Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Penjaga Anak" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 20 Maret 2016) Sekarang Imo sudah kenyang. Ia tidak bakal ke mana-mana dan saya bisa bebas menelepon pacar. Kami akan bicara soal kencan malam minggu mendatang, juga baju apa yang kiranya bagus saya pakai untuk menghadiri pernikahan sahabat pacar saya, Mugeni, di bulan depan. Mugeni bilang, "Pekerjaanmu konyol banget. Memangnya tidak ada pekerjaan lain selain menjaga anak orang?" Saya bingung mau menjawab apa. Sebenarnya saya sendiri malas bekerja. Saya datang ke tempat penitipan anak ini untuk dapat uang, dan uang itu nanti juga akan kami pakai bersenang-senang. Mugeni kerja serabutan. Ia hanya dapat akan uang jika ada setan menepuk-nepuk jidatnya dengan jimat keberuntungan. Di meja judi pacar saya ini biasa bertualang dan mendapat berbagai kemenangan, juga kekalahan.

Tentang Pabrik Cerpen dan Selera Baca

Kira-kira seminggu lalu, setelah mencoba beberapa minggu, teman saya bisa juga meloloskan salah satu tulisannya. Bukan cerpen, tetapi esai. Dimuat di koran lokal tak berhonor, sebagai karya pertama di media, ia menganggap inilah sejarah. Saya tentu saja berpikir begitu. Sesepele apa pun pencapaian seorang kerdil di mata orang yang mungkin sudah besar, akan tetap istimewa di mata kami yang masih pemula ini. Sebagai sesama 'kerdil', saya jabat tangannya dan memberi ucapan selamat tiga kali, seperti memanggil Bento atau hantu Bloody Marry atau siapa pun yang minta dipanggil tiga kali guna memunculkan diri. Teman itu mengajak saya ke kafe seberang kantornya dan berniat menraktir jus buah naga kesukaan saya. Saya bilang itu berlebihan, karena ia sendiri tidak dapat honor. Tapi ia beranggapan ini harus dilakukan sebagai wujud rasa syukur dan bahagia. Saya pun mau. Ketahuilah, kalau dia telanjur senang, susah mengendalikan diri. Ia terus menerus berjingkrak dan berk

Membuat Banyak Peluang

Teman lama itu mengeluh, setelah mengaku mengirim kira-kira sepuluh tulisan ke berbagai media cetak, namun tidak satu pun mendapat kabar baik. Dia bilang mungkin menulis bukan jalannya. Saya baca tulisan-tulisannya, tidak buruk. Ini hanya soal kesempatan, kata saya padanya. Dan jangan lupa, setiap kita punya jatah nasib baik, yang entah kapan itu datangnya. Tapi nasib baik itu memang ada. Tanpa menanggapi saran saya, dia serahkan pada saya file itu untuk diperlakukan terserah saya. Boleh diprint lalu dibakar. Boleh juga dijadikan bungkus kacang. Atau langsung delete saja dari flashdisk. Ia benar-benar putus asa. Saya diam dan melihat seberang jalan. Sekiranya di sana ada cara menjelaskan sesuatu. Ketika itu kami duduk di depan lapak koran. Lapak itu ada sejak sebelum saya lahir. Yang jual sudah tua dan saya sering membeli majalah Bobo atau buku TTS atau buku cerita terbitan beberapa penerbit kecil kawasan Surabaya semasa sekolah dulu di sini.

Produktif Bukan Soal Seberapa Banyak Karya Dinikmati

Seorang teman menegur saya ketika ketemu di jalan, "Wah, penulis produktif, ya, sekarang!" Suaranya begitu lantang sampai beberapa orang di halte menoleh dan memandangi saya lamat-lamat. Dengan agak malu, saya menepi ke dekat telepon umum dan menyembunyikan wajah di sana--meski gagal, karena postur saya yang jangkung. Lalu teman itu menjabat tangan dan saya membalasnya. Ia tanpa basa basi bicara tentang cerpen-cerpen saya yang beberapa kali terbit di koran lokal di tempat tinggalnya. Ia bilang belum baca semua, tapi turut senang karena sekarang saya produktif. "Itu gimana caranya?" tanyanya setelah dua menit bicara panjang lebar soal cerpen dan produktivitas saya--dalam tanda kutip--akhir-akhir ini.

[Cerpen]: "Teori Hantu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Pantura, Selasa, 8 Maret 2016) Saya tak pernah melihat hantu. Saya tak tahu siapa, apa, atau bagaimana itu hantu. Saya tak pernah mengenal hantu. Jadi, kalaupun pernah melihatnya, walau tidak kenal, barangkali saya tidak sadar atau tidak tahu kalau yang saya lihat itu hantu. Malam ini saya tidak ketemu siapa-siapa. Boleh jadi ketemu hantu, tapi saya tidak sadar apa di sekitar saya ada hantu? Hantu berwujud apa? Cair? Padat? Gas? Mungkin gas. Dari cerita-cerita yang saya pernah dengar, dan kebanyakan begitu: hantu bisa ke kamar tanpa perlu membuka jendela. "Tapi hantu itu seram. Tidak mungkin terbuat dari gas," bantah Kumi, teman saya. "Kata siapa gas tidak seram? Kentut kakakku seram kok!" kata saya. Kentut kakak memang seram dan bikin muntah.