Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Skandal Ninja Ireng" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Pantura, Kamis, 3 Maret 2016) Selama menghasilkan uang, segala yang kukerjakan bukanlah soal. Memang betul, duduk-duduk di teras sehabis lari pagi, atau main di pemancingan dari jam sepuluh pagi sampai menjelang ashar, atau sekadar menggelosor di ruang tengah yang ada TV-nya selama seharian penuh lebih tepat dianggap kerjaan orang yang tidak punya kerjaan alias kerjaan pengangguran kelas berat. Tapi, kalau aku tetap menghasilkan uang, meski dengan cara yang kelihatan pemalas, apakah masalah?     Hei, Bung! Di zaman serba susah, yang demikian tolong abaikan. Maksudku, soal menjadi 'terlihat rajin walau maling' atau 'terlihat mandi keringat padahal bukan'.

[Cerpen]: "Halte" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 28 Februari 2016) 1/ Sekarang hujan deras. Maria dan Timo terjebak di halte seberang rumah dan tidak bisa pulang, padahal Maria kebelet pipis. Sebagai lelaki sejati, Timo mau saja disuruh melindungi Maria agar pacarnya bisa menyeberang tanpa harus basah kuyup. Tapi, dia bukan payung. Dan salah sendiri juga tidak bawa payung. "Gara-gara siapa, coba!" kata Maria jengkel. "Yang bawa payung 'kan Bung Panu!"

[Cerpen]: "Tamu Tengah Malam" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Pantura, Jumat, 26 Februari 2016) Seorang lelaki mengetuk pintu rumahku tengah malam. Bukan tamu biasa, pikirku. Dan memang, dia bukan tamu biasa. Lelaki usia paruh baya, memakai batik lusuh, kopiah beludru, celana hitam pudar, dan sandal jepit yang belum ganti bertahun-tahun. Tadinya kukira Pak RT, yang entah karena ada kasus perampokan atau kemalingan atau apa pun itu, sehingga butuh membangunkanku dan warga lainnya. Ternyata bukan. Jelas, tidak ada kasus apa pun malam ini karena kampung terasa sangat sepi dan normal. Aku mengantuk tapi mencoba membuka mata. Tentu dia bukan penjahat. Aku tahu, bagaimanapun seorang penjahat tidak mungkin membangunkan mangsa tengah malam begini. Ini jelas orang bertamu. Siapa dia, aku tidak kenal; aku bisa mengintip dari balik jendela. Tapi, sesuatu yang penting agaknya sedang ia bawa.

[Cerpen]: "Bung Panu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post, Minggu, 21 Februari 2016) Dalam sehari, saya lihat lelaki itu datang tiga kali. Pertama, jam delapan pagi. Kedua, sehabis zuhur. Terakhir, saat tukang tahu tek lewat dan memukul wajannya dengan ujung spatula: teng, teng, teng. Kalau Anda warga sini, pada saat suara-suara itu muncul, Anda sudah tahu bahwa jarum jam menunjuk angka tujuh dan matahari sudah lama tumbang. Apa yang dia lakukan, saya tak tahu. Baru dua minggu saya tugas di sini, menjaga kantor cabang salah satu koperasi secara bergantian. Kadang pagi hingga sore, atau pindah shift : dari sore hingga malam. Maka saya tahu bagaimana lelaki itu gusar dan malu-malu duduk di seberang jalan, di bawah pohon jambu di waktu-waktu yang telah saya sebut. Kadang, ia bahkan masuk ke areal parkir dan berdiri canggung selama dua menit. Saya tidak bisa bertanya pada yang bersangkutan seperti "Ada apa?" atau tuduhan tak mengenakkan: "Anda maling?" Saya tidak sekejam itu dan orang tahu

[Cerpen]: "Badut di Ujung Gang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 21 Februari 2016) Badut di ujung gang itu memikul sebuah karung. Maria, dengan segenap rasa takut, tidak berani lewat karena jalan satu-satunya pulang hanyalah itu. Ambil jalan memutar, tentu memakan waktu lama, lagi pula tidak bisa, karena ia gadis yang suka memakai rok dan tidak terbiasa memanjat tembok. Jalan memutar itu mengitari sekitar empat belas rumah dalam satu blok dan Maria bisa mencapai sisi lain blok—atau sebut ujung gang yang satunya, tempat rumah besar yang atapnya terlihat dari sini berada—setelah memanjat tembok dusun. Tembok itu entah kenapa dibangun, tinggi dan kokoh pula, padahal di kawasan sini jarang ada kasus pencurian atau perampokan. Di sini keamanan hampir selalu terjaga oleh kekompakan warganya dan Maria tahu itu. Ia kira, alasan ia dan ibunya beli rumah di sini adalah alasan yang satu itu.