(Dimuat di Koran Pantura, Selasa, 8 Maret 2016)
Saya tak pernah melihat hantu. Saya tak tahu siapa, apa,
atau bagaimana itu hantu. Saya tak pernah mengenal hantu. Jadi, kalaupun pernah
melihatnya, walau tidak kenal, barangkali saya tidak sadar atau tidak tahu
kalau yang saya lihat itu hantu.
Malam ini saya tidak ketemu siapa-siapa. Boleh jadi
ketemu hantu, tapi saya tidak sadar apa di sekitar saya ada hantu? Hantu
berwujud apa? Cair? Padat? Gas? Mungkin gas. Dari cerita-cerita yang saya
pernah dengar, dan kebanyakan begitu: hantu bisa ke kamar tanpa perlu membuka
jendela.
"Tapi hantu itu seram. Tidak mungkin terbuat dari
gas," bantah Kumi, teman saya.
"Kata siapa gas tidak seram? Kentut kakakku seram
kok!" kata saya.
Kentut kakak memang seram dan bikin muntah.
Walaupun saya tidak kenal dan tidak sadar pernah atau
tidak ditemui hantu, saya tahu hantu bukan manusia. Dia tidak beli baju,
ponsel, celana dalam, sepatu, tas, mobil, apalagi berak. Dia tidak butuh semua
itu karena dia hantu. Kalau untuk masuk ke kamar orang saja tidak berisik,
kenapa pula ia perlu hal-hal itu?
Karena alasan inilah, saya meyakini teori bahwa hantu
terbuat dari gas.
Sewaktu saya tanyakan kepada ibu, dia jawab, "Nak,
hantu itu tidak cair, tidak padat, tidak juga gas. Hantu itu gaib!"
Saya menyahut, "Gaib itu apa?"
Ibu bilang bahwa gaib itu sesuatu yang terkadang kita
bisa saja tahu, tapi terkadang pula tidak kita tahu.
"Berarti kentut Kakak gaib, Bu? Aku tidak tahu warna
dan bentuknya?" kata saya.
Ibu tidak berkata, melainkan tertawa. Menurutnya kentut
bukan urusan kita. Kalau kentut yang seram bukan urusan manusia, berarti hantu
bukan urusan saya. Sebab saya manusia. Tapi, kalau saya yang manusia saja
merasa tidak perlu mengurusi siapa, apa, dan bagaimana hantu itu, kenapa
teman-teman takut kepada hantu?
"Di WC dekat kantin ada perempuan bermuka
gepeng!" kata Saru, teman saya yang lain.
Saru mengaku ditakuti hantu bermuka gepeng. Saya
berpikir: barangkali hantu itu berkelamin perempuan.
"Kalau aku lihat orang gundul yang tinggi besar dan
matanya bolong!" sahut Judi, teman saya yang lain lagi.
Berarti hantu tidak cuma perempuan. Berarti hantu ada
yang lelaki juga? Dan itu juga bermakna: bisa saja mereka kawin. Ya, 'kan?
"Ada di mana mereka? Aku tidak pernah lihat!"
kata saya.
"Di mana-mana."
"Ah, bohong. Aku lho tidak lihat," kata
saya lagi.
Entah karena jengkel atau capek, teman-teman tidak
meneruskan. Tapi saya tahu, mereka masih takut kepada hantu.
Saya simpulkan, bahwa yang mereka sebut hantu itu cuma
mimpi. Itu penjelasan paling masuk akal. Saya tidak tahu wujud mimpi. Dia
datang di kala tidur, kala tubuh tidak terkontrol, seolah kita patung kayu yang
diikat dengan tali, lalu seseorang di atas, seorang raksasa tepatnya,
menggerakkan tubuh kita sesuai kehendak. Kita tidak bisa mengontrol mimpi, tapi
kita merasakan.
"Kalau kamu merasakan mimpi, berarti hantu bukan
mimpi dong," sela kakak saya.
"Kok bisa?"
"Katamu kamu tidak menyadari keberadaan hantu?"
Benar juga kakak saya. Saya jadi pusing. Kalau hantu
bukan mimpi, berarti hantu itu apa, ya?
Saya coba kembali ke teori awal, bahwa hantu itu gas.
Tapi, adakah gas berbentuk?
Saya ingat bahwa Om saya pernah merokok dan asapnya dia tiup hingga membentuk
lima lingkaran berbagai ukuran, melayang-layang, berbaris.
Saya sadar. Barangkali hantu yang dilihat teman-teman di
WC itu adalah gas, yang kebetulan bentuknya perempuan bermuka gepeng dan si
botak bermata bolong.
Saya membayangkan permen gulali yang dibentuk dengan
cermat oleh penjualnya. Bentuknya bisa saya tebak walau yang membikin permen
itu tidak memberi tahu
pada kami, padahal tidak ada komposisi warna selain merah. Saya kembali
menyimpulkan: bahwa hantu punya bentuk sendiri dan ia putih seperti asap.
