimat tersebut agak menjijikkan dan berlebihan, dan barangkali membuat orang yang hidupnya kelewat santai menganggapku orang yang kurang asyik dan tidak pintar bergaul. Tetapi, menjadi lawan kutu buku, kita harus bisa mengimbangi, minimal dengan pilihan kata yang diucapkan. Misalnya, aku ingin pamit ke kamar kecil untuk berak, aku harus mengungkapkan dengan cara begini: Sabuk saya terasa kencang. Bolehkah saya memakai toilet Anda? Dan ucapan-ucapan semacam itu.
    Tetanggaku pasti paham maksudnya dan tidak tersinggung karena kalimatku sopan. Begitupun dengan kalimat: legalisasi bagi malaikat maut. Kurasa itu salah satu ucapan spontan terbaik dan terhalus yang pernah kubuat. Tapi, aku tidak bisa mengatakan itu. Sesopan apa pun kalimatku, posisiku sebagai si pembenci istrinya dan sup busuk sangat jelas. Aku tidak bisa pamer sebagai pembenci orang yang tak membenciku. Hanya saja, bayangkan sepanci sup yang kuahnya amat busuk, dan tiap orang yang diundang makan merasa hidupnya tinggal sejengkal; bukankah bisa merusak citra tetanggaku yang kutu buku?
    Tetanggaku dermawan dan pintar dan pernah dapat penghargaan dari bupati. Kalau peristiwa keracunan terjadi, yang mungkin tidak lama lagi, segala kebaikan yang tercap padanya bisa hilang sekali kedip. Semua yang orang pikir baik, yang ada pada dirinya, akan menguap dan setiap orang membicarakan istrinya yang tolol dan tak bisa memasak tapi sangat percaya diri mengundang orang lain ke sana untuk makan. Bayangkan orang tidak bisa memasak, dengan percaya diri mengira segala yang ia masak adalah nikmat. Betul-betul memalukan.
    Bukan memuji ibuku. Dia memang bisa memasak, tetapi tidak pernah mengundang siapa pun ke rumah demi pamer. Ibuku tidak pernah memasak sup busuk, meski bahan dasar supnya sederhana dan bisa didapat di mana saja dengan harga terjangkau. Ibuku tak mungkin menaruh semacam lem atau racun ke racikan bumbu sup yang membuat orang berpikir negatif. Ibuku paling jago soal dapur, namun tidak pernah sombong.
    Tetanggaku yang kutu buku, dapat hidup dengan semangkuk sup busuk, barangkali karena dibutakan cinta. Ia mengatakan di depanku, jika aku datang memenuhi undangan mereka, bahwa sup buatan istrinya itu nomor satu. Dalam hati saja, aku mengutuk setiap langkah yang istrinya ambil di dapur; segalanya tidak benar! Tetapi tetangga yang kutu buku ini tersenyum santai seakan semua yang terjadi memang benar.
    Kekesalanku memang selalu kupendam jika acara seperti itu berlangsung. Anehnya, undangan makan malamnya selalu terdiri dari satu orang tamu, atau sepasang tamu, dan tidak pernah lebih dari itu. Suatu kali aku mengeluh karena aku menjadi seperti setan pengganggu suasana di antara sepasang suami istri aneh ini.
    Si suami, yang kutu buku dan mengoleksi berbagai buku hingga berjumlah seribu lebih itu, berkata, "Bung jangan begitu. Di samping setiap manusia memang ada setan. Bahkan mereka yang suci dan mengaku suci, selalu diiringi setan yang membisiki hal buruk agar terus berbuat dosa. Setan ada di mana-mana, dan Bung janganlah mengira diri Bung setan. Itu tidak baik. Bung manusia dan Bung makan sup nikmat ini, karena Bung memang manusia. Bagaimana rasanya? Pasti enak, toh?"
    Aku hanya mengangguk dan mendengus lemah dan tentu saja memutar bola mata ke atas, berharap tetanggaku paham bahwa semua ini sangat membosankanku. Istrinya yang kurang pintar itu selalu mencoba menanggapi pembicaraan kami yang terkadang cukup berat dan rumit. Dan karena aku sudah pernah membaca beberapa buku, aku pun tidak terlalu kepayahan menanggapi cara pikir dan bicara si kutu buku. Berbeda dengan diriku, istrinya justru gelagapan dan berusaha membuat berbagai kelucuan hanya agar ia tidak terlihat bodoh.
    Suatu malam, dengan sedih, istrinya bilang, "Aku berusaha semaksimal mungkin. Aku berusaha agar suamiku dan tamunya senang berada di sini, di meja makanku. Tapi mungkin aku gagal dan mungkin orang-orang di luar membicarakan kejelekanku."
    Lalu suaminya menimpali, "Kamu berhasil. Siapa bilang gagal?"
    Di saat bersamaan, kami menciduk sup busuk dengan sendok di tangan kami, dan dapat kuhirup aromanya yang tidak sesuai dengan resep masakan terbaik mana pun. Toh, si kutu buku tetap tersenyum dan tertawa-tawa dengan sup yang ia telan. Sup yang bisa saja mengandung racun yang dapat membunuhnya. Aku tahu istirnya mustahil berbuat itu, tetapi semua ini terjadi bukan tanpa sebab. Setelah mengamati beberapa malam, aku mulai mengerti dan menyesal telah berpikir yang tidak-tidak.
    Ini soal cinta. Seorang suami, yang tulus pada istrinya, tidak peduli apa itu rasa dan risiko dan segala hal. Ia hanya selalu ada dan membuat istrinya terhibur. Bagiku agak aneh, tetapi mungkin sudah sepatutnya kumaklumi. Toh, kadangkala kukatakan kepada ibuku betapa dia begitu cantik dan wangi, meski kenyataan berkata sebaliknya. [ ]
   
    Gempol, 2017-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri