Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Sepulang dari Penjara" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos, Minggu, 3 Juni 2018)    Beberapa dekade setelah dipenjara, Mudakir keluar dalam keadaan tidak memiliki apa-apa. Untuk pertama kalinya dia merasa tersesat di dunia yang tak lain adalah tempat kelahirannya. Dunia itu seakan direbut oleh zaman dan diubah jadi dunia robot dengan segala macam hal di luar nalar.     Mudakir hanya dapat berdiri kaku setelah taksi menurunkannya di depan lapangan, yang dulu dia tahu sebagai bioskop milik sahabat dekatnya. Tentu saja sahabatnya telah mati; ia dengar kabar ini dua puluh satu tahun yang lalu, sebelum kunjungan terakhir dia dapatkan dari istrinya yang kemudian meminta dicerai. Setelah itu, Mudakir tak pernah mendengar kabar apa pun tentang dunia luar.     Secara teknis, Mudakir sebatang kara sejak dua puluh satu tahun yang lalu, yakni sejak sebelas tahun dia ditahan gara-gara membunuh si pembuat onar di lingkungan tempat dia tinggal. Entah bagaimana hakim menjatuhinya hukuman empat puluh tahun penjara, tetapi baik Muda

[Cerpen]: "Permainan Api" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 25 Mei 2018)       Tak ada jalan lain selain menghabisi lelaki itu, jika aku mau selamat. Aku ingin ke rumah dan menemui istriku dan berjanji tidak akan selingkuh lagi. Sekarang semua itu seperti mimpiku semasa kecil: jadi seorang pilot. Aku tidak pernah tahu dan tidak terlalu yakin apakah kelak aku bisa menjadi pilot. Pikiranku, yang ketika itu masih sangat lugu, berkata, "Aku bisa terbang seperti burung dalam khayalanku, tapi belum pernah melihat pilot bekerja."     Di sebuah lemari antik, tubuhku kuselipkan di antara gantungan baju-baju rombeng yang baunya tidak enak. Aku tidak tahu lemari ini milik siapa, serta tidak tahu baju-baju yang mengurungku pernah dipakai siapa saja. Tetapi lelaki itu, sang suami yang sejak awal kuremehkan keberaniannya, berdiri di luar lemari dengan sebilah kapak yang siap menjebol otakku.

[Cerpen]: "Balas Dendam Paling Aneh" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 6 Mei 2018)       Kepala saya pusing, tetapi Maria menyuruh saya berbaring. Kamu jangan bangun, sebab barusan tukang sihir mengoperasi otakmu yang belakangan dikuasai hantu-hantu. Lalu Maria menata selimut di dada saya dan tersenyum manis.     Saya heran kenapa Maria bicara seaneh ini? Dia perempuan paling skeptik yang saya kenal, namun kali itu sosok lain seakan masuk ke badannya dan mengontrol Maria sepenuhnya. Maria tidak berhenti tersenyum sampai saya mencoba bangkit dari tempat tidur. Dia hampiri saya dan dengan jengkel berkata, "Kamu mau otakmu bocor?!"     Maria meraih cermin di sisi tempat tidur dan menyerahkannya kepada saya. Lebih baik kamu bercermin, katanya, lalu meminta saya berjanji untuk tidak kaget, karena dia masih mencintai saya dan berharap dapat menikah bersama saya dan kami punya anak banyak dan hidup bahagia selamanya.     "Maria, kamu tidak seaneh ini? Sejak kapan kamu cinta saya?"

[Cerpen]: "Ajal Kolektor Buku" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspress edisi Minggu, 22 April 2018)       Pada suatu hari seorang hartawan yang merasa dirinya akan mati membuka pintu rumahnya untuk semua orang yang menginginkan buku-buku koleksinya. Perpustakaan pribadi yang dibangun secara khusus di satu bagian taman di belakang rumah tersebut sangat luas. Ada beribu buku di sana; dari yang paling berkualitas hingga yang kaum kritikus sebut sebagai barang rombeng, semua ada.     Aku dan Marcel turut ke sana setelah kunjungan terakhir kami ke suatu pantai tak menghasilkan apa pun, karena kami dirampok. Seluruh isi tas beserta dompet dirampas oleh perampok laknat. Terbengong di kantor polisi membuat kami merasa bagai orang goblok, sehingga membaca pengumuman tentang adanya pembagian buku oleh seorang hartawan, kami pun tergerak datang.     Seorang polisi berkata, setelah mendengar kami ingin pergi ke sana, "Ya, pergilah. Nanti buku-buku itu bisa dijual untuk mengganti beberapa hal yang perlu diganti."

[Cerpen]: "Perjaka Tua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Simalaba Online edisi 21 April 2018)       Sekaya apa pun Han, tidak sekali-kali seorang perempuan ia peristri. Di kepalanya telanjur terpajang tulisan: bukan untuk dibeli. Betapa tidak berpikir sekonyol itu, kalau bukan saking banyaknya telepon masuk semenjak sang bapak, dengan penuh emosi, menempel selebaran bergambar pas foto beserta nomor ponsel Han tadi pagi. Seakan- akan ia dijual. Seakan-akan ia benda mati.     "Saya bukan barang dan saya manusia," katanya penuh ketenangan.     Bapak yang keras kepala tambah muak mendengar. Sedari tadi ponsel di atas meja bergetar dan bergetar, tetapi Han tak sekali pun tergerak. Setidaknya menjawab sepatah dua patah kata. Alasannya, saya tidak kenal. Dan bapaklah yang selalu mengangkat dan mendorong Han agar mau bersuara, sekadar menyahut meski sedikit. Usaha yang sia-sia, karena Han tetaplah Han.     "Mau sampai kapan?" Kali ini Ibu menimpali. Raut kusutnya, makin kusut melihat kegemingan putra semata wayang