Skip to main content

[Cerpen]: "Jane" karya Ken Hanggara

(Dimuat di ideide.id , pada 12 Februari 2019)

    Aku ingin tenggelam dan hilang selamanya di sebuah kolam atau danau atau apa pun itu. Kubayangkan tubuhku mengecil tanpa ada yang tahu, lalu dengan segenap ilmu sihir, seseorang mengubahku menjadi seukuran semut. Tidakkah itu menakjubkan?
    Kalau aku benar-benar menjadi sekecil semut, aku harap bisa tenggelam dan hilang selamanya karena malu. Aku tidak sanggup menatap wajah Jane. Pacar terbaikku sejauh ini dia, tapi karena kesalahan yang kulakukan, ia layak mendapat yang lebih baik.
    "Aku tidak peduli walau kamu orang paling dibenci di dunia ini atau orang yang paling berpenyakit. Selama kita bisa bersama, aku tetap di sini!" katanya selalu.
    Jane sangat mencintaiku dan kurasa aku tidak bisa mengubah perasaan itu semudah orang-orang membongkar kebusukan masa laluku. Dulu aku sangat amoral dan saat ada kesempatan untuk memperbaiki diri, aku berkenalan dengannya. Ini terjadi sekitar satu tahun yang lalu. Aku dan Jane berpapasan di lorong mini market, seperti dalam adegan- adegan klise murahan kegemaran remaja kebanyakan. Saat itu kami sama-sama butuh pembasmi serangga yang kebetulan tinggal sebotol di sebuah rak.

    "Buatmu saja," kataku ketika itu. "Perempuan lebih butuh. Serangga mengganggu perempuan, sedang lelaki bisa mengatasi itu tanpa pembasmi."
    "Kamu dulu yang dapat dan tidak sengaja kurebut botolnya darimu. Jadi, kamulah yang berhak," sahutnya.
    Karena kami terus menerus berdebat, sedangkan seorang pramuniaga tidak berdaya oleh karena habisnya stok pembasmi serangga tersebut, pada akhirnya kami berjalan ke kasir dengan membawa barang belanjaan masing-masing dan memutuskan untuk bicara soal siapa yang lebih berhak membawa pulang benda tadi di tempat parkir.
    Aku tidak tahu bagaimana perkenalan dengan cara seaneh ini terjadi. Yang kutahu, saat itu, semua terjadi begitu saja. Mengalir seperti air dan aliran itu terasa menyegarkan, karena sejauh yang aku tahu, aku tidak pernah merasakan getaran tertentu di dada saat bicara dengan perempuan mana pun, kecuali kali itu.
    Jane orang pertama yang menggugah hatiku. Dia cinta pertama. Saat dia datang tepat di pintu gerbang kesadaranku atas dosa-dosa masa lalu, aku mengira, "Barangkali ini yang Tuhan maksud. Barangkali aku dilahirkan untuk berbuat jahat sementara waktu, sebelum jatuh cinta kepada gadis ini dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik."
    Kubayangkan itulah yang terjadi. Takdir bagus yang kudapat bukan tanpa tujuan. Mungkin Tuhan membuatnya begitu agar aku dapat berbagi kisah menakjubkan suatu hari nanti ke telinga banyak orang. Sayangnya, khayalan itu tidak nyata. Orang-orang dari masa laluku datang dan mengejarku atas bekas-bekas dosa yang dulu kukerjakan. Mereka menuntut balas, meski penjara sudah mengurangi banyak waktuku.
    Balasan itu, tentu saja, kematianku. Tapi, polisi tak tinggal diam. Orang-orang lain yang juga punya masalah denganku di masa lalu, sebagian tak ingin aku tewas dihakimi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang menjebloskanku ke jeruji besi selama belasan tahun. Meski kemungkinanku tidak mati dihakimi itu besar, keberadaan orang-orang itu membuat Jane membaca segala yang sejauh ini aku sembunyikan.
    "Penjahat itu sebaiknya dikirim ke neraka!"
    "Tidak pantas diberi kesempatan!"
    Dengarlah suara-suara itu. Hampir setiap hari teror bingkisan berisi bangkai tikus, lemparan batu ke jendela kamarku, membuatku tidak lagi bisa menutup-nutupi ini dari Jane.
    Ketika akhirnya gadis itu tahu masa laluku, aku merasa malu. Sejak kami kenalan, kesan baik selalu kubuat agar dia percaya aku lelaki serius yang tepat untuk dia jadikan pendamping hidup. Setelah kebusukan dari masa laluku terkuak, aku merasa tak pantas berdiri di sisinya Alangkah baiknya aku tenggelam di suatu tempat yang dalam dan tak terlacak, lalu hilang selamanya.
    Hanya saja, Jane pikir masa lalu adalah lembaran yang sudah tertutup dan tak dapat dibuka untuk diisi ulang dengan tindakan-tindakan baru. Ia tahu semua yang kulalui saat itu telah lama berlalu.
    "Kini saatnya bertindak untuk lembaran yang sama sekali kosong," tutupnya, sama seperti saat kami berdebat soal siapa yang membawa pulang sebotol pembasmi serangga setahun lalu.
    Jane menutup perdebatan tentang apakah aku harus pergi sejauh yang kubisa atau tetap menjalani hidupku bersamanya. Demi menjauh dari orang-orang yang dahulu anak mereka kusakiti hanya demi sedikit uang, hingga sebagian di antara mereka mendapat trauma, Jane mengajakku pindah ke luar kota.
    "Kita hidup di sana. Ada rumah peninggalan almarhumah Tante. Beliau tak pernah menikah dan tentunya tak punya anak. Saat kecil, aku sering dititipkan Mama ke sana," jelas Jane ketika mengemasi barang-barangku ke dalam koper.
    Aku tidak dapat menjawab dan membisu.
    "Ayolah," lanjutnya, "jangan dipikir aku bakal mengubah pandanganku soal dirimu hanya karena masa lalumu! Bagiku kamu tetap sama. Kamu adalah kamu yang kukenal. Kecuali kamu belum benar-benar berubah."
    "Aku sudah berubah! Tidak sama seperti dulu!"
    Jane memeluk dan mengecup keningku. Ia memelukku bagai sosok ibu memeluk anak remajanya yang bertubuh besar. Gadisku ini sangat kurus dan terbilang pendek jika dibandingkan denganku yang jangkung.
    Saat momen pelukan ini berlangsung, aku rasa kehangatan sekaligus getaran aneh di dada, dan di kepalaku, semut yang kuharapkan hilang ditelan limpahan air di suatu kolam, selokan, atau waduk, kini berenang-renang menepi. Kubayangkan semut malang itu menjemur diri di tengah terik matahari, persis di tepian genangan air yang baru saja nyaris membunuhnya.
    Itu bukan semut. Itulah aku, dalam ukuran kecilku setelah disihir oleh seseorang. Dan makhluk kecil itu membesar seiring waktu. Kembali ke ukuran normal untuk terus melanjutkan hidup.
    Aku tidak tahu bagaimana cara berterima kasih pada Jane-ku. Penerimaannya pada masa laluku, juga cintanya, membuatku bersyukur pernah secara sadar membeli sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu kubutuhkan: pembasmi serangga. Kalau saja dulu aku tak pergi membeli itu, kami tidak akan ketemu dan entah bakal berakhir dengan cara apa diriku kelak. [ ]
   
    Gempol, 2017-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri