Skip to main content

Posts

Masa Tua Pengembara

  (Dimuat di Minggu Pagi edisi 28 Agustus 2020) Aku tidak mengenal perempuan itu, tetapi kurasa pernah melihatnya di suatu kota di masa lalu. Kunjunganku ke berbagai kota tidak bisa dibilang sebagai upaya melarikan diri. Maksudku, itu pekerjaanku. Sejak dahulu entah berapa banyak kota kudatangi, dan ketika tubuhku menua dan tak mampu mengerjakan segala kesenangan lagi, aku pensiun dan membangun rumah di kota yang juga kampung halamanku. Bertahun-tahun perjalanan tak begitu saja membuatku mengenal gadis yang dapat membuatku jatuh cinta. Akhirnya aku hidup sendiri dan tidak pernah menikah. Kukira ini takdirku; sendiri sampai tua dan mati. Saat rumah masa tua itu selesai kubangun, aku kesepian.   "Tak pernah kubayangkan hidupku bisa sesepi ini. Berkelana membuat diriku lupa pada banyak hal," kataku pada seorang rekan, yang hadir dalam acara pesta berdirinya rumah baruku. Setelah tamu-tamu pulang, rasa sepi itu semakin menggila.   Hari demi hari kulalui dengan lebih banyak menyen

Memutus Kuasa Raja Pemburu

(Dimuat di kompas.id pada Kamis, 7 Mei 2020)   Apa yang Anda pikirkan jika seekor kijang yang sedang Anda buru tiba-tiba kabur dan berbalik memburu Anda? Kijang itu mendadak lebih cepat, lebih ganas, lebih cerdik dan licik ketimbang Anda, hingga pada momen itu Anda sadar nyawa Anda mungkin bakal segera dicabut, dan hal terakhir yang dapat Anda pikirkan adalah tunangan Anda yang kini menunggu cemas nun jauh di sana. Seekor kijang tampak lemah di hadapan peluru. Dia dapat mati karena kebodohan. Teknologi mampu menyingkirkan seekor kijang hanya dalam waktu beberapa detik saja. Bukan itu yang saat ini terjadi. Andalah yang terancam. Seekor kijang yang Anda buru berbalik mengejar. Tak ada jalan selain menuju utara, yang secara pasti mengantar Anda ke sebuah jurang.   Apa dongeng seperti ini bisa terjadi?   Lihat Ali Mudakir dan pasukannya. Tidak ada yang tersisa seorang pun. Semua mati dikepung ribuan semut keji dari hutan terangker di muka bumi. Anda tahu tidak ada yang lebih he

Bidadari Pemberontak

(Dimuat di Te-Plok pada Sabtu, 9 Mei 2020)   Bersama Mariana, aku melewati banyak cobaan, yang satu di antaranya nyaris saja menghabisi nyawaku. Tapi, aku tidak kenal kapok. Aku tetap berada di sisi gadis itu dan meladeni kegilaannya dengan aksi-aksi yang dapat membuat ibuku jantungan. Ibu tidak tahu aku ke luar kota demi Mariana. Ibu hanya tahu aku dapat panggilan kerja, dan demikianlah aku pergi. Kubawa koper serta tas berisi baju dan barangku, lalu menjalani hidupku yang bebas bersama Mariana.   Aku mengenal Mariana tidak sengaja saat berada di antrean bioskop. Saat itu dia sendirian dan aku juga. Kami mengobrol karena sama-sama mengira tak ada yang dapat kami lakukan, sedang duduk diam itu membosankan.   Aku tidak tahu apa yang membawaku ke pertemuan itu, lalu tiba-tiba begitu ringan saja mengajak bicara perempuan asing yang tadinya tidak pernah sama sekali kutahu. Ia pun juga demikian. Dalam suatu obrolan, Mariana pernah mengakui, ia tidak mengerti bagaimana bisa menang