Tapi, lagi-lagi, saya dibuat pusing oleh Saru, sewaktu
saya tanya apa hantu bermata bolong itu berwarna putih? Dia bilang,
"Kulitnya cokelat dan mukanya berdarah." Saya kira tidak ada asap
yang bisa mengeluarkan darah, apalagi asap rokok. Tapi saya tahu, yang biasa
berdarah-darah. Kalau bukan manusia, ya kambing.
Saya lihat kambing disembelih waktu hari kurban. Darahnya
merah, persis seperti yang dibilang teman saya, yang bersaksi bahwa di muka
hantu berkepala botak itu ada darah.
"Berarti hantu bukan tercipta dari asap, walaupun
dia punya bentuk. Berarti hantu terbuat dari kambing" pikir saya.
Kambing jenis mana yang bisa masuk kamar tanpa mengembik?
Saya tanya ke Ibu, dia bilang tidak tahu. Kakak juga tidak tahu. Saya cari di
buku-buku ensiklopedia. Barangkali ada jenis kambing di dunia ini yang bisa
masuk kamar tanpa mengembik dan tanpa membuka pintu. Tapi saya tidak bisa
menemukan.
"Tidak ada kambing yang bisa masuk kamar tanpa
membuka pintu, apalagi tanpa mengembik!"
Keluhan saya didengar teman-teman dan mereka bilang,
"Kalau kamu bilang hantu terbuat dari kambing, berarti selama ini kamu
makan sate hantu!"
Saya suka sate kambing. Itu rasanya enak. Kalau kambing
bisa disate, kenapa dari dulu saya tidak tahu bahwa binatang itu hantu? Saya
tahu saya salah besar. Kambing bukan hantu, pikir saya kemudian.
Saya tidak, atau tepatnya: belum tahu, bahwa di dunia ini
ada asap yang bisa diberi warna. Ketika tahu ada festival di luar negeri,
dengan asap warna-warni dan banyak orang menari, saya baru sadar. Oh, ternyata
dari satu wujud asap, itu punya banyak warna. Maka, biarpun kesaksian Saru
membingungkan, saya lagi-lagi percaya bahwa hantu terbuat dari gas. Sekarang saya
benar-benar yakin dan tidak akan mengubah pandangan lagi. Tapi, satu
pertanyaan masih menggumpal: siapa yang membuat hantu?
"Hantu hidup sendiri. Tidak dibuat oleh seseorang,
tapi mandiri," kata Kumi.
"Bagaimana kamu tahu?"
"Karena kalau hantu dibuat oleh seseorang, pasti
kita tahu pelakunya, sebab setiap waktu hantu itu berubah-ubah."
"Bagaimana kamu tahu?"
"Toilet sekolah kita satu!"
"Bagaimana kamu tahu?"
"Tidak mungkin ada banyak hantu di sana. Dia pasti
cuma satu!"
"Bagaimana kamu tahu?"
"Toiletnya sempit!"
Betul juga. Saya pernah diajak Judi ke sana. Dia takut
kencing sendiri.
Dari percakapan ini, pemikiran saya tentang hantu jadi terbuka,
walau seperti yang saya
katakan berulang-ulang, bahwa saya tak tahu hantu itu siapa, apa, dan
bagaimana, serta walau sudah saya katakan pula bahwa saya tak tahu apakah saya
pernah melihat hantu atau belum. Pemikiran saya yang terbaru menyoal hantu
adalah: bahwa hantu terbuat dari gas
yang berwarna, dan dia bisa berubah sebab hantu adalah pesulap.
Semua pertanyaan terjawab. Sekarang, walau saya belum
tahu pasti siapa, apa, dan bagaimana hantu, saya tahu seluk-beluk dirinya.
Jadi, saya tidak perlu takut dan tidak perlu mengurus hantu lagi. Dia bukan
urusan saya. Seperti kentut yang kata Ibu bukan urusan manusia; kentut itu
urusan Tuhan. Yang
mencipta hantu juga bukan manusia, tapi Tuhan. Buat apa Tuhan membikin hantu?
"Barangkali untuk menakut-nakuti orang nakal seperti
kamu," sahut kakak saya.
"Kalau aku nakal, kenapa aku tidak pernah melihat
hantu?"
"Karena belum saatnya. Nanti kalau saatnya, dia
pasti datang."
"Saru, Kumi, dan Judi yang tidak nakal
ditakuti!"
"Karena mereka penakut."
Sejak itu saya tahu satu hal: barangsiapa tidak takut
hantu, tidak akan didatangi walaupun nakal. Saya rasa saya tak perlu menyebut
kenakalan saya ini kenakalan model apa. Saya toh tak tahu, boleh jadi Anda—yang
membaca cerpen ini—kenal Saru, Kumi, Judi dan juga teman-teman lain yang pernah
lihat hantu di WC sekolah. Mereka
tak tahu saya sering bolos dan suka melamun di sana daripada tidur di meja.
Kalau mereka tahu, bisa ditendang saya. [ ]
Gempol, 4
Maret 2016
Comments
Post a Comment