Skip to main content

Posts

Menulis Memang Harus Konsisten, Tapi ...

Menulis memang harus konsisten. Rasa malas memang harus dilawan. Namun, jika kita tidak sanggup, sebaiknya jangan dipaksa. Ada saatnya kita merasa kitalah ruh dari sebuah tulisan sehingga apa pun yang terjadi di sekitar kita, menulis jadi tidak terasa. Seperti mesin yang bekerja tak kenal lelah, kita terus dan terus menulis. Namun ada saatnya juga kita ditolak mentah-mentah oleh tulisan yang akan kita garap, sehingga bahkan separagraf pun terasa berat. Mau jadi ruh tidak bisa. Jangankan ruh, jadi kulit si tulisan saja tidak diizinkan. Maka, menulislah sesuai kemampuan. Memang harus dipaksa tubuh dan jiwa agar bangun dari rasa malas, tetapi jika semangat sudah ada lalu otak tidak mendukung secara maksimal, sebaiknya break dulu beberapa jam, atau mungkin sehari dua hari. Baca-baca buku yang kita sukai atau jalan ke tempat menyenangkan atau lakukan apa pun yang membuat otak rileks. Saya sendiri, meski bisa menulis 4-5 cerita per hari, ada saatnya tidak sanggup menulis sama sekali. Bila s

[Cerpen]: "Jam Antik" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra edisi Sabtu, 9 Juli 2016)       Dua puluh empat jam sehari dikali beribu-ribu belum cukup lama untuk membuat saya menua. Saya tetap muda dengan gerakan jarum yang itu-itu saja; tik, tak, tik, tak, selalu rapi dan tak cela, kecuali barangkali pernah dua kali harus berhenti bekerja bagai orang mati, namun yang suri, sehingga saya bisa bangkit dan menjadi penanda waktu.     Oleh lelaki Belanda saya diajak menapaki desa dengan jalan yang belum diaspal. Dijual kepada pemilik tanah terluas di sana, diperlakukan bagai perawan cantik jelita, saya merasa hidup saya akan membosankan. Konon, ada yang bilang, tempat macam ini tidak akan memberi saya pemandangan pelangi. Maksudnya, yang penuh warna.     Perang meletus entah pada tanggal berapa. Bukan tugas saya memang kalau soal hitungan bulan dan tahun. Saya hanya bekerja pada skala yang lebih kecil dan sederhana. Detik, menit, jam terus berputar oleh saya; atau saya yang bekerja oleh mereka setiap hari. Saya ba

[Cerpen]: "Di Tempat Kejadian Perkara" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 3 Juli 2016)       Tidak ada makanan untuk kucingku. Jangankan makanan untuknya, aku saja yang manusia belum menelan apa-apa sejak kemarin sore. Perutku terasa amat lengket dan kubayangkan ada pabrik lem besi di ususku.     Sirene ambulans terdengar di luar sana dan kutatap jam. Pukul tujuh pagi. Hari terlalu dini untuk sebuah kecelakaan. Mungkin ada yang terluka parah, atau barangkali ada yang tewas?     Membuang kesuntukan karena kamar kost ini lama-lama terasa busuk, juga demi tak membatalkan janji bersama pacarku, karena aku tidak bisa menahan kantuk kalau harus menunggunya di sini, bersama si Imo, kucingku, aku pun menghambur ke depan, mengikuti barisan orang penghuni kost yang juga sama-sama menganggur dan ingin menonton TKP.     "Motor lawan truk, Bos!" kata seseorang. Asap rokok bergumpalan di udara dan aku, dengan Imo di pelukan, menerabas kepul asap dan belasan manusia hingga sampai di gang depan.     Begitu jalan

Buka Bersama Setelah Tiga Tahun Vakum

Acara buka bersama yang sejak sebulan lalu dirancang oleh teman-teman SMA di grup WA terlaksana juga hari ini. Walaupun sempat muter-muter dan tersesat di Perumahan Mutiara Citra Asri, Tanggulangin (padahal sudah bertanya ke seorang warga dan satpam), saya termasuk peserta yang tidak terlambat, sekalipun tiba sekitar lima belas menit sebelum bedug maghrib. Ya, memang tidak banyak yang hadir. Tapi belasan orang berkumpul setelah tiga tahun berturut-turut tidak ada acara buka bersama, cukup menggembirakan dan patut disyukuri. Tadinya saya berharap semua teman bisa hadir, tapi agaknya mustahil. Kesibukan membuat jarak beberapa dari kami kian jauh dan entah bagaimana bisa memenggal jarak itu dan mengembalikan seperti pada masa SMA dulu.

