Skip to main content

Posts

Kota Serigala

(Dimuat di Minggu Pagi, edisi Jumat, 13 Maret 2020)   Manusia-manusia serigala berkumpul di pusat kota hari itu. Mangsa terakhir sudah ditumbangkan. Darah membanjir di sudut-sudut gelap yang biasanya selalu penuh oleh tumpukan sampah dan air selokan. Bau amis merajai untuk beberapa jam, tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Angin akan menghalau bau itu, dan lagi pula setiap penghuni kota tak lagi risau oleh bau darah dan mayat. Mereka terbiasa sejak bertahun-tahun lalu. Kini, kota dikuasai orang-orang bertaring yang menjelma serigala, bukan hanya ketika bulan purnama.   Pemerintahan kota kembali diatur usai matahari bersinar terik esoknya. Di gedung dewan, beberapa manusia serigala berpengaruh, yang terkuat dan tercerdas, mengambil keputusan-keputusan tentang siapa saja yang akan memerintah kota, juga apa saja yang mereka lakukan untuk menjaga agar pembantaian malam itu tak terdengar pihak luar.   Ketika malam berdarah itu berlangsung, seluruh akses menuju kota dibuntu. Par

Sang Peracik

(Dimuat di Padang Ekspres pada Minggu, 2 Februari 2020)   Bertahun-tahun setelah kepergian Ali Mugeni, desa itu tidak lagi heboh oleh berita- berita hilangnya para gadis. Dahulu gadis-gadis kerap hilang secara misterius tanpa ada yang tahu sebabnya. Orang-orang menuduh Ali Mugeni, pendatang yang membuka toko obat kulit di pertigaan, sebagai pelaku. Tuduhan ini dianggap mempunyai dasar. Mereka mengaitkannya dengan jarangnya Ali Mugeni berinteraksi dengan warga. Pada awalnya mereka hanya menganggap penjual obat itu orang kaya yang tidak bisa bergaul, namun rumah mewahnya yang kerap tertutup membuat beberapa orang mulai berpikiran buruk, apalagi setelah satu per satu gadis perawan mendadak hilang.   Adalah Mudakir, lelaki paling vokal di desa tersebut, yang biasa unjuk suara dalam tiap peristiwa penting atau sepele di desa, sehingga jika saja suatu hari nanti seseorang menulis buku sejarah khusus desa itu, namanya bakal tercetak lebih sering dari semua tokoh yang jauh lebih penting

Binatang di Kepala Kami

(Dimuat di ideide.id pada 29 Januari 2020)   Kelaparan membuatnya berkelakuan seperti binatang. Ia tidak malu mencari makan di selokan. Saya kasihan dan saya bawa pulang dia. Saya mandikan dan saya beri baju. Dia diam seribu bahasa saat ditanya soal nama. Saya panggil saja Kinanti.   Kinanti menemani malam-malam yang sepi. Bersama Kinanti, saya kembali paham apa kehangatan. Bersama Kinanti, saya merasa surga ada sejengkal di depan. Dia tidak tahu cara menyembah Tuhan, tetapi tidak bisa diajari mengenal-Nya. Jadi, saya ajari dia tentang surga. Dia suka dengan apa yang saya sebut surga, karena surga di rumah saya ada setiap malam.   Surga saya bukan surga Tuhan. Kinanti tidak paham, tapi tidak ada yang dia dapat pahami lebih dari segala yang fisiknya butuhkan sebagai makhluk hidup. Di sini dia bisa makan apa pun dan tidak perlu bayar atau kerja. Dia cukup ada saja di dekat saya setiap malam.   Teman-teman mencela apa yang saya kerjakan. Masa bodoh. Kinanti toh rela. Dia baha

