Skip to main content

Meja Nomor 17

(Dimuat di Majalah Rubana edisi 02/Januari 2020)
 
Pada akhirnya semua selesai. Cinta lahir hanya untuk selesai. Joe, pacarku yang malang itu, hari ini selesai. Daun-daun berguguran, dua cangkir teh sore hari, surat cinta, kartu pos dari negeri antah berantah. Semua selesai tanpa sisa. Tidak ada lagi yang bisa kutunggu.
 
"Sejak aku sendiri," kataku pada Joe tempo hari, "hingga memadu kasih denganmu, dia sudah ada. Sampai sekarang aku tidak tahu siapa kekasihnya atau apakah dia masih sendiri?"
 
"Jangan-jangan sudah menikah?"
 
"Bisa jadi!"
 
Senyum pencegah bunuh diri. Begitulah kunamai senyum si pelayan. Hafal jadwal kunjunganku, pelayan itu menyambutku dari balik pintu dan mempersilakanku duduk pada meja nomor 17 di pojok. Seminggu dua kali aku ke sana. Meja nomor 17 kupesan secara tak langsung dari tingkah gugupku. Barangkali terdapat alat pendeteksi di kepala pemuda itu sehingga paham ada sesuatu yang harus diperbaiki di diriku, salah satunya dengan pemandangan bagus dari meja istimewa ini.
 

Dari sini kau dapat melihat pemandangan jalanan kota yang indah. Lampu segala warna, toko-toko, penjaja segala jenis makanan. Dari simpang siur keramaian manusia aku bertemankan sepi. Ini terjadi sebelum Joe ada. Aku berpikir apakah Tuhan sengaja mengirim pelayan ini untukku? Apakah sebuah rencana telah Dia rancang untukku dan dirinya?
 
Dalam senyumnya, pelayan ini menarikku dari lingkaran putus asa untuk bangkit dan memulai cerita baru; mengakhiri masa lalu yang selesai tapi kupungkiri. Tunangan yang kurindukan pergi dan tak pulang-pulang. Apa kami harus berakhir bahkan sebelum hari pernikahan dilangsungkan?
 
"Kukira kau masih ada di titik terbawah ketika itu," kata Joe, sewaktu aku berkisah tentang tunanganku yang hilang, "tapi, peran pelayan itu di masa penangguhan jiwamu patut dipuji."
 
Kami tersenyum pedih. Penangguhan yang memalukan.
 
Aku ingat dahulu kulingkari setiap tanggal di kalender, menghitung mundur waktu terjauh kenapa aku harus menunggu tunangan yang hanya pergi membawa janji? Lalu Joe datang ketika itu, di musim saat cangkir demi cangkir teh yang kupesan selalu terasa dingin dan tak sempat kuminum sebelum akhirnya aku pergi.
 
Si pelayan tentu saja senang. Barangkali ia mengira bahwa selama ini aku murung menunggu Joe. Tapi toh baik dia maupun karyawan lainnya, yang sudah pula hafal pada diriku, tidak terlalu berminat ikut campur urusan orang. Sejauh ini, kedekatanku dengan si pelayan sebatas lewat bagaimana dia menyambutku dengan tersenyum saja.
 
Joe, sebagaimana pemuda umumnya, punya daya pikat. Ia kaya, namun tak pernah menuhankan uang. Ia gagah, namun pendiam. Hanya karena tak ada bangku kosong lain saja ia lalu terpaksa duduk semeja denganku, yang kelak sama sekali tidak kami sesali. Mula-mula kami berteman. Senyum si pelayan, ditambah gairah hidup Joe yang begitu menggeliat (meski dia mengidap penyakit rahasia, yang konon membuatnya mati 3-4 tahun mendatang), jiwaku seakan terjun ke sebuah kepastian.
 
Aku belum menyadari kepastian selesainya segala sesuatu. Kukira tidak ada yang selesai sampai Joe benar-benar membangun istana istimewa di hatiku, lalu sesudah itu ia menungguku di suatu tempat bernama surga. Janji dibentuk—atau dimulai—tanpa kami sadar bahwa Tuhan diam-diam punya rencana lain.
 
Joe jatuh dalam kecelakaan. Kepalanya terbentur dan ia koma.
 
Hari-hari berikutnya aku terus murung. Bahkan senyum pelayan itu tidak sanggup mendamaikanku. Senyum itu seakan-akan terlempar ke alam lain yang tak bisa kucapai untuk sementara waktu.
 
Adakalanya suatu hal selesai secara tiba-tiba, lalu kau merasa aneh akan perubahan itu.
Kekecewaan, misalnya, boleh jadi serupa penyakit menular yang dapat merayap di udara. Kubayangkan hawa buruk kesedihanku menguap dari air mata yang menetes satu demi satu ke permukaan salah satu cangkir teh yang sudah dingin. Ia serupa asap hitam, hanya terlihat pemuja cinta. Melayang-layang, sebelum menyergap si pelayan dan sejak itulah senyum teduhnya selesai.
Tak ada warna lagi di hidupku. Satu demi satu selesai, atau mungkin memutuskan selesai sebelum akhir yang ditentukan tiba.
 
Jalanan kota menjadi abu-abu seiring tetes air mataku. Nyala traffic light seragam di tiga titik; kelabu, kelabu, kelabu! Lampu-lampu di suatu pesta perayaan kemerdekaan seakan padam dan yang terlihat hanyalah: kelabu, kelabu, kelabu.
 
