(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 20 Maret 2016)
Sekarang Imo sudah kenyang. Ia tidak bakal ke
mana-mana dan saya bisa bebas menelepon pacar. Kami akan bicara soal kencan
malam minggu mendatang, juga baju apa yang kiranya bagus saya pakai untuk
menghadiri pernikahan sahabat pacar saya, Mugeni, di bulan depan.
Mugeni bilang, "Pekerjaanmu konyol banget.
Memangnya tidak ada pekerjaan lain selain menjaga anak orang?"
Saya bingung mau menjawab apa. Sebenarnya saya
sendiri malas bekerja. Saya datang ke tempat penitipan anak ini untuk dapat
uang, dan uang itu nanti juga akan kami pakai bersenang-senang.
Mugeni kerja serabutan. Ia hanya dapat akan uang
jika ada setan menepuk-nepuk jidatnya dengan jimat keberuntungan. Di meja judi
pacar saya ini biasa bertualang dan mendapat berbagai kemenangan, juga
kekalahan.
Jujur, saya tidak suka Mugeni main judi, tapi saya
cinta dan tak berani menegur. Di rumah, Bapak berkali-kali protes, sebaiknya
kamu cari suami yang beres. Bukan kayak Mugeni yang tidak bisa diandalkan, baik
dari segi ekonomi maupun moral. Saya pikir, bapak saya ini tahu apa? Bahkan ia
sendiri tidak berdaya waktu digugat cerai Ibu. Padahal waktu itu yang selingkuh
bukan Bapak.
Di tempat kerja saya suka melamun dan berpikir
usaha saya ini bukan sia-sia. Semua bocah adalah sumber uang dan tugas saya
selalu berjalan dengan baik, walau sering dibuat jengkel. Anak-anak itu tidak
semua pintar, bahkan saya kira banyak juga yang bodoh. Imo salah satunya; ia
yang terbodoh di antara siapa pun. Anak botak itu tidak pernah mau menjawab
pertanyaan saya soal apa pun, dan hanya meringis seperti tuyul kebanyakan sajen.
Ibu Imo bilang, "Mbak, titip anak saya ini,
ya. Saya kerja sampai sore dan tolong jaga dia baik-baik." Saya mengangguk
saja. Menjaga titipan langsung dari orangtua itu berarti bonus bagi karyawan
rumah penitipan anak.
Tidak hanya saya yang memakai keramahan di mata
para pelanggan, tapi banyak juga rekan lain. Dan entah kenapa saya selalu dapat
Imo. Kata ibunya, saya cocok menjaga Imo. Mugeni tahu soal Imo yang kadang
susah disuapi bubur, bahkan cokelat batangan kegemarannya, dan hanya mau
menelan semua makanan itu setelah dicium pipinya yang gembil oleh saya, juga
melakukan kebiasaannya yang aneh. Mugeni bilang, ia cemburu pada bocah botak
itu.
"Kamu tuh, Mas, sama bocah bodoh
begitu kok cemburu?" kata saya tertawa tidak keruan.
Lagi pula, Imo masih sangat kecil. Umurnya lima
tahun dan belum bisa baca-tulis. Seperti yang sudah saya bilang, Imo itu bodoh.
Ia suka bertingkah dan senang membuat saya kecapekan. Biasanya Mugeni, dengan
teleponnya, seakan menjelma kabel charger yang bisa membuat energi saya
terisi ulang. Tidak ada pacar seajaib Mugeni yang bisa membuat saya kembali
segar dan bugar, sekalipun di depan ada bocah semenjengkelkan Imo.
Tetapi tentu saja, saya tak bicara soal kelemahan
Imo ke siapa pun. Hanya Mugeni yang tahu dan ia tutup mulut. Imo anak orang
kaya dan bonus darinya lumayan untuk membuat saya dan pacar menyewa tempat
bagus sepanjang sisa malam minggu, untuk bangun esok harinya dengan taburan
cinta bau asam di kasur dan selimut motel berbau kentang. Di mana-mana, saya
rasa, aroma tubuh Mugeni memang mirip kentang. Nyaris setara khasnya dengan bau
Imo yang persis keripik.
Saya hanya akan bertemu Imo di hari Senin hingga
Jum'at; selain itu tidak. Rumah penitipan tetap buka sampai akhir pekan, walau
tanpa Imo tentu saja, dan saya bisa lebih santai bekerja. Di saat inilah waktu
kerja lebih banyak habis buat telepon pacar. Tidak ada Imo, tidak ada cerita
menyebalkan yang harus saya sembunyikan dari Mugeni.
Imo sering sekali meraba-raba payudara saya dan
tertawa girang. Itulah kebiasaan bocah bodoh ini yang menurut saya aneh. Tapi
saya kira itu bukan soal, karena ia masih kecil, tapi Mugeni mungkin saja
marah. Pacar saya itu pernah bilang, "Tidak ada yang boleh menyentuhmu
kecuali aku." Dan saya tahu, sentuhan Mugeni itu yang terbaik.
Sentuhan Imo bukan apa-apa. Bukan hanya karena dia
anak kecil yang bodoh dan susah diajak bicara, melainkan ia sendiri sumber uang
bagi saya. Anak itu sering kali tak bisa tenang sebelum meremas satu atau dua
puting saya, sehingga kadang-kadang saya merasa sakit. Imo tidak berhenti dan
malah menangis jika itu tidak terpenuhi. Saya tidak tahu kenapa anak ini sangat
aneh, tetapi belakangan tahu Imo dititipkan ke sini karena alasan yang sama.