Hans Jon Andersen Memakan Buku-Buku Tua

(Dimuat di detik.com pada 26 Januari 2020) Pengarang frustrasi, sebut saja Jon (bukan nama yang sebenarnya), berbaring malas di kamar kost. Perutnya kembung karena memakan habis enam buah buku tua karangan penulis kenamaan yang tidak bisa disebutkan di sini. "Buku siapa yang kau lahap?" tanya temannya, yang bukan pegiat literasi, sebab di lingkungan tersebut hanya Jon yang mendeklarasikan diri sebagai pengarang. Pengarang gagal atau pengarang tidak gagal, masih buram. Tidak penting dibahas apakah ia gagal atau tidak. Apa pun itu, Jon yang mengaku pengarang merasa lebih baik ketimbang siapa pun di sini. Dengan enteng ia menjawab, "Rahasia! Kalau kusebut dan ada orang yang dengar, lalu dikabarkan ke semua orang, bisa celaka aku." "Oh?" "Kau terima junjunganmu kutelan?!" Jon tidak ingin diganggu, jadi ia usir temannya, setelah mengucap seribu kata maaf. Bukan seribu. Anda percaya seseorang mengucap seribu kata maaf di

Meja Nomor 17

(Dimuat di Majalah Rubana edisi 02/Januari 2020)   Pada akhirnya semua selesai. Cinta lahir hanya untuk selesai. Joe, pacarku yang malang itu, hari ini selesai. Daun-daun berguguran, dua cangkir teh sore hari, surat cinta, kartu pos dari negeri antah berantah. Semua selesai tanpa sisa. Tidak ada lagi yang bisa kutunggu.   "Sejak aku sendiri," kataku pada Joe tempo hari, "hingga memadu kasih denganmu, dia sudah ada. Sampai sekarang aku tidak tahu siapa kekasihnya atau apakah dia masih sendiri?"   "Jangan-jangan sudah menikah?"   "Bisa jadi!"   Senyum pencegah bunuh diri. Begitulah kunamai senyum si pelayan. Hafal jadwal kunjunganku, pelayan itu menyambutku dari balik pintu dan mempersilakanku duduk pada meja nomor 17 di pojok. Seminggu dua kali aku ke sana. Meja nomor 17 kupesan secara tak langsung dari tingkah gugupku. Barangkali terdapat alat pendeteksi di kepala pemuda itu sehingga paham ada sesuatu yang harus diperbaiki di diriku,

Janji Temu Tino

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 6-12 Januari 2020 (No. 1663/XXXII))   Banyak yang Maria persiapkan untuk menghadapi pertemuan dengan mantan pacar di masa lalunya. Dia benar-benar harus tampil sempurna. Dengan sengaja dia ke suatu butik dan memesan busana. Dia juga pergi ke salon, sebuah tempat yang entah berapa lama tidak ia sambangi. Seluruh persiapan ini terasa mentah saat Maria sekali lagi menatap cermin dan. Dia yang sekarang tidak sama dengan dirinya yang dulu. Untuk apa Tino secara tiba-tiba meneleponnya dan meminta bertemu?   Maria tidak tahu itu. Dia bahkan tidak mendengar kabar Tino selama sepuluh tahun terakhir ini. Dia tidak lagi ingin melihatnya saat mendapati lelaki itu selingkuh dengan sahabat dekatnya sendiri. Dulu mereka terlalu muda. Barangkali Tino kini sadar tidak ada perempuan lain yang ditakdirkan untuknya selain Maria.   Benarkah demikian?  

Sepeninggal Penulis Cerita yang Menjadi Gila

(Dimuat di kompas.id pada 2 Januari 2020)   Barang-barang bekas di gudang yang pernah ditiduri Sapono sudah aku singkirkan. Aroma gudang ini sungguh terasa menyesakkan, bukan hanya karena seseorang pernah tinggal di sini dengan segala kekhasannya, tapi juga peristiwa hadirnya sosok itu. Kini, tak ada lagi jejak lelaki sinting itu di sini. Sebenarnya dia tak pernah membuat masalah dengan atau tanpa keberadaanku di sini. Sapono selalu menyenangkan bagi anak-anak dan tentu bagi istriku, yang tak lain kakak kandungnya.   Istriku tidak tega membiarkan Sapono hidup sendiri sejak orang tua mereka tiada. Setelah proses pemakaman orang tuanya, ia mengajakku bicara di kamar.   "Sapono harus di sini, karena kalau dia hidup sendirian, bisa-bisa dia buat masalah besar," kata istriku dengan hati-hati.   Mulanya aku tidak setuju. Ada seorang lelaki bujang, umur tiga puluhan, tak terlalu waras, tiba-tiba ditampung di rumah kami, yang dihuni dua anak kami. Bagiku, merawat dan men