[Cerpen]: "Pembakar Kupu-Kupu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra, Jumat, 1 Juli 2016)    Di usia dua puluh, Sarmila yang sudah janda jadi incaran semua lelaki. Tidak heran, karena meskipun pernah kawin dan punya dua anak, dia tetap manis dan seksi. Di antara kaum Adam yang mengincar, termasuk Mudakir, tidak ada yang serius mau mengawini secara sah, paling tidak kawin siri, sebagaimana yang selalu Mudakir gaungkan. Incaran itu, apa lagi kalau bukan soal kasur?     Rumah Sarmila tidak jauh dari losmen kuno. Tempat yang tak absen dari dunia malam dari selepas maghrib hingga jelang subuh. Kebanyakan diisi pengangguran, atau raja jalanan tanpa motor yang membangun markas di sepanjang jalan dekat bantaran kali.     Gang-gang kecil, akses menuju kampung sepi peminat, setiap malam diblokir oleh meja dan bangku-bangku. Di atasnya, remi dan botol-botol minuman keras bertebaran. Puntung rokok jangan ditanya. Setiap pengunjung kawasan remang ini tidak pernah melewatkan itu, termasuk perempuan penghibur. Hidup di sini, memilik

[Cerpen] "Lingkaran" karya Ken Hanggara

Dimuat di Buletin Mantra edisi Juni 2016)     Maria harusnya pergi ke pesta dansa bersama suaminya malam ini. Tidak ke alam baka dan tersesat karena tidak punya pegangan. Dalam perjalanan ke pesta tersebut— yang diadakan salah satu kolega Martin, suami Maria—mereka meninggal. Mobil yang mereka tumpangi masuk jurang dan tidak ada yang tahu sampai empat bulan berikutnya kenapa sepasang pengantin baru ini tidak jadi datang ke pesta malam itu.     Maka, ketika jasad mereka ditemukan di dasar jurang, bersama bangkai mobil yang gosong di bulan keempat, yang ada hanya tulang belulang sepasang suami istri lengkap dengan tuxedo dan gaun yang dipesan khusus. Tentu saja, segala sandang tidak seindah dahulu, ketika mereka mengambilnya di tukang jahit langganan keluarga.     Dengan segera, kabar kematian keduanya menyebar ke keluarga dan para sahabat, serta semua yang kenal Maria dan Martin, sehingga mereka sangat sedih. Maksud dari 'semua' adalah tidak ada pengecualian. Benar-bena

Lima Tahun Mengubah Banyak Hal

Kira-kira seminggu yang lalu saya membuat janji bertemu dengan seorang teman lama yang dulu saya kenal di Jakarta. Jam sembilan pagi, setelah mengurus perpanjangan SIM (Surat Izin Mengemudi) di Bangil, saya langsung bertolak ke Malang. Sudah sejak tahun 2012 lalu (kalau tidak salah), saya berjanji suatu hari akan mampir ke Malang jika sempat. Dan tentu, sejak 2012 hingga medio 2016 ini sudah tak terhitung lagi seberapa sering saya ke Malang. Hanya saja, saya tidak pernah sempat datang ke tempat kost teman saya yang satu ini. Dia bernama Yusuf. Asli Lamongan dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Brawijaya, Malang. Saya biasa memanggilnya Ucup. Kami berkenalan di Jakarta pada medio 2010, ketika saya masih menggeluti dunia akting. Sebagai artis pemula yang masih mendapat peran kecil-kecilan, tentu saja waktu itu duit saya juga belum banyak. Hahaha. Ketika itu Yusuf menjadi figuran dan merasa nasibnya tidak jelas. Suatu hari, akhir tahun 2010, ia mengajak saya mencari peke