Ibunya tidak tahan dan pernah dioperasi karena sewaktu menyusui anaknya pada
suatu hari, Imo menggigit puting beliau hingga terluka.
Saya pikir, anak ini jadi bodoh karena
kelakuannya. Mungkin benar, atau mungkin cuma dugaan saya. Ia tidak lagi
disusui sang ibu karena trauma akibat rasa sakit digigit, dan sekarang anak ini
menjadi bocah menjengkelkan yang tidak pernah bisa menjawab, bahkan pertanyaan
semudah, "Siapa namamu?"
Mugeni tidak tahu cerita ini dan saya tutup mulut.
Saya hanya merintih dan bahkan pernah menjerit ketika ia melumat dada saya di
kasur dan tidak tahu area penjelajahan itu telah dijajah lebih dulu oleh
seorang bocah. Saya tetap bertahan karena pikiran yang satu ini: saya harus
dapat uang dan segera menikah dengan Mugeni.
Tabungan saya cepat bertambah semenjak dititipi
Imo secara langsung oleh ibunya. Mungkin dua tahun lagi saya dan Mugeni bisa
menikah. Syukur-syukur bisa lebih cepat, kalau ia menang judi. Bapak juga sudah
tidak berdaya mencegah dan pasrah seandainya anak gadis semata wayangnya ini
kawin sama Mugeni yang jobless.
Mugeni pernah mampir ke tempat kerja saya dan
melihat kepala botak Imo. Tanpa seorang pun tahu, kepala itu Mugeni tepuk empat
kali dan berharap ia mendapat bisikan khusus dari setan, yang kemungkinan
hinggap di kepala anak itu. Saya tertawa oleh tindakan konyol ini, tetapi
mungkin benar kata Mugeni bahwa di kepala Imo ada setan. Mungkin ia diberi
makan uang haram, jadi kelakuannya seburuk setan. Apa bapak Imo seorang
koruptor, saya tidak tahu, tetapi memikirkan itu membuat saya tidak tenang.
Kalau bapak Imo koruptor, uang yang dihasilkan
haram. Ia memberikan anak-istri makan dengan uang yang haram. Uang itu berubah
jadi setan di tubuh anak-istrinya dan jadilah anak itu menyusu dengan kebiasaan
aneh. Kebiasaan itu lalu berhenti di sang ibu, dan sekarang berpindah ke dada
saya, sekalipun saya bukan ibu susunya.
Saya tidak hanya takut membayangkan akan dioperasi
seperti ibu Imo suatu hari nanti, tetapi juga mungkin akan melahirkan anak
sebodoh itu kelak. Lima tahun belum lancar bicara dan tidak dibawa ke sekolah
mana pun. Hanya dititipkan di tempat busuk macam ini dan jarang dimandikan
sehingga tubuhnya bau keripik. Memang begitu yang Imo sukai: mengunyah keripik
dan meremas puting pegawai rumah penitipan anak. Imo tidak suka disuruh-suruh
dan ia benci sabun mandi.
Maka saya takut, uang hasil judi yang Mugeni
dapatkan itu, masuk ke tubuh saya dan menjelma setan. Membayangkan itu saya
mual. Imo yang bukan anak kandung saya saja, kadang membuat saya sedih; kok
bisa ada anak macam ini? Bagaimana kalau kelak anak saya begitu? Bagaimana
kalau Mugeni muak dan menceraikan saya, karena anak kami sebodoh Imo?
Pikiran ini terus mengendap di kepala sampai hari
ini. Imo sudah kenyang dan ia tidak bakal ke mana-mana. Biasanya kalau kenyang,
anak itu mengantuk dan tidur. Saya bisa telepon pacar, meski dengan menahan
perih di dada, karena hanya dengan cara itu Imo mau disuapi. Jika dulu ia
menyusu sambil memelintir puting ibunya, sekarang ia mengunyah apa pun sambil
memelitir punya saya.
Mugeni bilang di telepon, "Kamu berhenti
saja."
Cukup mendadak.
Saya tidak tahu ada angin apa, tetapi suara pacar
saya begitu tegas dan meyakinkan. Saya menduga Mugeni dapat kerja di pabrik
seperti yang saya minta padanya tempo hari: bekerjalah di pabrik, Mas, biar
uang kita halal dan anakmu tidak seperti si Imo.
Tetapi saya batal senang, ketika tahu alasan
Mugeni. Ia baru saja menang judi dan uang kami cukup untuk kawin. Kami bisa
pindah ke luar kota dan mengubah nama di sana. Saya tidak tahu ide ini dari
mana, tetapi Mugeni lantas mengaku membunuh seseorang di meja judi dan ia
sangat mencintai saya. Mugeni tidak akan kabur sebelum membujuk saya untuk
pergi dengannya.
Saya tidak tahu mana yang lebih baik; Mugeni atau
Imo? Tetapi demi Tuhan, saya tidak berharap ada di posisi ini? Saya hanya ingin
hidup saya berakhir baik, tanpa jadi istri buronan, apalagi menderita penyakit
akibat terlalu sering "disiksa" oleh seorang bocah bodoh macam Imo. [
]
Gempol, 19 Maret 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan
nasional.
Bagus2 kak cerpennya....
ReplyDelete