Skip to main content

Posts

Showing posts with the label inspiratif

Bahagia ala Mahmud dan Joni

Suatu ketika saya pernah menyewa rumah bersama beberapa kawan di kawasan Jaksel. Kami memberlakukan sistem patungan. Ketika itu kami pikir cara ini lebih hemat ketimbang per orang sewa kamar kost masing-masing. Di kawasan itu, rata-rata per kamar dibandrol 500 ribu per bulan (tahun 2010). Bagi kami yang hidup di tanah orang, jauh dari keluarga, jumlah itu lumayan besar. Maka ketimbang menyewa kamar, lebih baik sewa rumah sederhana saja, seharga 600 ribu per bulan, untuk berlima. Rumah itu cukup nyaman dan layak, meski dekat dengan kebun. Tentu saja, selain fasilitas air bersih dan listrik gratis, kami juga bebas memancing lele di depan. Di rumah inilah saya kenal seorang perantau asli Minang, sebut saja Mahmud (bukan nama sebenarnya). Dia tidak tinggal di rumah ini, tetapi sekali waktu mampir, sekadar membawakan nasi kotak dari lokasi shooting yang ia bawa untuk sahabatnya, yang tinggal serumah dengan saya. Tetapi kadang-kadang Mahmud juga kemari untuk ngobrol dengan saya.

Pencapaian Tahun Ini dan Resolusi Tahun 2016

Tahun ini tahun paling beda. Suatu ketika, Januari 2015 lalu, saya tak pernah membayangkan akan terjadi lompatan kedua, setelah sejak setahun lebih sebelumnya (sejak medio 2012) saya menikmati berjuang di satu arena. Sejak awal saya lebih sering mengirimkan tulisan saya (kebanyakan cerpen) untuk dilombakan. Mengirim ke media tentu saja saya coba, namun tak sesering untuk lomba. Sebagian naskah yang dilombakan itu mendapat juara atau nominasi, namun sebagian gagal. Itu wajar dan saya semakin mantap memegang tuas gas agar ke depan apa yang saya lakukan kelak membuahkan hasil yang lebih nyata. Tidak apa walau kecil-kecil dulu. Namanya juga berproses. Begitulah saya menikmati proses itu. Sampai Januari 2015, saya tetap sama semangat dan motivasinya, meski mendapat hadiah-hadiah yang lumayan membuat orangtua tidak lagi menganggap kegiatan menulis saya cuma main-main, apalagi ikut-ikutan. Saya tidak pernah suka ikut-ikutan dari dulu. Contohnya saja, belasan tahun lalu, ketika saya m

Pak Ipin dan Kebetulan yang Ajaib

Suatu hari beberapa tahun yang lalu, di salah satu lokasi shooting sinetron dan FTV yang biasa disebut Persari, saya kenal seorang bapak-bapak. Beliau humoris dan kocak, walaupun wajahnya persis orang Jepang yang galaknya minta ampun. Saya tidak tahu kapan pastinya dan bagaimana bertemu beliau, sampai suatu hari bersama seorang kawan yang wajahnya mengingatkan saya pada pemain sepak bola Jerman, Oliver Khan, saya main ke salah satu sudut Persari untuk ikut shooting dan mulai akrab dengan bapak-bapak itu. Beliau biasa saya panggil Pak Ipin dan sejak itu sering saya ajak bercanda. Tapi tentu saja, karena beliau mungkin sepantaran ayah saya, candaan-candaan saya pun ada batasnya. Saya menghormati beliau, meski saya lihat beberapa teman membuat candaan seolah Pak Ipin ini teman sebayanya.