Segala-galanya sungguh menjadi kelabu.
 
Aku belajar kepastian selesainya segala hal di alam semesta selama menunggu Joe bangun. Ia tidur dengan tenang. Napas lembut mengalir masuk ke hidungnya, keluar melalui mulut. Terkadang apabila rinduku tidak tertahan, diam-diam kubelai wajahnya dan kurasakan napasnya menggerayangi wajahku.
 
Di rumah sakit itu kematian demi kematian terjadi. Operasi-operasi besar dengan risiko bertaruh nyawa telah membuatku sadar bahwa segala yang dimulai wajib selesai. Termasuk kecelakaan demi kecelakaan yang merenggut korban nyawa dengan berbagai cara.
 
Kubayangkan wajah-wajah murung lain yang kehilangan orang terdekat. Sempat berharap Joe jangan selesai dulu. Biarlah kematian untuknya tertunda sampai entah tak tahu berapa lama lagi. Biarlah ia bangun dulu dan kami menikah lebih dulu, lantas aku mengandung dan melahirkan bayi-bayi mungil nan lucu darinya terlebih dahulu. Biarlah dia melihat para bayi itu tumbuh terlebih dahulu sampai beberapa tahun. Barulah setelah itu, penyakit ganas yang diidapnya, boleh saja mengambilnya dariku.
 
Tapi takdir berkata lain.
 
Joe selesai hari ini. Tubuhnya tidak lagi terasa hangat. Wajah dan telapak tangan bagai es batu. Aku tidak bisa diam-diam merayap di sana dan membenamkan anganku jauh; bahwa kami bersama oleh cinta dan berpisah oleh cinta suatu saat nanti.
 
Sayangnya, cinta bisa selesai tanpa diminta.
 
Aku hanya berdiri pasrah di kejauhan, sebagai bukan siapa-siapa. Seluruh anggota keluarga Joe menangis tersedu-sedu di tempat yang lebih dekat. Aku di tempat yang agak jauh.
 
Setampan apa dia di saat terakhirnya?
 
***
 
Joe ingin aku tidak usah menunggu dalam sia-sia.
 
"Kamu harus bangkit dan menatap jalan di depan. Jangan sekali-kali menoleh ke belakang, karena itu tidak akan menjamin kebahagiaanmu di masa berikutnya."
 
Nasihat Joe benar-benar menusukku. Aku malu mengakui. Selama kunjungan dua kali seminggu ke kafe itu, ada kabar dari sepupu bahwa tunanganku telah memiliki istri dari kampung asalnya.
 
"Kamu perempuan baik-baik. Tinggalkan buaya darat itu! Cari yang lain, biar tidak menyesal," kata Joe.
 
Saat itu kukira sepupuku sedang cemburu dan tak mau hidupku bahagia. Keegoisan dan kecintabutaanku membuatku rela menunggu meski bukti-bukti perselingkuhan itu ia tunjukkan.
Sepupuku bahagia mendengar kedekatanku dengan Joe dan itu jelas membuatku batal bersama dengan si buaya darat. Ternyata yang dia bilang memang nyata. Bersama Joe, aku mampu bangkit. Aku duduk di pojok dan Joe di depanku. Kami bertatapan di meja nomor 17, di suatu sore yang syahdu, berlatar pemandangan jalanan kota di luar jendela persis di sebelah kami.
 
Joe dan aku mencintai dalam rasa sepi. Tak ada ucapan, tak ada rayuan gombal. Hanya sepucuk surat cinta, itu pun berisi tidak lebih dari dua kalimat: "Aku cinta kamu. Mungkinkah suatu hari nanti kita menikah?"
 
Joe memang kaku, tapi aku mencintainya.
 
Rencana pun kami rancang.
 
Seharusnya aku menunggu dengan debar di kamar bahwa sebentar lagi Joe ada di sisiku sebagai suami. Seharusnya aku tidak menunggu sampai senja dilibas malam di pekuburan, dekat gundukan merah berisi jasadnya yang kaku dan pucat. Tapi, sekali lagi, aku sadar segala yang di bumi memang semestinya akan selesai jika waktunya tiba.
 
Apa kini aku pun juga harus selesai?
 
***
 
Dua cangkir teh kembali kupesan, tanpa iringan senyum dari sang pelayan. Ia tetap mempersilakanku, tetapi kurasa kemurungannya belum akan selesai dalam waktu dekat, andai tak kusapa ia lebih dulu.
 
"Apa kabarmu?"
 
"Baik, Kak."
 
Dua cangkir teh hangat siap di mejaku. Ia bertanya basa-basi untuk siapa cangkir kedua.
 
Kujawab, "Untuk jalan baru, cerita baru yang harus dimulai." Tanpa sungkan aku meminta izin manager-nya untuk mengajak pemuda itu duduk bersamaku, menemaniku minum teh.
Kutatap mata buramnya, yang kini bercahaya. Joe benar. Segala sesuatu pasti akan mati. Namun, bukan berarti mereka yang belum selesai harus mati.
 
Aku pun mengenang ucapan terakhirnya, "Tuhan memberimu kehidupan baru saat kamu kesepian, dari hal sederhana. Barangkali agar manusia tidak gampang menyerah." [ ]
 
Gempol, 2015-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karyanya tersebar di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri