Skip to main content

Posts

Showing posts with the label pengalaman

Teman Baik Tak Harus Selalu Sering Bertatap Muka

Dengar salah satu lagunya Ari Lasso di ponsel, tiba-tiba ingat seorang teman lama. File lagu ini dulu saya minta darinya di teras sebuah kamar kost di Cibubur. Kalau dihitung, seumur hidup kami hanya bertemu langsung--bertatap muka maksudnya--tak lebih dari sepuluh kali. Hidup di perantauan, mengejar mimpi, jauh dari keluarga, membuat kami cepat dekat, meski usia terpaut jauh. Pergi ke tempat casting sama-sama, berbagi makanan di tempat shooting, bahkan melawan tindakan jahat seseorang kami juga pernah. Jumlah pertemuan yang terbilang singkat untuk berbagai hal luar biasa, ya? Beberapa bulan berikutnya kami tak lagi bertemu. Saya dengar ia repot mengurus usaha bandengnya di Blitar. Saya tidak lagi mendengar kabarnya sampai waktu mengantar saya ke tempat baru dengan cerita-cerita baru yang tak kalah mengesankan.

Kurang dari Satu Jam

    Kalau sebelumnya kutulis hal paling memalukan dalam hidupku ( baca di sini ), kali ini kutulis hari yang menyebalkan dalam hidupku. Yah, mungkin gak selucu sebelumnya. Namanya juga nyebelin. Mana ada sih kejadian nyebelin bisa jadi lucu?         Ini kejadian pas SMA. Dulu di sekolah ada ekskul renang yang anehnya wajib diikuti semua siswa. Kenapa kusebut aneh? Lha, ya jelas aneh, karena yang tidak suka renang pun juga wajib ikut. Ini namanya sudah bukan ekskul, tapi pemaksaan!         Meski begitu kayaknya gak ada siswa yang protes, semua adem ayem, kecuali cuma aku (itu pun dalem ati, ckck). Dan, ya, ya, kukatakan sejujurnya kalau aku gak suka renang. Bukan karena takut air. Aku sejak kecil suka main di anak sungai Brantas di salah satu desa di Jawa Timur. Aku suka main di sana, mandi bareng teman-teman. Jadi alasanku tidak suka ekskul renang bukan itu. Alasanku adalah karena tempatnya jauh.         Itu alasan paling masuk akal, mengingat rumahku yang paling jauh dari sekola

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

Catatan Perjalanan: Berbanjir-Banjir Dahulu, Berbahagia Kemudian

Jauh-jauh hari, aku sudah membuat janji dengan teman sesama penulis, Fariha, agar kami berangkat bersama ke acara Kampus Fiksi Roadshow Surabaya yang diadakan oleh Penerbit Divapress. Nama kami terdaftar sebagai dua dari 200-an peserta acara keren ini. Tapi belakangan rencana ini agak berubah gara-gara kejadian di luar dugaan: terpilihnya aku sebagai salah satu dari Top 2 Unsa Ambassador 2015. Apa itu Unsa? Bagaimana mulanya? Unsa (Untuk Sahabat) adalah komunitas yang mewadahi para penulis untuk belajar dan berkarya dalam suasana persahabatan. Aku mengenal Unsa di Facebook sejak sekitar akhir 2012 lalu. Dari bulan ke bulan, lomba menulis yang diadakan Unsa makin seru. Hampir tiap lomba aku coba ikuti, mulai dari cerpen hingga mininovel.

"Metamorfosis Wanita Karier ke Guru Mengaji" oleh Ken Hanggara

Tulisan ini saya persembahkan untuk Ibu kandung saya. Sebuah feature sederhana yang ditulis khusus di hari Ibu. Semoga bermanfaat dan terima kasih bagi yang sudah membaca. ***     "Kalau ada rezeki, ya pengen. Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah? Tapi rezeki belum ada. Mohon doanya saja," begitu ucapnya, ketika salah seorang tetangga bertanya apakah guru ngaji ini tidak terpikir untuk pergi haji.     Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah, kalimat itu terngiang di benak perempuan lima puluh tujuh tahun ini, setiap saat, setiap waktu. Bagaimana keinginan itu ada, tidak seperti yang kita bayangkan.

Mati Meninggalkan Tulisan, Mati Menjadi Sejarah

Perjalanan menulis paling awal saya, kalau boleh jujur, disebabkan oleh kekonyolan masa remaja. Waktu itu saya jatuh cinta lalu membuat puisi. Klise sekali, ya? Tapi seiring waktu berjalan, setelah sekian puluh puisi saya hasilkan, saya menyadari bahwa saya terlalu egois dan bodoh. Betapa tidak? Menulis puisi hanya untuk cinta memang manis kedengarannya. Tapi mungkin juga tidak banyak yang tahu, betapa hal itu sulit membuat kita bangkit. Sah-sah saja menulis puisi, tapi setidaknya harus memberi manfaat, baik untuk si penulis maupun si pembaca (pembacanya tak harus selalu orang yang dicinta tadi). Sementara, puisi-puisi yang saya tulis, tidak memberi manfaat apa-apa selain menambah lembar kekaguman saya yang berlebihan kepada seseorang.

Belajar "Melihat" untuk Hidup yang Lebih Baik

Musuh terbesar adalah diri sendiri. Kalimat itu sering kita dengar. Tapi, sudahkah kita mengalaminya? Ketika jalan menuju mimpi menyempit — sebab ada jalan lain yang tiba-tiba hadir bak cabang di tengah perjalanan — maka saat itu keputusan adalah kartu terakhir yang kita punya. Ibarat kata dalam sepak bola, kita bermain dalam pertandingan hidup dan mati. Apa kita berpikir bahwa dengan memilih jalan yang kita suka, maka kita akan menang? Atau begini: dengan menghindari jalan yang kita benci, kita akan jauh dari kesialan. Tentu saja itu bukan wilayah kita. Itu wilayah Tuhan, karena makhlukNya tidak dibekali kemampuan membaca masa depan.

Gang Hantu di Sudut Kota

Apa yang kalian pikirkan saat mendengar cerita rumah berhantu? Aku punya cerita tentang gang berhantu. Kebayang gak ? Satu rumah berhantu saja serem , apalagi gang! Wuiih ! Mau dengar? Begini, di sudut kota Surabaya (tak kusebut nama daerahnya) terdapat sebuah gang yang konon dihuni oleh berbagai jenis hantu. Ini kisah nyata, bukan rekayasa. Dulu kakek nenekku punya dua rumah. Salah satu yang mereka punya—dan yang terbesar di wilayah itu—adalah rumah yang bakal kusinggung di sini, yang berdiri bersama barisan rumah lain di sepanjang gang hantu. Gang ini pada saat itu memang sudah terkenal angker. Banyak saksi yang melihat penampakan, dari mulai yang bentuknya paling lucu sampai seramnya minta ampun. Kalian pernah melihat hantu? Atau setidaknya pernah diganggu oleh mereka dengan suara-suara? Kalau pernah, mungkin belum seberapa dengan para penduduk di gang hantu ini. Tahu, gak , berurusan dengan hantu sudah jadi makanan mereka sehari-hari!

Kisah yang Boleh Kau Sebut Nyata, Juga Boleh Kau Sebut Fiktif

  (Part 1) Aku mencermati waktu yang paling tepat, ketika gadis itu mulai keluar dari rumah dan melakukan rutinitas paginya: menyapu. Sudah seminggu lebih kuperkirakan itu. Dulu pertama aku melihatnya langsung terkesima, bagaimana mungkin perempuan secantik itu ada di tempat ini? Dan, di kali kedua, kira-kira seminggu yang lalu itu, pertanyaan ku tak perlu jawaban. Aku tak sengaja melihatnya lagi dan seolah dunia adalah mimpi. "Kau tahu, mimpi indah itu kadang tak perlu dicari, tapi ia akan dengan sendirinya menyambangimu?"

Kembalinya Hantu Legendaris

Tulisan ini beda dari artikel-artikelku sebelumnya. Tapi, tanpa mengurangi rasa seriusku, biarlah kusuguhkan cerita model baru untuk kalian. Sebelumnya kuingatkan, tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti. Cuma berbagi cerita dan pengalaman saja. Siapa tahu cocok mengisi waktu luang sambil melamun dan mengingat-ingat cerita ini di kala sepi. Hehe. Oke, tanpa ba-bi-bu lagi, langsung saja, ya!

Menulis Lebih dari Sekadar Melawak

Seperti halnya pelawak yang "dituntut" cerdas mengolah materi simpel menjadi aksi lucu, penulis pun juga "dipaksa" untuk bisa mengolah ide ringan menjadi tulisan berbobot. Jika seorang pelawak medan tantangannya adalah panggung, maka bagi penulis arena pertempurannya adalah kertas. Di atas panggung dan kertas, kedua jenis "profesi" ini berpikir keras. Namun, meski cenderung sama, tingkat keberhasilan keduanya diukur dengan cara berbeda. Maksudnya begini. Katakanlah kita sedang menonton seorang pelawak beraksi. Maka, yang kita dapat adalah apa yang terjadi pada detik dan momen saat itu juga. Perhatikan bila seorang pelawak gagal mengolah materi, pasti mulut penonton tak tahan untuk tidak berkomentar: " Halah, kagak ade lucunye !" Atau paling tidak, jika penonton itu diam, sudah pasti pada aksi berikutnya dia agak malas untuk menonton pelawak itu lagi, karena menurut penilaiannya, sang seniman sudah terlanjur tidak lucu.

Bersakit-Sakit dengan Proses, Bersenang-Senanglah Kemudian

Dulu waktu pertama kali aku menulis, jujur saja, aku ingin kaya. Ya, betul-betul ingin kaya. Siapa sih yang menolak uang banyak dari kesenangan atau hobi? Sudah mengerjakannya senang, dapat uang lagi. Wah, berasa hidup ini begitu indah! Tapi, satu hal yang waktu itu kulupakan, yaitu tentang motivasi. Apa itu motivasi? Bila hidup diibaratkan secangkir teh, maka motivasi adalah gula. Tanpa motivasi, hidup rasanya pahit. Tanpa motivasi, lama-lama kita jenuh dengan rutinitas. Padahal salah satu kunci menuju sukses adalah bersahabat dengan rutinitas itu sendiri. Setuju, tidak?