Sehari Iseng Jadi Penonton Bayaran

Ini kejadian tahun 2010. Suatu pagi saya iseng mengikuti seorang teman, tetangga kost saya di Jakarta, untuk pergi ke Bekasi demi sebuah pekerjaan harian yang seru. Apa itu? "Penonton bayaran," jawabnya tanpa basa-basi. Ketika itu, jujur saja, saya baru tahu bahwa acara talkshow di TV kebanyakan--menurut teman saya--disetting sedemikian rupa dengan banyak penonton yang ternyata dibayar. Uniknya, teman saya ini seperti sudah menjadikannya pekerjaan sampingan. "Yang penting halal," bisiknya malu-malu, setelah saya tatap beberapa detik dengan ekspresi senyum campur heran. Dia menyuruh saya memakai pakaian kantor karena talkshow "langganan"-nya ini adalah acara serius yang membahas masalah sosial dan kemanusiaan, di salah satu televisi lokal. Saya iyakan saja. Kebetulan sedang tidak ada acara di kostan dan itu hari libur. Baiklah, saya ikut. Kami naik taksi dari Cilandak. Saya tidak terlalu memperhatikan jalan, karena

Bang Jo dan Ponsel Berisi Puisi-puisi Pertama

Ini cerita saat kehilangan puisi-puisi awal saya, yang disimpan di ponsel karena saat itu belum punya laptop. Ketika itu bisa dibilang saya 'nomaden' di Jakarta. Suatu kali saya merasa betah di satu tempat dan memutuskan tinggal di sana lebih lama. Di tempat baru ini saya kenal seorang lelaki. Usianya kira-kira sepuluh tahun lebih tua dari saya, tapi gayanya menyamai saya yang waktu itu belum 19 tahun. Di kompleks kostan ini rata-rata penghuninya seumuran saya dan semua pekerja keras. Tak jauh dari tempat kost ada studio besar tempat produksi sinetron dan FTV, dan sesekali layar lebar. Dia--sebut saja Bang Jo (bukan nama sebenarnya)--sudah malang melintang di dunia hiburan sejak 1998, begitulah ia mengaku. Saya percaya saja karena dia terlihat jujur dan sangat terbuka, serta tentu saja teman ngobrol yang asyik. Namun ketika itu Bang Jo sedang terpuruk. Ia sepi job dan terlunta-lunta berkat suatu masalah dengan keluarga yang tidak bisa ia ungkapkan, juga masala

Teman Baik Tak Harus Selalu Sering Bertatap Muka

Dengar salah satu lagunya Ari Lasso di ponsel, tiba-tiba ingat seorang teman lama. File lagu ini dulu saya minta darinya di teras sebuah kamar kost di Cibubur. Kalau dihitung, seumur hidup kami hanya bertemu langsung--bertatap muka maksudnya--tak lebih dari sepuluh kali. Hidup di perantauan, mengejar mimpi, jauh dari keluarga, membuat kami cepat dekat, meski usia terpaut jauh. Pergi ke tempat casting sama-sama, berbagi makanan di tempat shooting, bahkan melawan tindakan jahat seseorang kami juga pernah. Jumlah pertemuan yang terbilang singkat untuk berbagai hal luar biasa, ya? Beberapa bulan berikutnya kami tak lagi bertemu. Saya dengar ia repot mengurus usaha bandengnya di Blitar. Saya tidak lagi mendengar kabarnya sampai waktu mengantar saya ke tempat baru dengan cerita-cerita baru yang tak kalah mengesankan.

"Metamorfosis Wanita Karier ke Guru Mengaji" oleh Ken Hanggara

Tulisan ini saya persembahkan untuk Ibu kandung saya. Sebuah feature sederhana yang ditulis khusus di hari Ibu. Semoga bermanfaat dan terima kasih bagi yang sudah membaca. ***     "Kalau ada rezeki, ya pengen. Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah? Tapi rezeki belum ada. Mohon doanya saja," begitu ucapnya, ketika salah seorang tetangga bertanya apakah guru ngaji ini tidak terpikir untuk pergi haji.     Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah, kalimat itu terngiang di benak perempuan lima puluh tujuh tahun ini, setiap saat, setiap waktu. Bagaimana keinginan itu ada, tidak seperti yang kita bayangkan.

Mati Meninggalkan Tulisan, Mati Menjadi Sejarah

Perjalanan menulis paling awal saya, kalau boleh jujur, disebabkan oleh kekonyolan masa remaja. Waktu itu saya jatuh cinta lalu membuat puisi. Klise sekali, ya? Tapi seiring waktu berjalan, setelah sekian puluh puisi saya hasilkan, saya menyadari bahwa saya terlalu egois dan bodoh. Betapa tidak? Menulis puisi hanya untuk cinta memang manis kedengarannya. Tapi mungkin juga tidak banyak yang tahu, betapa hal itu sulit membuat kita bangkit. Sah-sah saja menulis puisi, tapi setidaknya harus memberi manfaat, baik untuk si penulis maupun si pembaca (pembacanya tak harus selalu orang yang dicinta tadi). Sementara, puisi-puisi yang saya tulis, tidak memberi manfaat apa-apa selain menambah lembar kekaguman saya yang berlebihan kepada seseorang.

Belajar "Melihat" untuk Hidup yang Lebih Baik

Musuh terbesar adalah diri sendiri. Kalimat itu sering kita dengar. Tapi, sudahkah kita mengalaminya? Ketika jalan menuju mimpi menyempit — sebab ada jalan lain yang tiba-tiba hadir bak cabang di tengah perjalanan — maka saat itu keputusan adalah kartu terakhir yang kita punya. Ibarat kata dalam sepak bola, kita bermain dalam pertandingan hidup dan mati. Apa kita berpikir bahwa dengan memilih jalan yang kita suka, maka kita akan menang? Atau begini: dengan menghindari jalan yang kita benci, kita akan jauh dari kesialan. Tentu saja itu bukan wilayah kita. Itu wilayah Tuhan, karena makhlukNya tidak dibekali kemampuan membaca masa depan.

Menulis Lebih dari Sekadar Melawak

Seperti halnya pelawak yang "dituntut" cerdas mengolah materi simpel menjadi aksi lucu, penulis pun juga "dipaksa" untuk bisa mengolah ide ringan menjadi tulisan berbobot. Jika seorang pelawak medan tantangannya adalah panggung, maka bagi penulis arena pertempurannya adalah kertas. Di atas panggung dan kertas, kedua jenis "profesi" ini berpikir keras. Namun, meski cenderung sama, tingkat keberhasilan keduanya diukur dengan cara berbeda. Maksudnya begini. Katakanlah kita sedang menonton seorang pelawak beraksi. Maka, yang kita dapat adalah apa yang terjadi pada detik dan momen saat itu juga. Perhatikan bila seorang pelawak gagal mengolah materi, pasti mulut penonton tak tahan untuk tidak berkomentar: " Halah, kagak ade lucunye !" Atau paling tidak, jika penonton itu diam, sudah pasti pada aksi berikutnya dia agak malas untuk menonton pelawak itu lagi, karena menurut penilaiannya, sang seniman sudah terlanjur tidak lucu.

Bersakit-Sakit dengan Proses, Bersenang-Senanglah Kemudian

Dulu waktu pertama kali aku menulis, jujur saja, aku ingin kaya. Ya, betul-betul ingin kaya. Siapa sih yang menolak uang banyak dari kesenangan atau hobi? Sudah mengerjakannya senang, dapat uang lagi. Wah, berasa hidup ini begitu indah! Tapi, satu hal yang waktu itu kulupakan, yaitu tentang motivasi. Apa itu motivasi? Bila hidup diibaratkan secangkir teh, maka motivasi adalah gula. Tanpa motivasi, hidup rasanya pahit. Tanpa motivasi, lama-lama kita jenuh dengan rutinitas. Padahal salah satu kunci menuju sukses adalah bersahabat dengan rutinitas itu sendiri. Setuju, tidak?