Para Pendaki

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 3 Mei 2020)   Pendakian ini mungkin tidak akan tercatat di buku atau ingatan siapa pun. Aku tahu pasti itu setelah menghirup aroma wangi yang aneh begitu Mudakir menembak seekor macan kumbang hingga tewas. Padahal tidak seharusnya kami membunuh atau mencuri apa pun.   Tentu saja Mudakir bisa beralasan: “Kalau tidak kutembak mati, kita sendiri yang akan mati.”   Aku tak benar-benar mendengar ucapannya, tapi jika saja dia masih berada di sini saat ini, dalam situasi yang benar-benar normal, aku yakin itulah yang berulang kali ia katakan. Mudakir mati tak lama setelah binatang itu terkapar. Itulah yang kami yakini; ia mati, meski tak ada jasadnya. Mungkin tiga menit setelah penembakan dan tepat saat aroma wangi yang kumaksud muncul. Lalu kami terjebak hujan angin selama kurang lebih dua jam.   Hujan angin yang tak biasa. Hujan angin di musim yang tak seharusnya. Sungguh melengkapi firasatku sebelumnya, betapa kami tak mungkin bisa meneruskan pe

Pengakuan

(Dimuat di Bacapetra.co pada 17 April 2020)   Terakhir kulihat senyum perempuan itu bukan saat kami baru saja melepas rindu di atas kasur semalam sebelumnya. Bukan ketika aku meninggalkannya duduk di bangku depan mobil. Senyum terakhir itu, yang kutangkap setelah tahu seseorang rela menjadi malaikat maut bagiku, akan mengendap di kepalaku sampai beratus atau bahkan beribu tahun lamanya, andai aku diberi jatah hidup sebanyak itu.   “Tuhan tidak memberi bajingan sepertimu keistimewaan!”   Ya, memang.   Bukankah terlalu banyak jiwa yang kulempar ke jurang pekat, yang tak terjamah, tak terendus bahkan oleh anjing pelacak paling jenius sekalipun? Tak ada satu hal pun yang kubanggakan untuk itu, sebab tindakan itu hanya “perlu” untuk diadakan, dan aku bukan sedang mengejar prestasi. “Coba kau ingat-ingat ada berapa nyawa yang sudah kau habisi?”   Sejujurnya, aku tak ingat. Tetapi, andai seseorang ingin membangun sebuah rumah dengan bahan-bahan dan desain unik, tubuh para kor

Setelah Kematian Menyakitkan

(Dimuat di basabasi.co pada Jumat, 27 Maret 2020)   Mati sebagai seonggok mayat tanpa identitas masih lebih baik ketimbang mati dan tubuhmu hilang dalam tubuh orang lain. Setidaknya itulah yang Ali Sumarno yakini. Ia tidak mungkin pulang begitu saja dan mengetuk pintu hanya untuk membuat kaget istri dan anak-anaknya dengan menampakkan diri dalam wujud hantu. Lagi pula tidak tahu apakah mereka bakal mendengarnya? Orang-orang itu mungkin pingsan atau bakal lari begitu melihat wujudnya yang mengerikan atau malah ia sama sekali tak terlihat di mata mereka? Bahkan, lelaki itu sendiri tidak yakin bisa pulang tanpa tersesat dengan hanya mengandalkan sosoknya sebagai hantu. Apa ia bisa terbang? Apa hantu bisa lari secepat angin dan menembus tembok, gedung-gedung, kereta api, bahkan pesawat terbang?   Ali Sumarno memikirkan cara bagaimana supaya seseorang tahu ia belum lama ini mati dibunuh rekannya sendiri, lalu jasadnya dihilangkan dengan sesadis-sadis cara. Ia merasa cukup sudah kalah

Mengobati Masa Lalu

(Dimuat di Radar Bromo, edisi Minggu, 22 Maret 2020)   Ibu pergi sejak lama. Terakhir aku melihatnya ketika dia bertengkar dengan ayahku di dapur. Aku baru enam tahun saat itu. Terlalu sering mereka adu mulut, tapi malam itu ibuku berbisik pada Ayah saat bertengkar. Sebuah cara bertengkar yang aneh. Butuh bertahun-tahun sampai aku paham makna pertengkaran berbisik itu. Orang-orang di sekitar kami tidak suka pada Ayah, yang hobi mabuk dan tak punya pekerjaan. Mereka juga tidak senang pada Ibu yang bekerja. Namun pekerjaan Ibu cuma bisa dilakukan di pinggiran kota ketika malam hari dan dia harus pulang setelah subuh. Ibu seperti bukan Ibu atau mirip orang kerasukan setan andai aku melihatnya pulang. Jika dulu Ibu bertengkar dengan suara keras, para tetangga gembira melihat kami.   Aku tahu kebencian tersebut dari pamanku. Paman memberitahuku bagaimana para tetangga bahagia begitu saja oleh pertengkaran ayah ibuku. Pamanku orang yang baik. Kalau tidak ada dia, aku tidak bisa hidu